Boikot Atau B(a)ycott?; Merayakan Kemarahan

Ketika masih bocah saya menemukan bahwa cara untuk melawan pecundang adalah dengan memukul balik. Bukan boikot. Ditampar, balas menampar. Digetok, balas menggetok. Pantat disepak, ya sepak balik pantatnya_bila perlu lebih keras. Sesederhana itu. Tidak seperti orang dewasa yang telah diberi kearifan dalam perjalanan usia sehingga bisa menempuh cara lain untuk menghukum lawan, boikot misalnya, masa kanak-kanak saya hanya mengenal  bahwa dalam permainan dengan sebaya, berlaku kesetaraan yang menjamin langgengnya permainan yakni gigi ganti gigi, mata colok mata. Sebagai seorang bocah yang belum paham apa itu rindu dan cara memboikotnya, saya hanya tahu jika dendam kepada seorang teman harus dibayar tuntas.

Tahun-tahun itu sudah berlalu, dan sekalipun saya bukan anak kecil lagi, saya masih bersemangat melakukan itu setelah dewasa. Tentu saja dalam konteks yang lebih serius dan bikin stres. Sabtu sore, baru-baru ini, saya duduk di dipan dengan capit yang lucu di kepala, mengajak istri saya bercakap soal perancis. Sebelumnya kami tahu berita-berita yang berserakan di internet, dan sebagai orang Indonesia isi kepala saya cepat panas.  Sambil bergurau, Istri saya menantang saya, apa kira-kira yang bisa saya lakukan sebagai bentuk boikot terhadap Perancis.

Kami tidak punya apa pun. Tas atau sepatu? Parfum? Tidak ada. Kalaupun ada produk luar di rumah ini, semuanya made in China. Tetapi, hampir seperti bersungguh-sungguh, saya teringat sesuatu. Ya, betul! Buku. Dan tidak tanggung-tanggung, saya ingin melakukannya pada Voltaire. Tahun lalu saya belikan istri saya Candide, setelah setahun buku itu masih terselip di rak dan belum tersentuh.

/Bukunya mau diapain?/

/Dibakar/ Kata saya, /bakar sambil Tiktok-an/

Saya rupanya agak sepakat dengan Dina Sulaeman di laman facebooknya. Boikot ada perlunya juga, misalkan untuk memberi tekanan politik. Dan karena berpolitik adalah hak segala anak bangsa di negeri ini,  selama boikot dilakukan semestinya, tidak perlu ada larangan dan nyinyiran dari sana sini. Tulisannya menanggapi media sosial kita yang riuh dan hiruk pikuk, penuh meme dan ejekan bertebaran. Pekik perang bercampur dengan buli-bulian. Kita seperti sedang lihat orang gulat di lumpur.

Netizen sendiri ada benarnya juga jika menilai boikot salah kaprah. Kita berhenti menggunakan, berhenti membeli dan berhenti bekerja sama dengan apa-apa yang berbau Perancis itu namanya boikot. Lalu kita melihat ada kekerasan, ada semangat yang berlebihan, penolakan yang membabi buta. Padahal jika kepala kita tidak sepanas ini, bokiot lebih mirip dengan pengabaian. Mengabaikan berbeda dari menolak. Jika menolak sering melibatkan kekerasan, maka mengabaikan berjalan nyaris tanpa suara. Alih-alih membakar tas mahal yang sudah dibeli, lebih baik membiasakan diri mengabaikan produk Perancis di super market. Sama halnya dalam asmara, diabaikan itu lebih menyakitkan daripada ditolak.

**

Menyikapi boikot, perlu atau tidaknya, saya hanya ingat ini semua berawal dari karikatur itu. Profesor dan karikaturnya telah memicu prosesi protes lintas bangsa. Dia mungkin telah salah besar berurusan dengan agama, dan menyinggung hubungan cinta Ilahiah seseorang. Cinta yang tidak bisa didikte, apalagi diejek. Bagi orang yang merasa cinta Ilahiahnya terzolimi, si profesor ini harus dihapus dari dunia. Sayang sekali.

Candide ini, saya bilang ke istri saya, tidak usah dibaca. Otak kita terlalu polos untuk memahami isi kepala Voltaire. Barangkali kita tidak sanggup menangkap satir di dalamnya, yang dibuat untuk mengejek kemanusiaan kita. Dan jika kita kehilangan kontrol terhadap Voltaire, apalagi yang bisa kita lihat terhadap karikatur tak beradab itu? Mana mungkin dengan cara kita berpikir dalam kedangkalan hidup kita ini, kita bisa melihatnya sebagai sebuah satir?

***

Suatu pagi di Kristiania, demikian Knut Hamsun mengisahkan seabad lalu, terjagalah seorang pria dari tidurnya. Pada tembok kamarnya_ di atas koran bekas yang ditempel di sana_dia melihat iklan roti segar; dia jadi berpikir kira-kira ada hal apa yang layak mengisi perutnya hari ini. Lalu dia berpaling, menemukan iklan lain yang mungkin bikin ciut, iklan kain kafan. Kita tahu kemudian, laki-laki itu hidup susah minta ampun. Sampai-sampai dia mencela Tuhan karena menimpakan semua dosa orang-orang kepada dirinya, juga karena terlalu lama menjadikannya sebagai kelinci percobaan sementara ada orang-orang lain yang lebih layak menerima itu. Apa salah saya, pikirnya, bahkan untuk mendapat pekerjaan saja Tuhan mempersulitnya. Padahal yang dia butuhkan dari dunia ini hanya makanan, ya Tuhan.

Hamsun mengantar kita pada sosok dengan penderitaan paling nyata di dunia; orang yang kelaparan. Sebagaimana kenyang adalah kebahagian, kegembiraan dan kenikmatan atas hidup maka lapar adalah kebalikannya yang paling buruk. Dosa yang lahir dari lapar bisa apa saja. Tidak cuma sekali dua kali lelaki dalam novel Sult (Lapar) terpikat untuk itu. Tetapi Hamsun membuatnya sulit, dia menulisnya sebagai manusia yang menolak menderita. Dia hidup sehari-hari dengan harapan penuh, bahkan menemukan kegembiraan-kegembiraan dari sesuatu yang tidak masuk akal; musim gugur sebentar lagi tiba, suara-suara lalu lintas, obrolan orang-orang, menghirup aroma pagi di jalanan kota yang semakin sibuk.

Menolak menderita bisa berarti mencintai kehidupan. Bagi si Pria lapar, kehidupan artinya masih bangun pagi dan bernapas. Untuk menyambung kedua hal itu dari pagi ke pagi, dia butuh makan. Esensi ini menampar pembacanya. Saking lamanya menderita, dimana dia akhirnya pasrah pada keyakinan bahwa dengan menderita Tuhan sedang mendekatkan dia padaNya, si Lapar ini tidak minta yang lain selain daripada isi perut. Tuhan bisa menjauhkan apa pun di dunia ini darinya, tapi jangan makanan. Jadi, jenis  cinta macam apa ini?

Di jalanan, dia bertemu seorang lelaki tua pincang. Cara berjalannya yang menyedihkan dan terkesan menunjukan kepada orang-orang betapa menderitanya dia, membuat laki-laki Lapar itu muak. Kita bisa mengerti kenapa dia muak. Pria tua itu telah merusak semangat hidupnya, menganggu nilai-nilai yang dia perjuangkan. Ketika pria tua mengemis padanya minta makan, si pria Lapar sampai harus menggadaikan mantelnya.

Dari Hamsun, saya belajar tentang betapa berat mencintai Tuhan. Jika kita punya pedang di tangan untuk membela rasa cinta itu, arahkan kepada diri sendiri; bunuh kepengecutan kita.

*****

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan