pesawat kertas menginspirasi dalam menulis fiksi eksperimental

Menjadi Pilot (Cara Lain Menulis Fiksi Eksperimental)

(Menulis fiksi eksperimental dalam hal ide cerita)

Bila suatu hari, tanpa terduga anda mendapat sebuah hadiah yang demikian besar, ibaratnya sebongkah intan di antara kerikil, apa yang akan anda lakukan, tuan?

Lantas seorang pemuda telah memutuskan begini; dia akan membeli sebuah pesawat terbang atas nama pribadi, lalu menempuh perjalanan ke barat yang jauh. Sebelumnya, begitu keberuntungan yang semacam itu menyentuh dirinya, dia begitu gemetar di depan hadiahnya, tidak tahu bagaimana menghabiskannya sepanjang sisa usianya. Sekonyong-konyong suatu pikiran liar merasuki benaknya. Dia ingin menaklukan semesta.

“Saya akan mengelabui matahari.” Kata si pemuda dalam hati. “Saya dapat membuat diri saya selalu berada pada siang hari tanpa malam selama 48 jam.”

Dia membuat kalkulasi sederhana; jika pesawatnya mampu terus-menerus terbang dalam kecepatan penuh menuju ufuk barat maka dalam waktu 1 jam saja dia akan melintasi zona perbedaan wilayah waktu. Jika dia terbang dari Fiji jam enam pagi misalnya, maka satu jam berikutnya dia akan berada di Vladivostok yang juga baru mengalami pukul enam pagi, lalu satu jam berikutnya dia akan melintasi Sidney pada pukul enam pagi waktu setempat. Begitu seterusnya. Karena setiap jam enam pagi di masing-masing daerah dengan zona waktu berbeda adalah saat matahari baru saja terbit, maka dirinya tidak akan mengalami malam hari.

Pada pagi berikutnya dia sudah mengudara saat matahari terbit di atas bukit. Dia melihat dunia mengecil di hadapannya; gedung-gedung besar menjadi deretan kubus kecil sementara rumah-rumah penduduk menyerupai kotak korek api yang jauh. Dia terbang dari langit ke langit seperti burung migrasi, sesekali turun mengisi bahan bakar kemudian membubung kembali. Memang benar demikian, dia tidak meleset. Dalam kecepatan tepat dia beralih-alih di antara zona waktu. Setelah empat jam, dia masih juga melihat matahari terbit dari sebuah puncak bukit. Tanpa terasa dia sudah berputar mengarungi 1/8 dunia hanya dalam delapan jam.

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Dia merasa telah menaklukan salah satu rahasia semesta serta mempermalukan matahari di hadapan seluruh bumi.

Pada suatu saat dia merasa lelah dan turun mendarat untuk beristirahat sejenak. Pesawatnya mendarat pada suatu permukaan bumi yang asing; suatu daerah percampuran dua ekstrim berbeda, panas dan dingin. Datarannya kering dan tandus dengan angin keras sementara di sebuah gunung yang dekat bisa dilihat lempengan salju dan gunung itu tampak tak tersentuh. Pada puncaknya yang bersalju, si pemuda merasakan sebuah getaran yang aneh, sebuah dorongan untuk mendaki ke sana.

“Daerah apa ini?” dia bertanya di kedai yang ramai sambil memesan segelas minuman.

“Kau orang baru rupanya. Hati-hati, awas kau menjadi gila dengan hal-hal yang tak kau mengerti di sini.” kata pelayan kedai, seorang laki-laki berambut uban yang mempersilahkannya duduk.

Setelah menyajikan minuman dingin yang tidak pernah dirasakan pemuda itu di negerinya, si pelayan tua duduk menghadapinya.

“Terima kasih pak tua, sebenarnya saya sudah menjadi gila.” Si pelayan memandangnya dengan dahi berkerut sebelum tersenyum lebar.

“Dan gunung di depan itu, apa namanya?”

“Kilimanjaro.”

“Saya pernah mendengar namanya entah dimana. Saya ingin menuju ke puncak gunung itu.”

“Tidak banyak orang yang bisa ke puncak sana, apalagi orang asing.” Kata si pelayan.

“Saya datang dari jauh dengan mengelabui matahari. Gunung itu akan kutempuh.”

“Jadi kau benar-benar gila, ya tuan. Mengapa kau berada di sini?” Tanya si pelayan. Pemuda itu membesarkan mata, meneguk habis minumannya serta membentangkan tangan sambil menguap.

Dia pun mengisahkan petualangannya. Si pelayan yang mendengarnya tampak tidak terkesan, malah menarik napas panjang.

Setelah selesai bercerita dan melihat sekitar, barulah si pemuda sadar bahwa hampir semua yang ada di dalam kedai itu berambut keriting dan berkulit gelap. Tiba-tiba tubuhnya dingin.

“Apakah ini Afrika?”

“Afrika? Ini jauh sekali dari Afrika.”

“Lalu apa?”

“Masih Asia. Ini Asia tenggara, kau pasti telah tersesat sekarang.” Kata si pelayan dan hendak pergi.

“Dengar, saya akan membayarmu berapa harganya jika kau mau membawa saya ke puncak gunung.” Dia mengeluarkan beberapa mata uang asing dari dalam kantong baju, “Kau bisa menukarnya dengan mata uang di sini. Jumlahnya besar.”

Si pelayan duduk lagi, dia memandang mata si pemuda dengan sangat tajam lalu bertanya; “Seberapa besar keinginanmu menuju puncak?”

“Entahlah. Gunung itu seperti memanggil saya ke atas sana.”

“Kapan kau merasa panggilan itu?”

“Tepat pertama kali saya merasakan kehadirannya, seakan-akan sebagian jiwa saya telah berada di atas puncak itu dan menarik hati saya ke sana.”

“Oh! Kau beruntung sekali. Baiklah, saya akan menolongmu mencapai puncak. Mari!”

Si pelayan tua membimbing pemuda itu keluar kedai melalui pintu belakang.

Di situ ada seekor kuda, lalu si pelayan menyerahkan tali kekang kepada pemuda itu dan menyuruh kuda itu membawa ke atas puncak.

“Pergilah, jika puncak gunung itu yang memanggilmu maka tugas sayalah untuk menolongmu. Jangan ragu, kuda ini pun terbiasa membawa orang-orang seperti anda.”

Kuda yang membawanya paham akan tugasnya, dia membawa si pemuda menapaki jalan terjal berbatu yang berliku. Udara gunung begitu dingin sementara kabut tebal menutupi mereka sampai-sampai cahaya matahari di atas kepala memudar. Semakin tinggi, keadaan semakin gelap karena kabut dan lebih pekat setiap kali langkah kaki kuda mendekati puncak. Sampai akhirnya kuda berhenti pada sebuah petak tanah yang datar, hari benar-benar gelap.

Pemuda itu meloncat turun, dan terkejut seketika karena tiba-tiba di depannya terhampar pada semesta. Bintang-gemintang terpapar begitu saja, kuning dan tampak lebih besar ketimbang dilihat dari belahan bumi mana pun.

“Tidak mungkin!” pemuda itu berseru. Matanya melebar dan dia lupa menutup kembali mulutnya yang terbuka. Dia bahkan bisa melihat perpindahan bintang-bintang itu dengan jelas, meteor melesat di kejauhan dengan bongkahan batu bergerak sepanjang lintasannya, dia melihat planet-planet dan rangkaian galaksi-galaksi.

“Tidak mungkin! Ini gila! Tentu saja ini ilusi. Saya akan membuktikan bahwa ini ilusi dan saya benar.” Sambil masih berteriak dia menceburkan diri ke dalam manifesto semesta itu; berputar dan hilang di tengah-tengah keramaian ciptaan yang sunyi.

Mula-mula dia hanya berpapasan dengan benda-benda langit, lalu perlahan-lahan seola-olah selaput di matanya mencair sehingga pemandangan berikutnya lebih menggetarkan hati.

Pemuda itu melihat garis katulistiwa! Bayangkan! Terbentang membelah langit.

Di bawah khatulistiwa, dia melihat seekor rusa betina dengan lima anak bergerombol, tampak pula seekor anak singa mengibaskan ekor ke angkasa sehingga timbul serbuk api yang menyerupai tumpukan kunang-kunang pada malam hari.

Dia melihat pula selembar dedaunan jatuh dengan santai sebelum berubah menjadi hutan pekat dipenuhi tali temali, akar beringin bertautan dalam genggaman rotan, dimana dua anak burung merak sedang membersihkan sayap mereka di bawah matahari pagi. Saat seekor anak merak itu meloncat ke luar sarang, mata pemuda itu bertemu hamparan lautan dengan ikan terbang ke udara, kelompok lumba-lumba timbul tenggelam, bibir pantai dengan pasir putih dengan gelombang pecah, karang-karang yang perkasa.

Pemuda itu terus berenang. Dia melihat karapan sapi lalu anak-anak bermain layangan di bekas sawah, kuda dan kambing tengah menyusu pada rerumputan, anak-anak gadis kecil tengah mengudap kuncup-kuncup bunga.

Dia melihat pantai yang sibuk, orang-orang berjemur dan berselancar, nelayan-nelayan membentangkan jala.

Dia bergumam: “Apakah benar jika inilah surga?”

Kemudian tampak lagi hal-hal aneh ketika ribuan etnis dengan bahasa dan pakaian berbeda berbaris di bawah cakrawala, mereka saling menyapa dalam bahasa yang tidak dipahami si pemuda, mereka memandang angkasa kepada dua cari carik kain warna merah dan putih yang dijahit menyatu dan melayang di angkasa. Orang-orang itu tersenyum kepadanya.

Lalu muncul bangunan kota yang padat, aliran sungai warna kuning dan kemacetan yang panjang. Pemuda itu melihatnya tetapi berpaling kepada candi-candi tua, hamparan lontar, ladang teh, sawah dan bunga-bunga liar.

Si pemuda menyangka dia bermimpi. Segala hal yang berada di luar egonya mengalir dalam pusaran waktu yang tenang; hutan, sungai, puncak-puncak bukit.

Kemudian dia melihat dirinya sendiri melayang di antara hal-hal ajaib itu, menelusuri lorong semesta tak bertepi hingga berujung pada sebuah puncak. Pemuda itu tersadar; semesta telah memuntahkannya kembali di atas Kilimanjaro.

Saat mereka kembali, si pelayan sedang menunggu di belakang kedai.

“Bagaimana?”

“Luar biasa.” Jawab si pemuda sambil mengibas debu-debu semesta dari pakaiannya. Butiran cahaya lesap seperti kunang-kunang yang remuk.

Mereka masuk ke dalam dan mulai minum. Sambil minum pemuda itu mengisahkan semesta yang telah menelannya seperti ular raksasa, membenturkannya dari satu planet ke planet lain lalu memuntahkan dia kembali.

“Hebat! Apakah kau pernah terjatuh di antara bintang-gemintang?” dia bertanya kepada pelayan.

“Bintang-gemintang?”

“Bukankah yang kulihat dari puncak itu semesta yang ditaburi bintang?”

“Bukan,” pelayan itu menggeleng, “Teruslah ke barat melewati gunung ini maka kau akan melihat kembali hal-hal yang terlihat dari puncak itu. Gunung itu hanya memantulkan panorama dari sebuah negeri besar dengan ribuan pulau, jutaan suku, dan hal-hal menarik lainnya.”

“Jadi itu semua nyata?”

“Begitulah. Orang-orang asing selalu datang ke sana setiap hari, terpikat pada orang-orang pribumi lugu yang cepat tersenyum.”

Pemuda itu melihat pesawat di luar, dia berpikir sejenak lalu memutuskan untuk ke barat.

“Baiklah kalau demikian saya akan terus ke barat. Omong-omong, karena negeri itu sedemikian indahnya, apa yang bisa saya bawa kepada orang-orang yang akan saya temui?”

Pelayan itu tersenyum, dengan nada bergurau dia berkata; ”Tukarkan beberapa lembar uangmu ke dalam bentuk recehan lalu berikan kepada orang-orang yang kau temui khususnya pengamen, pengemis dan anak-anak kecil di lampu merah. Negeri itu begitu kaya, tetapi kemiskinan sepertinya tak terhindarkan bagi sebagian besar warganya.”

“Tetapi, apakah tindakan memberikan uang tidak akan melukai perasaan mereka?” Tanya pemuda itu.

“Tentu saja tidak.”

Pemuda itu tidak begitu yakin, dia hendak berbalik ke dalam kedai untuk bertanya kepada pelayan, kenapa negeri yang kaya raya melahirkan banyak pengemis, tetapi dia urung bertanya. Setidaknya dia akan menukarkan sejumlah besar uangnya untuk menyenangkan pribumi di negeri yang akan dia datangi. Selama perjalanan selanjutnya, dia tidak akan berhenti bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

 

*cerpen ini hanya sebuah contoh bagaimana mengolah sebuah ide dalam menulis fiksi eksperimental. *

**menulis fiksi eksperimental disebut juga menulis fantasi atau fiksi abstrak**

***Karya – karya Ben Loory bisa menjadi salah satu rujukan untuk belajar menulis fiksi eksperimental.***

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan