jasmerah-jangan-melupakan-sejarah

Jasmerah dan Pelajaran Sejarah (Bangsa)

            “Jasmerah: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (never leave history) merupakan ungkapan penuh makna dari seorang proklamator, sekaligus presiden pertama RI, Soekarno. Jasmerah menjadi judul pidato Soekarno pada perayaan HUT kemerdekaan RI ke-21, pada 17 Agustus 1966. Ungkapan ini mengandung makna politis dan imperatif. Disebut bermakna politis karena menanggapi situasi politik saat itu. Dalam mana mulai menguak dan tercium pergolakan dan pergerakan politik untuk menjatuhkan Soekarno dari kursi kepresidenan. Kemudian, disebut imperatif, karena dari judulnya saja, “Jasmerah”, pidato ini bernuansa mengajak dan menghimbau seluruh rakyat Indonesia untuk “jangan sekali-kali meninggalkan atau melupakan sejarah”. Nuansa imperatif dari pidato ini menarik untuk dilihat lebih mendalam. Apa sebenarnya ikhtiar Soekarno mengimperasi rakyat Indonesia untuk jangan sekali-kali melupakan sejarah?

            Roso Daras dalam bukunya “Pidato Terakhir Bung Karno-Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” menjawabi pertanyaan tersebut di atas. Pasalnya, sejarah merupakan fondasi bagi konstruksi sebuah bangsa, dan sekaligus menjadi landasan pacu bagi perjuangan dan penghidupan masa depan bangsa. Lebih lanjut, Soekarno dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden RI, sebagaimana dikutip Roso Daras, menegaskan bahwa “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan lantas engkau akan menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling hanya berupa amuk-amuk belaka” (Roso Daras, 2001, hlm v).

            Dari ungkapan Soekarno tersebut di atas, dapat ditemukan bahwa makna sejarah bukan hanya sebatas “untuk mengetahui kisah fakta masa lalu”. Sejarah sebenarnya juga mempunyai makna futuristik. Dalam mana, melalui pengetahuan tentang sejarah, baik yang miris maupun yang jaya, manusia dapat menyusun strategi bagi masa depan. Strategi dimaksudkan agar di satu sisi manusia tidak terjebak pada fakta miris yang terjadi pada masa lalu. Dan di sisi lain, agar manusia tetap jaya seperti yang terjadi pada masa lampau. Jadi, dalam konteks sejarah kolektif-bangsa, sejarah yang bermakna futuristik menjadi sumber inspirasi dan daya mempersatu yang mengikat seluruh bangsa Indonesia (Rosa, 2001, v).

            Melihat makna sejarah yang begitu besar bagi kemajuan bangsa, maka penting bagi generasi sekarang untuk mempelajari sejarah bangsa. Mempelajari sejarah bangsa bukan hanya sebatas “belajar hanya untuk tahu,” tetapi sejauh itu belajar untuk menginternalisasi nilai-nilai sejarah itu. Sejarah diusahakan mampu mentransformasi semangat kaum muda agar nilai perjuangan dan spirit patriotisme masa silam bisa menjelma dalam jiwa kaum muda sekarang. Karena itu, adalah sebuah urgensitas bangsa untuk mendesak anak bangsa mempelajari sejarah bangsa.

            Tugas memperkenalkan dan menginternalisasi nilai-nilai sejarah pada anak-anak bangsa adalah tugas pendidikan. Sebab, bagi Konrad Kebung, pendidikan mengekspresikan sebuah usaha membawa anak didik dari kondisi belum tahu dan belum matang kepada situasi tahu dan matang. Lebih lanjut, baginya pendidikan merupakan upaya pembudayaan dan pemanusiaan manusia (Konrad Kebung, 2008, hlm. 2). Karena itu, para pendidik  dalam dunia pendidikan mesti mengkonstruksi lingkungan pendidikan yang baik dan kondusif agar para peserta didik benar-benar bisa menjadi manusia yang berbudaya dan berwatak manusiawi.

            Dalam dunia pendidikan, guru mempunyai peran sentral dalam mentransformasi dan menginternalisasi nilai-nilai sejarah di dalam diri peserta didik. Dalam hal ini, guru tidak hanya berperan sebagai aktor yang hanya sebatas memberikan pengetahuan kepada siswa. Tetapi juga dia harus berusaha sejauh mungkin, agar pengetahuan yang diberikannya itu bermakna bagi peserta didik baik secara individual maupun secara komunal demi masa depan bangsa. Pada titik ini sangat diperlukan kecerdasan dan kreatifitas guru dalam menyajikan materi sejarah.

Materi sejarah yang dimaksud adalah isi dari pelajaran sejarah. Materi sejarah mengandung pengetahuan objektif, bersifat universal (dapat diterima umum) dan dapat dipercaya. Materi sejarah merupakan hasil konstruksi para sejarahwan dan penyaksi sejarah perihal peristiwa bermakna pada masa lalu. Peristiwa itu adalah peristiwa kolektif yang dialami oleh bangsa Indonesia. Materi sejarah itu mengandung fakta, bukan cerita fiktif atau mitos. Di dalamnya mengandung nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan dan perkembangan bangsa serta anak-anak bangsa.

Materi sejarah itu diusahakan sedemikian supaya anak-anak bangsa tidak hanya sekadar tahu tentang sejarah itu, tetapi lebih dari itu mampu menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Karena itu, para guru sejarah selaku aktor kunci pengajaran sejarah mesti memperhatikan secara serius perihal cara dan pola penyajian materi sejarah. Para guru sejarah mesti mempunyai cara kreatif dalam meyajikan materi sejarah. Sebab pola penyajian materi mempunyai pengaruh besar bagi terbagunnya minat siswa dalam mempelajari sejarah.

            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, term “penyajian” yang dimaksud, dijelaskan sebagai “proses, cara, pembuatan penyajian; dan cara menyampaikan pemberitaan karangan atau makalah dan sebagainya.” Substansi dari definisi yang dikemukakan ini adalah bahwa penyajian merupakan suatu proses atau cara dalam menyampaikan dan memberitakan sesuatu yang bermakna bagi orang lain. Karena apa yang diwartakan dan diberitakan itu berkaitan dengan dan bermakna bagi “yang lain,” maka sebelum menyajikan sesuatu itu, penyaji harus terlebih dahulu mempersiapkan diri serta materi/informasi itu secara baik, supaya apa yang disajikan itu diminati, diterima, dan kemudian dimaknai oleh orang yang mendengarnya. Dalam konteks penyajian materi sejarah, guru sejarah mesti mempersiapkan diri dan pengetahuan tentang sejarah terlebih dahulu sebelum mengajarkannya kepada para murid. Selain itu, cara penyajiannya harus menarik dan kreatif, agar apa yang diajarkan dapat diterima secara baik oleh para murid.

            Kreatifitas guru sejarah dalam menyajikan materi sejarah mesti disesuaikan dengan perkembangan dan usia rata-rata para siswa. Atau dengan kata lain, seorang guru sejarah harus memahami pertumbuhan dan perkembangan para murid secara koprehensif.  Hal ini akan memudahkan guru untuk menilai kebutuhan, serta memudahkannya dalam merancang tujuan, bahan serta pola pembelajaran yang tepat (Hamalik, 2011, 93). Tentu, cara penyajian materi sejarah pada siswa SD berbeda dengan siswa SMP. Demikian seterusnya, cara penyajian materi sejarah pada siswa SMP berbeda dengan siswa SMA, dan demikian juga berbeda dengan mahasiswa. Karena itu, sekali lagi dibutuhkan kreativitas guru dalam menyajikan materi pelajaran sejarah.

            Kreatifitas guru dalam menyajikan materi sejarah penting supaya para siswa mempunyai minat yang tinggi terhadap materi sejarah. Pembangunan minat pada sejarah ini penting, supaya para siswa dapat mengikuti dan mempelajarinya dengan tekun dan serius, sehingga pada akhirnya siswa tidak hanya mendapat nilai kumulatif yang memuaskan, tetapi juga nilai-nilai sejarah yang dipelajari dapat terinternalisasi dalam jiwa peserta didik. Tanpa minat, pelajaran sejarah hanya dilihat sebagai formalitas belaka dan hanya merupakan pelajaran kosong nirmakna.

            Minat mempunyai arti penting dalam kaitan dengan pelaksanaan studi, karena ia dapat melahirkan perhatian yang merata, memudahkan terciptanya konsentrasi, mencegah gangguan dari luar, memperkuat melekatnya bahan pelajaran dalam memori, dan memperkecil kebosanan studi dalam dirinya sendiri. Dari pemahaman ini, upaya membangun minat belajar sejarah penting agar nilai-nilai sejarah melekat dalam ingatan, sehingga mudah terinternalisasi dalam pribadi siswa.

Setelah penulis melihat bahwa sejarah mempunyai makna futuristik dan sekaligus sebagai fundasi bagi eksistensi masa sekarang dan masa depan, maka adalah sebuah urgensitas bagi para guru sejarah untuk membangun minat peserta bagi pelajaran sejarah. Sebab, jika para anak bangsa tidak punya minat mempelajari sejarah, maka sejarah akan ditinggalkan, dan anak-anak bangsa berdiri di atas kekosongan sejarah.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan