buku-sufisme-kuntowijoyo

Puisi dan Sufisme

Orang Jawa mengenal suluk, mengenal kidung sebagai bagian dari keseharian mereka. Di dalam kidung itu, orang Jawa tak hanya memanjatkan doa, tetapi juga menyanyikan dzikir. Di saat menjelang magrib, orangtua kita dulu biasa menyanyikan kidung untuk anaknya. Kidung itu tak hanya dinyanyikan sebagai doa agar para setan tak mengganggu anaknya, tapi juga sebagai doa keselamatan bagi diri dan keluarganya. Di masa kerajaan-kerajaan Islam dulu, tepatnya di masa Sultan Agung, kita mengenali Serat Centhini. Serat Centhini, dan serat-serat yang lain pada mulanya adalah tembang. Ia didendangkan, tak seperti sekarang ketika ia berubah menjadi bacaan.

Pada kidung, atau syair itu, kita tak hanya mendapati doa, tetapi juga cerita, riwayat, serta ajaran kebijaksanaan. Di pesantren, para santri sering menyanyikan kidung, suluk ini di keseharian mereka. Biasanya mereka mendendangkan di sela-sela Adzan dan Iqamah.

Saya jadi ingat cerita Elizabeth D. Inandiak, di Jawa, utamanya di masa lampau, malam adalah tempat yang ramai baik di keraton maupun di luar keraton. Baik di jalan-jalan maupun di dalam rumah, di malam hari, orang Jawa sering nembang diiringi dengan gamelan. Kini, seiring berjalannya waktu, suluk, kidung makin lama makin sepi, tak seramai dulu.

Di kalangan orang Muhammadiyah, kidung, suluk ini memang jarang dilafalkan lagi karena identik dengan bidah. Padahal, KH. AR. Fachrudin dulu pernah menulis suluk di bukunya Soal Jawab Entheng-Enthengan (1980). Saya kutipkan disini bait pertama suluknya: Awak-awak wangsulana (saudara-saudara jawablah)/pitakonku marang sira (pertanyaanku padamu)/saka ngendi sira iku (darimana kamu itu)/menyang endi tujuanmu (kemana tujuanmu).

puisi-aliran-sufisme

Judul buku: Suluk Awang-Uwung
Penulis: Kuntowijoyo
Tahun: Mei 2017
Penerbit: Mata Angin
Halaman: 40 Halaman
ISBN: 978-979-9471-34-5

Membaca suluk Awang-Awung (2017) karya Kuntowijoyo mengajak kita mengingat kembali suluk yang pernah populer di Jawa di masa lalu. Suluk sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai jalan ke arah kesempurnaan batin, tasawuf, tarekat, mistik. Buku puisi ini memang pernah terbit di tahun 1975, namun tetap tak kehilangan pesonanya hingga kini.

Lewat buku ini, kita diajak untuk mengingat Rumi yang dekat pada syair-syair sufistik. Kuntowijoyo di Suluk Awang-Awung terasa sekali akrab dengan metafor alam, dzikir, serta permenungan. Pada syair bernomor 8 misalnya kita akan menemukan bagaimana Kuntowijoyo menyinggung sufi begitu terang. Yang dekat ialah yang jauh/ ialah yang dekat/ ialah yang jauh / maka ketika sufi menengadahkan tangan/ ia bertemu dengan langit/ di pusat semesta. Petilan syair ini jelas merupakan simbolisasi, metafor akan doa. Di suluk, penyair atau para sufi biasanya mengisahkan doa di puisi-puisinya.

Selain menyinggung ihwal doa, kita bakal disuguhi syair yang mendaraskan kefanaan, tentang dunia yang tak kekal. Para sufi, sering menyinggung soal ini dengan mengatakan bahwa orang yang bisa merasakan kematian sebelum mati, ia telah menemukan Tuhan. Maksudnya, para sufi biasa memandang dunia ini sebagai sebuah penjara, sehingga ia tak terlampau mengejar apalagi berebut meraihnya. Pembaca bisa meresapi syair nomor 6 yang ditulis Kuntowijoyo : tatap ragamu/ ketika ia larut/ di air kolam/ waktu engkau mengaca/ adakah juga ruh berkilauan bagai manik-manik/ menghias muka danau?/ Ingatlah, engkau sebagian dari pasir/ lenyap dari pandangan/ waktu petani membasuh lumpur. Betapa fananya dunia, digambarkan jelas di frase seperti pasir yang cepat lenyap, seperti petani membasuh lumpur ketika di sawah.

Kuntowijoyo sendiri juga menulis syair yang berbau sufisme di buku puisinya Marifat Daun, Daun Marifat (1995). Suluk Awang-Awung (2017) disebut Kuntowijoyo sebagai teistik Jawa-Islam. Kita bisa merasakan Kuntowijoyo menjelaskan bagaimana kehidupan dunia yang fana ini hanyalah sebagai sebuah jembatan. Rumi sendiri mengatakan ini dalam Diwannya : Tinggalkanlah ghazal/ tetaplah azal(prakeabadian) (D2115). Meski menyanyikan ghazal, Rumi pun menghimbau untuk tak melupakan azal alias kematian. Pada syair nomor 29 Kuntowijoyo juga menuliskan hal serupa : Karena mencinta langit/ kematian bukan akhir kisah/ Ada tempat kau berhenti/ dalam perjalanan kembali.

Membaca syair-syair Kuntowijoyo seperti membuat kita larut dalam permenungan, dalam dzikir yang dalam, yang mengajak kita kepada khalwat kepada Sang Pencipta. Buku puisi ini mengajak kita bukan hanya membaca alam, serta peristiwa lebih dalam, tapi juga mengajak kita untuk tafakur (berpikir) merenungi ciptaan dan kekuasaan Tuhan.

Kita bisa membaca dan meresapi syair nomor 34 berikut ini : Yang tergantung di udara/ Adalah kemerdekaan/ Kau lihat/ Pelan ia turun/ Menghapus debu/ Dari ruhmu/ Ketahuilah: Ia mengangkatmu/ Bagai segumpal kapas/ Merayap ujung kerucut/ Puncak dari puncak/ Tempat engkau menetap.

Di puisi-puisi Kuntowijoyo, kita bakal mendapati nuansa sufisme yang kental. Melalui puisi-puisinya, kita bisa meresapi, menghayati lebih dalam tentang syair-syair sufisme. Buku ini mengajak kita untuk mendendangkan kembali kidung, yang merupakan bagian dari tradisi Jawa sekaligus meresapi Islam yang terkandung didalamnya.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kontributor bukuonlinestore.com

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan