perlunya-uu-desa

Mencari Peran UU Desa dalam Menjamin Aktifitas Ekonomi Desa

Adakah masa depan cerah dapat diharapkan dari desa? Sebagian besar dari kita akan pesimis mampu hidup layak dengan berbekal cangkul dan sebidang tanah dibanding dengan laptop, mesin dan kantor. Hijau padi, sayur mayur serta ternak yang gemuk seakan lebih menyuguhkan penderitaan sehingga membuat orang lebih memilih mengais rizki dalam kepulan debu dan asap kota. Angka urbanisasi pun meledak tak terbendung. Desa hanya menyisakan sepi. Desa adalah tempat kemiskinan serta kuburan kelak bagi mereka yang pernah dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang yang diberikan oleh desa.

Sungguh mengherankan jika desa sebagai lumbung kehidupan kemudian menjadi daerah yang tak bedaya sehingga perlu diberdayakan. Padahal desa menjadi inspirasi pendiri bangsa dalam menyusun tata pemerintahan yang ideal yakni demokrasi permusyawaratan. Desa mengilhami lahirnya gotong-royong sebagai karakter bangsa kita. Manusia desa adalah pelaku demokrasi secara langsung sebagaimana bentuk masyarakat ideal yang diimpikan Jean Jacques Rousseau, penggagas pemerintahan rakyat. Sebab itu, desa seharusnya menjadi pelopor kemajuan bangsa Indonesia. Namun sayangnya, semua narasi besar tersebut runtuh di hadapan kehidupan desa yang mengalami ketimpangan dan terbelakang.

Peribahasa “itik mati kelaparan di atas tumpukan padi” sudah tidak relevan lagi diungkap dengan nada simpatik dan hati terenyuh. Peribahasa tersebut harus disambut dengan berkerut dahi seraya berpeluh keringat mencari sebab mengapa itik tersebut bisa mati di atas tumpukan padi. Permenungan ini pun mengingatkan saya pada analisa Anthony Reid tentang asal usul kemiskinan di Asia Tenggara dalam bukunya Sejarah Asia Tenggara dalam Kurun Niaga jilid 2 (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 2011).

            Reid menjelaskan bahwa faktor utama kemiskinan masyarakat Asia Tenggara adalah kesewenang-wenangan kekuasaan raja. Raja tidak menghendaki rakyatnya menjadi kaya. Raja tidak mau rakyat menjadi kelas ekonomi yang kuat sebab bisa mengancam kedudukan mereka. Kekhawatiran para raja tersebut mendorongnya untuk merampas harta benda rakyat dengan sewenang-wenang.

            Perampasan harta berharga membuat rakyat tidak termotivasi untuk membangun usaha. Rakyat pun tidak tertarik menyimpan harta mereka dalam bentuk modal menetap seperti tanah, rumah produksi dan lainnya karena merasa tidak aman dari kecemburuan raja. Rakyat lebih tertarik untuk menyimpan kekayaan mereka dalam bentuk perhiasan dan kain mahal yang mudah dibawa lari saat terjadi kekacauan. Rakyat pun tidak terdorong untuk memajukan budaya dan berinovasi. Akibatnya, kelas menengah di Asia Tenggara, seperti di Indonesia, tidak tercipta. Reid, dalam bukunya, mengutip pernyataan Mantegazza (1784 : 103) sebagai berikut :

“Inersia atau kelambanan yang menghambat wilayah ini (Bhurma) dalam inovasi dan kemajuan seni bisa mempunyai banyak sebab. Namun sebab utama adalah pemerintah yang menghambat setiap kegiatan. Kalau ada orang rajin menjadi kaya melebihin kelaziman, maka ia akan menghadapi kecemburuan dan penangkapan”.

Tidak ada perlindungan terhadap hak milik pribadi masyarakat Asia Tenggara saat itu, sebagaimana yang berlaku di Eropa, memberikan efek fatal kemiskinan yang membuat bangsa kita sekarang masih dalam taraf negara berkembang. Kesewenangan raja diperparah dengan kehadiran kolonialisme yang menyempurnakan hancurnya ekonomi rakyat dengan kerja paksa dan monopoli dagang. Penguasa pribumi yang kejam bekerjasama dengan kolonial untuk melakukan praktik penindasan tersebut.

Perkebunan kopi menjadi saksi air mata rakyat yang membisu dan pasrah. Belanda memanfaatkan penguasa lokal di daerah Indonesia untuk memobilisasi rakyat melakukan kerja paksa di perkebunan kopi. Kolonial Belanda menganggap bahwa struktur penindasan penguasa lokal atas rakyatnya adalah hal yang sudah lumrah dan wajar.

            Berkaca pada analisa Reid, saya melihat persoalan kemiskinan adalah persoalan struktur sosial yang menyangkut jaminan untuk berwirauasaha. Analisa Reid memberi saya cara pandang melihat persoalan ketimpangan di desa. Meskipun sistem kerajaan sudah dihapus oleh kemerdekaan, bentuk struktur sosial lama penyebab ketimpangan belum sepenuhnya hilang. Raja yang sewenang-wenang memang sudah hilang, namun kini muncul perangkat desa yang korup dan tengkulak. Petani memang sudah tidak menderita sebab kerja paksa atau perampasan harta. Namun kini, petani menghadapi penggusuran proyek investasi, pembangunan, harga murah, hingga tetangga yang iri hati.

Setidaknya, kita memiliki undang-undang (UU) Desa sebagai alat politik diharapkan mampu mengatasi struktur sosial yang timpang. UU Desa dibutuhkan untuk melindungi kegiatan ekonomi rakyat yang sejak dahulu tidak terjamin. Namun, UU Desa masih perlu berjuang keras dan menguatkan diri dalam menghadapi ketimpangan sosial di desa yang sudah mendarah daging.

UU Desa dan Jalan Panjang Transformasi Desa

            Pemajuan desa telah diatur dalam UU Desa pada bab ke IX tentang pembangunan desa. Pasal 78 UU Desa menjelaskan bahwa pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa serta untuk menanggulangi kemiskinan. Upaya yang dilakukan meliputi pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

            Sebagai perangkat hukum, UU Desa memiliki maksud baik untuk memajukan desa. Upaya-upaya yang tertulis dalam pasal 78 mampu mendorong desa berkembang. Contohnya adalah desa Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah melalui wisata umbul Ponggok yang dikelola oleh Bumdes. Namun sebaliknya, tidak sedikit pula desa yang belum mampu keluar dari ketimpangan. Desa-desa tersebut tidak seperti desa Polanharjo yang diuntungkan oleh alam yang dapat diolah menjadi wisata. Umumnya, desa banyak bergantung pada pertanian yang justru sering tidak terlindung. Majunya desa adalah majunya pertaniannya.

            Ancaman ekonomi pertanian datang dari tengkulak. Petani yang hari-harinya habis dilahap oleh pengolahan lahan yang berat dan menyita banyak waktu membuat mereka tak memiliki kesempatan untuk mengembangkan pasar dan berinovasi. Mereka akhirnya tergantung kepada tengkulak yang secara khusus mencurahkan waktu dan daya pikirnya untuk berdagang dan mencari pasar.

Tengkulak menguasai pasar. Tengkulak mampu menentukan harga sedangkan petani tidak. Hal tersebut menciptakan kesenjangan kemampuan dalam tawar menawar harga hasil tani. Naasnya, ketidakberdayaan petani dalam menentukan harga tidak ditolong dan dilindungi oleh kebijakan negara. Akibatnya, kehidupan tani terbuka bebas untuk dirugikan tengkulak.

            Ada dua fakta lapangan yang dapat kita jadikan sampel kasus. Seorang penderes nira kelapa contohnya. Mereka bekerja keras sepanjang hari memanjat puluhan pohon kelapa dan memasak nira hingga menjadi gula merah. Seringkali, penderes terjerat hutang kepada juragan pembeli gula merah. Hutang tersebut menyebabkan seluruh hasil produksi gula merah penderes akan dimonopoli penjualannya oleh juragan gula merah. Sayangnya, gula merah akan dibeli dengan harga sangat murah oleh juragan yang memberikan pinjaman uang kepada penderes. Akhirnya, penderes tidak mampu menjual gula merahnya secara bebas dan mencari harga tertinggi. Penderes pun tak akan hidup cukup dan sepanjang hayatnya akan tertawan oleh jeratan hutang.

            Nasib penderes juga dialami oleh petani padi. Ia berisiko besar mempertaruhkan nasibnya untuk menanggung modal tanam. Petani padi tanpa modal akan berhutang kepada tengkulak untuk membiayai produksi sawah mereka. Pinjaman tersebut berakibat pada monopoli pembelian hasil panen oleh tengkulak dengan harga murah. Kontrak merugikan tersebut akan terus berulang hingga petani tak mampu lagi bekerja.

Besarnya pertaruhan petani dalam memperoleh modal tidak sebanding dengan keamanan usahanya. Pencurian, dan iri hati yang berujung pada penggunaan jasa paranormal untuk menghancurkan usaha adalah wajah suram wirausaha desa. Selain itu, pertanian juga rentan terhadap hama dan iklim yang turut mempersulit petani untuk sekadar memperoleh modalnya kembali. Tidak ada ganti rugi untuk petani jika hasil tanamannya dicuri tetangganya sendiri atau terserang hama.

            Realitas hidup petani diatas masih minim diperhatikan oleh pemerintah. Jarang sekali terlihat informasi ketetapan harga beli produk pertanian dari petani dalam laman website pangan. informasi harga hanya memberikan info harga jual produk pertanian kepada konsumen. Padahal, intervensi dari pemerintah melalui kebijakan sangat dibutuhkan untuk melindungi petani dari jeratan tengkulak.

            Kerja pertanian tidak seperti pedagang atau buruh pabrik maupun pegawai. Tenaga yang dikeluarkan petani setiap hari tidak masuk dalam hitungan pembayaran. Selama masa perawatan tanaman, petani tidak memiliki pemasukan. Petani tidak digaji selama 3 bulan merawat padinya. Hal ini berbeda dengan seorang guru yang setiap jam pelajaran dihitung gajinya atau seorang pedagang yang langsung mendapat uang begitu barang mereka laku terjual. Petani juga tidak seperti buruh yang dijamin oleh kebijakan upah minimum atau sertifikasi gaji untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kondisi petani berbeda dengan pegawai bank. Para pegawai bank tidak berisiko dengan kemodalan. Ia hanya cukup menjual ketrampilannya dan jasanya saja kepada instansi untuk memperoleh uang. Sementara itu, petani dan penderes hanya bergantung pada hasil panen. tidak terlindung oleh aturan seperti

            Upaya pemajuan desa juga terhambat oleh perangkat desa yang tidak amanah seperti korupsi dan penyalahgunaan izin. Perangkat desa menjadi sumber kemiskinan karena perilakunya mirip dengan kesewang-wenangan raja. Mentalitas buruk feodalisme ternyata masih terbawa di negara dengan sistem modern seperti saat ini. Banyak perangkat desa ditangkap karena kasus korupsi dana desa.

Selain korupsi, praktik perizinan pembangunan yang berasal dari investasi seringkali membuat rakyat desa tergusur secara ekonomi dan ruang. Sawah dan rumah petani hilang menjadi pabrik atau tempat hiburan. Sementara petani dibiarkan tidak dibekali kecakapan sehingga tidak bisa menikmati investasi. Desa penerima investasi mungkin menjadi besar dan terkenal, namun penduduk aslinya hilang digantikan masyarakat pendatang yang lebih berdaya saing.

Penyalahgunaan perizinan seringkali digunakan oleh perangkat desa untuk memperkaya diri sendiri. Realita tersebut menggambarkan banyak pimpinan desa kita yang belum memiliki mentalitas pengayom masyarakat dengan melaksanakan UU Desa dengan sebaik-baiknya.

Peran Undang-Undang Desa sebagai Ruang Gerak Masyarakat Desa

            Persoalan ketimpangan desa menjadi pekerjaan rumah (PR) UU Desa. Point-point dalam UU Desa perlu dipertajam sehingga tidak hanya berhenti pada himbauan. Kemajuan desa tentu berawal dari sistem ekonomi desa, yakni pertanian. Kemajuan desa memerlukan aturan lengkap yang melindungi usaha pertanian dari segala aspek. UU Desa harus dimajukan dengan diberi masukan problematika yang ditemui di kehidupan desa. Tanpa hal tersebut, UU Desa tidak akan menjawab dasar persoalan masyarakat.

            Salah satu point penting yang perlu diperluas dalam UU Desa adalah ruang gerak masyarakat untuk berinovasi. UU Desa banyak berbicara perihal tata kelola desa dan peran perangkat desa namun sedikit sekali mengulas ranah gerak masyarakat desa.

Dalam pembangunan desa, masyarakat masih ditempatkan sebagai orang dilibatkan dan ditampung aspirasinya, bukan sebagai seorang inisiator dan penggerak penuh. Hal itu sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal dalam UU Desa pada bab ke IX tentang pembangunan desa. Padahal realitanya, banyak perubahan sosial yang berhasil dilakukan oleh seorang individu warga termasuk dalam melindungi dan meningkatkan hasil usaha pertanian.

            Contohnya adalah berdirinya Desa Wisata Menari, dusun Tanon, desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Penggagasnya adalah Trisno, seorang sarjana pertama dari desanya yang menolak menjadi penyumbang angka urbanisasi. Dusun Tanon sebelumnya hanya terdiri dari petani dan peternak sapi dan dikenal sebagai desa miskin. Bahkan berkembang sebuah rumor bahwa kemiskinan dusun Tanon bisa menular sehingga banyak warga desa tetangga yang menolak kawin dengan orang dari dusun Tanon.

            Berkat upaya yang dilakukan Trisno, dusun Tanon kini berubah menjadi tempat wisata terkenal dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat tani. Trisno berhasil memadukan antara kehidupan tani dengan program wisata desa Menari. Perpaduan itu menghasilkan konsep wisata yang menambah penghasilan petani dan peternak tanpa menggusur kehidupan sehari-hari dan profesi warga desanya.

Selain itu, Trisno juga mampu menyulap kesenian tari tradisional di kampungnya yang hampir hilang menjadi daya tarik utama wisatawan di kampung Menari Tanon. Pendapatan petani dan para penari di desa Tanon pun meningkat berkat upaya Trisno. Petani desa Tanon kini tidak perlu menjual hasilnya kepada tengkulak. Trisno telah berhasil menghapus rumor kemiskinan desa Tanon yang bisa menular seperti virus.

Keberhasilan Trisno pun menjadi langkah untuk mewujudkan cita-citanya yakni memangkas angka urbanisasi dari desanya. Sudah banyak pemuda desa Tanon yang ia didik kecakapan pemandu wisata, bahasa asing bahkan ia sekolahkan di perguruan tinggi. Trisno juga mengajak para akdemisi kampus dan mahasiswa untuk membangun desa Tanon melalui program pengabdian masyarakat.

Contoh diatas adalah penguat perlunya memberikan ruang lebih luas kepada masyarakat untuk membangun kemajuan mereka sendiri. Contoh tersebut menunjukan bahwa inovasi dan perubahan bisa dilakukan oleh individu warga desa yang berpikiran maju. Pemerintah desa harus menjadi fasilitator dan pendukung individu yang memiliki gagasan memajukan desanya, bukan malah merasa tersaingi sebagaimana sikap raja-raja dahulu kala. Rasa tersaingi hanya akan menghambat kemajuan desa.

Dukungan pemerintah harus mewujud dalam UU Desa. Tanpa membuka ruang untuk masyarakat, generasi desa tidak akan terdorong untuk maju sebagaimana rakyat pada masa kerajaan di Asia Tenggara. Mereka akan kehilangan harapan bisa hidup di desanya dan akhirnya menjadi penyumbang arus urbanisasi. Desa pun akan selalu menjadi kisah usang kemiskinan dan ketimpangan. Sebab itu, sudah saatnya kita mengakhiri peribahasa “itik mati di atas tumpukan padi” dari kamus kehidupan desa di negara Indonesia.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan