Hari Bahasa Indonesia diperingati pada setiap 28 Oktober. Peringatan ini mengacu pada peristiwa Sumpah Pemuda yang mengangkat Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa. Pemilihan Bahasa Indonesia tentu merupakan hasil proses sejarah yang panjang. Pemahaman atas proses sejarah tersebut tentu menjadi penting bagi sejarah bahasa kita.
Asumsi 28 Oktober sebagai faktor tungal kelahiran Bahasa Indonesia dapat menyederhanakan sejarah pembentukan Bahasa Indonesia. Asumsi tersebut dapat menafikan peran pers dan sastrawan pribumi yang turut membentuknya. Selain itu, kita pun juga akan kehilangan data sosio-historis yang melingkupi suasana pembentukan bahasa. Lahirnya Bahasa Indonesia tentu bukanlah hal yang jatuh secara tiba-tiba dari langit.
Sumpah Pemuda hanya salah satu bagian dari sejarah besar pembentukan Bahasa Indonesia. Peranan penting Sumpah Pemuda tentu tidak bisa dinafikan. Namun melupakan kontribusi rakyat yang tidak terlibat dalam gerakan Sumpah Pemuda adalah tidak adil. Pers, penerbitan, serta sastrawan pribumi perlu mendapat tempat layak dalam sejarah pembentukan Bahasa Indonesia.
Sastrawan pribumi berjasa dalam penyebaran Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan oleh penulis-penulis pribumi sebagai medium komunikasi gagasan, kehidupan, dan nilai-nilai sosial sejak akhir abad 18. Hal itu bisa kita lihat dari penulisan hikayat seperti Hikayat Soeltan Ibrahim (1890), Hikayat Amir Hamzah (1891), dan Hikayat Nyai Dasima (1896).
Munculnya penerbitan swasta yang mempublikasikan karya-karya penulis pribumi memperluas dan mengkokohkan eksistensi Bahasa Indonesia sebagai lingua franca. Para Penulis Tionghoa juga turut berperan dalam mengisi kesustraan Bahasa Indonesia. Buah karya dalam bentuk novel tersebut kemudian hari oleh Pemerintah Kolonial Belanda dianggap membahayakan. Pemerintah kolonial secara sepihak menyebut para novelis itu sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan para agitator” ungkap Maman S Mahayana dalam buku Bermain dengan Cerpen (Gramedia : 2006).
Pemerintah Kolonial akhirnya mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) pada tahun 1908 sebagai respon atas karya-karya terbitan swasta tersebut. Komisi ini kemudian berganti menjadi Kantor Bacaan Rakyat (1917) yang kemudian dikenal dengan nama Balai Pustaka. Pemerintah kolonial merasa perlu mendirikan Balai Pustaka guna menangkal pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Produk buku penerbit swasta dianggap dapat membawa pengaruh buruk bagi pemerintah Belanda.
Karya penulis pribumi dan penerbit swasta tenggelam oleh pengaruh Balai Pustaka. mereka pun terlupakan sebagai perintis kesusastrawanan modern Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari pendapat pengamat Sastra Indonesia yang menempatkan kelahiran tahun Balai Pustaka sebagai kelahiran sastra Indonesia. Beberapa pengamat sastra yang lain menempatkan 1920 maupun 28 Oktober 1928 sebagai kelahiran sastra Indonesia seakan menafikan posisi penulis pribumi dan penerbit swasta akhir abad 18.
Nasib pers pribumi tak jauh lebih baik dari nasib penulis pribumi dalam sejarah. Kita bisa menyebut Raden Mas Tirto Adhi Soerjo beserta yang ia dirikan sebagai contoh. R.M. Tirto Adhi Soerjo belum mendapatkan tempat yang sesuai dalam penyusunan modern Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Sang Pemula (Hasta Mitra : 1985). Riwayat hidup Tirto seakan tebuang dan terlupakan setelah madu amalnya habis terhisap.
Mengenal Tirto
Pram menyebut Tirto sebagai “Sang Pemula”. Sebutan itu merupakan julukan dan penghormatan atas jasanya sebagai perintis dalam berbagai gerakan. Pram seolah ingin menunjukan bahwa Tirto bukan hanya sekedar perintis Pers Indonesia sebagaimana gelar yang diberikan oleh pemerintah. Pram menganggap gelar yang diberikan pemerintah terlalu menyederhanakan jasa Tirto. Sebutan “Sang Pemula” membongkar penyederhanaan itu.
Ada banyak hal yang dirintis oleh Tirto selain Pers. Ia dikenal sebagai orang pertama yang terjun di bidang jasa sosial mencarikan kerja untuk orang tanpa memungut biaya (1902). Tirto juga merupakan orang pertama yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dalam sejarah Hindia Belanda (1907).
Tirto adalah pendiri organisasi pribumi modern pertama yang bernama Sarikat Prijaji (1906) yang telah ada sebelum Budi Utomo (1908). Tirto kemudian mendirikan organisasi pergerakan Sarekat Dagang Islamiyah (1909) yang kelak berkembang menjadi Sarekat Islam (1912). Sarikat Prijaji kemudian mengalami kegagalan karena kediniannya. Sejarahnya sebagai penanda kebangkitan kesadaran kebangsaan pun hilang di setiap peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
Ia memiliki jasa penting dalam pembentukan Bahasa Indonesia. Tirto merupakan peletak pedoman dasar bahwa Melayu lingua-franca adalah bahasa bangsa-bangsa di Hindia yang diperintah. Pedoman tersebut terus digunakan hingga jatuhnya kekuasaan Hindia Belanda pada 1942. Tirto juga termasuk angkatan pertama penulis yang menggunakan Melayu lingua-franca. Perseberan tulisannya tersebut melalui pers maupun penerbit swasta pribumi menjadi faktor penting pembentukan bahasa nasional.
Karir jurnalis Tirto berawal dari ia masuk Pers Melayu milik asing. Ia adalah pribumi pertama yang menjabat redaktur-kepala dan sekaligus penanggungjawab pers Melayu milik asing. Karir ini ia geluti sebelum akhirnya ia mendirikan persnya sendiri.
Ia mengubah sifat pers yang sebelumnya hanya sekedar menjual informasi menjadi sarana pembentuk pendapat umum. Pers digunakan Tirto sebagai alat perjuangan dan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasinya. ia membedah berbagai skandal pejabat kolonial, putih dan coklat, tinggi maupun bawahan. Ia mengkritik perilaku sewenang-wenang penguasa melalui tulisannya yang tajam.
Pada tahun 1903, Tirto mendirikan Soenda Berita, pers nasional pertama yang didirikan oleh pribumi. Surat kabar itu diterbitkan dengan modal penjualan semua harta-bendanya serta pemberian Bupati Cianjur. Kantor redaksinya bertempat di desa daerah Cianjur. Soenda Berita berakhir pada tahun 1906 karena kepergian Tirto ke Maluku.
Pengembaraan Tirto di Maluku kemudian mematangkan rencananya untuk menerbitkan surat kabar yang berbeda dari yang lainnya. Ia berencana membentuk pers yang bergerak memajukan bangsanya dalam hal kesadaran nasional, berorganisasi, dan berniaga. Gagasan pers tersebut ia wujudkan dengan mendirikan Medan Prijaji pada 1907. Pers ini juga bergerak dalam pelayanan bantuan hukum, dan pencarian pekerjaan.
Kerja pers Tirto tanpa sengaja telah berhasil meletakan pondasi awal dan utama dalam pembentukan nation Indonesia. Tradisi pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu yang ia awali berhasil menyatukan alam fikir pribumi menuju kesadaran nasionalnya. Tanpa kerja pers Tirto, gagasan Nasion Indonesia akan sulit terbentuk.
Jasa dan karyanya yang gemilang tidak sebanding dengan nasib hidupnya. Ia terbuang dan dibuang selama hidupnya. hari wafatnya pun sepi dari pidato yang memberitakan jasa dan amalnya. Sejarah tetap membisu tentangnya sebagaimana ia terlupa di setiap perayaan bulan bahasa.
Tanpa mengenal Tirto, kita tidak akan tahu, bahwa kesepakatan untuk berbahasa satu Bahasa Indonesia bukan sekedar mudahnya bahasa tersebut digunakan. Kita tidak akan tahu bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan tokoh pergerakan dan penulis untuk meneriakan penderitaan Rakyat Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan simbol perlawanan terhadap perilaku yang tidak manusiawi. Ia adalah Bahasa yang menyerukan kemanusiaan dan moralitas. Ia merupakan bahasa yang mewakili kepentingan rakyat terjajah dan membimbingnya kepada kesadaran kemerdekaan. Oleh karena itu, ia menjadi alat pemersatu berbagai macam suku Bangsa Indonesia yang mengalami nasib yang sama.
Penulis merupakan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Fakultas Perguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Bahasa Inggris.
Belum ada tanggapan.