Perkenalkan, namaku Pramoedya Ananta Toer. Kalian boleh memanggilku Pram, tanpa imbuhan mas, bang, apalagi pak. Kalian tahu sebabnya? Aku benci pada aristokrasi dan feodalisme. Aku benci sekali pada penindasan dan diskriminasi. Maka panggilah aku dengan namaku saja. Aku tak mau dipandang lebih tinggi dari kalian. Sebabnya, kita sama sebagai manusia. Kita sederajat dalam alam kemerdekaan.
Aku dilahirkan di Blora, Jawa tengah pada tanggal 6 Februari 1925. Ayahku adalah seorang guru dan aktivis Boedi Oetomo sedang ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang setia pada suaminya. Kau tahu sebabnya pula kan? Di jaman kecil ibuku, wanita masih dilarang sekolah dan bekerja. Wanita lebih baik jadi ibu rumah tangga, dan dididik untuk mengerti urusan dapur dan sumur saja. Jadi cukuplah jika ayah yang bekerja dan ibu mendampingi ayah dalam mengurus urusan rumah tangga. Namun ketika terjadi krisis keuangan keluarga, akhirnya ibuku bekerja. Ibuku memberontak dari tradisi. Ibukku berjualan makanan dan beras. Oh iya, ayahku bernama Mastoer Imam Badjoeri dan ibuku bernama Oemi Saida.
Ayahku, Mastoer adalah seorang yang keras wataknya. Aku tak sampai hati menyebutnya diktator. Namun, kekerasan kepalanya mirip dengan watak-watak seorang diktator. Hingga membuat aku sering tertekan. Aku sangat tertekan saat berhubungan dengan ayahku. Aku jarang bicara dengan dia. Aku lebih senang bicara pada ibuku. Aku lebih sayang padanya. Namun jangan kalian salah tangkap. Aku tak membenci ayahku. Walau dia mengganggapku bodoh dan aku sering tertekan karenanya, aku sangat menghormati ayahku. Didikan keras ayahku telah membentukku seperti saat sekarang ini. Aku juga sangat berterima kasih pada ayahku, lebih-lebih pada ibuku.
Tadi kubilang ayahku menganggapku bodoh. Kau tahu kenapa alasanya? Aku pernah tak naik sekolah dasar. Tiga kali aku tidak naik kelas. Hingga ayahku sering malu mengakuiku sebagai anaknya. Maklumlah, ayahku tokoh masyarakat yang dihormati. Seorang tokoh yang dihormati akan sangat malu mempunyai anak “bodoh” sepertiku. Sampai-sampai aku tidak direstui untuk melanjutkan sekolahku di MULO. MULO adalah sekolah tingkat lanjut pertama di jamanku. Ayahku tak mau membiayaiku. Katanya; “buat apa anak ‘bodoh’ sepertimu melanjutkan sekolah”. Aku hampir putus sekolah. Untung ada ibukku. Ibukulah yang akhirnya membiayaiku. Dengan uang simpanannya, aku melanjutkan sekolah di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya. Aku lulus tanpa hambatan. Aku tidak lagi tinggal kelas.
Namun, ada satu hal yang ku ingat saat aku sekolah di sekolah telegraf. Sangking minimnya dukungan keluarga, aku hampir tidak mengikuti ujian praktik sekolah. Aku tidak mempunyai peralatan radio yang memadai. Akhirnya, aku nebeng pada teman sekolahku. Saat ujian praktek hampir mulai, aku pura-pura sibuk di samping temanku yang terpandai. Biar guru pengawas mengira aku punya peralatan dan ikut ujian seperti orang-orang lain. Ah, pendidikan memang selalu membutuhkan biaya tinggi. Ijasah harus dibeli dengan harga mahal. Begitulah prinsip pendidikan di jamanku. Bukankah prinsip pendidikan di jaman ini juga demikian?
Sudah repot-repot melanjutkan sekolah dengan biaya tinggi, perang dunia dua malah meletus. Aku tak sempat mengambil ijasah sekolahku. Aku keluar dan lulus dari sekolah telegraf tanpa ijasah. Aku menjadi manusia bebas karena ada perang dunia dua. Akhirnya, aku bekerja serabutan, sampai aku memutuskan jadi penulis dan meninggalkan kota kelahiranku.
Sebagai seorang penulis, aku meyakini beberapa hal. Aku meyakini bahwa hanya dengan menulis manusia menjadi abadi. Tanpa menulis, manusia akan musnah digilas jaman. Maka aku juga merekomendasikanmu untuk menjadi penulis. Untuk menjadi abadi. Lalu apa yang harus ditulis? Tulislah segala hal yang berhubungan dengan manusia. Sebab dunia kita adalah dunia manusia. Dunia manusia dengan segala permasalahanya.
Aku menulis apa saja yang berhubungan dengan manusia. Modalku adalah kepekaan hati dan kejujuran. Kepekaan hati kudapatkan dari hasil permasalahan keluarga, sedang kejujuran kudapatkan dari nasehat dan wejangan ibu. Tadi aku sudah bercerita jika watak ayahku sangat keras. Aku sering dihardik dan dibentak. Aku jadi minder dan tidak percaya diri. Aku malu pada diriku. Akhirnya aku jadi penyendiri. Aku menulis dalam kesendirianku.
Aku tidak suka bergaul dengan anak-anak Priyayi karena aku minder. Aku lebih suka bergaul dengan anak buruh tani yang jadi tetangga sekitarku. Dengan anak-anak buruh tani aku merasa sederajat dan dihargai. Dengan anak-anak priyayi tidak. Mungkin itulah yang membuatku peka pada permasalahan orang-orang kecil. Aku telah dekat dengan mereka sejak masih kecil. Anak-anak buruh tani telah menyelamatkanku dari neraka kesepian dan kesendirian.
Keberanianku dalam menulis telah membuatku terkenal dan ditakuti. Aku tak pernah sungkan dan takut mengkritik apa saja yang kuanggap tidak manusiawi. Aku ditakuti dan dimusuhi oleh semua rezim berkuasa. Karena tulisanku yang berani, aku sering dimasukkan dalam penjara. Aku pernah dipenjara oleh penjajah Belanda. Aku juga pernah dienjara oleh rezim Soekarno. Terakhir aku dibuang di pulau buru oleh rezim Soeharto.
Namun, kalian tak usah khawatir. Wejangan ibuku agar aku jadi manusia bebas telah merasuk pada kalbuku. Aku tetap menulis dalam penjara. Penjara bukanlah halanganku untuk tetap berkarya. Aku adalah manusia dengan pikiran bebas. Di penjara karya-karya terbaikku lahir. Aku akan menyebutkan beberapa diantaranya : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Nyanyi bisu seorang sunyi, dan mereka yang dilumpuhkan.
Oh iya, tulisan-tulisan terbaikku selalu ber-gendre sejarah. Aku merasa terpanggil untuk menuliskan ulang sejarah bangsa kita. Sebabnya, sejarah sering jadi mainan penguasa untuk mempertahankan kuasanya. Aku tak terima ada pembodohan di negeriku. Aku ingin semua anak bangsaku cerdas dan tercerahkan. Maka kutulislah berbagai roman sejarah. Kalian cari tahu sajalah tulisan-tulisan novel sejarahku itu. Aku tidak akan menyebutkanya di sini.
Hanya saja pesanku jadilah kalian manusia bebas. Kalian jangan pernah menyerah saat terjadi kesulitan. Aku pun tidak pernah menyerah saat dipenjara dan susah, masak kalian gampang menyerah. Malulah pada diriku jika kalian terlalu gampang mengeluh. Hidup tidak akan menjadi mudah dengan mengeluh. Keraslah seperti batu maka hidup akan lebih lunak dan mudah. Terakhir aku akan menuliskan sedikit puisi favoritku. Puisi karya Taslan Ali yang kusematkan pada karyaku yang judulnya “Mereka yang Dilumpuhkan” simaklah:
Sajak liar
Kami telah mual
bau bangkai kata-kata,
memoles bingkai-bingkai tua
dari cermin omong kosong
Kami mau:
jantung hidup,
darah merah
dendang lantang
pukulan nadi
yang menderas napas
kian deras, hingga balapan
dengan tanggapan
otak dan hati
otak dan hati sendiri
kami muak keindahan kuda pingitan
yang licin bulunya dan putih
hidup dari persediaan
Kami ingin:
kuda liar ditengah padang,
yang deras melepas mau hatinya
yang bertarung, biar patah, biar mati,
biar menjuang nasib
merebut kemujuran
dan sanggup bangkit kembali
dengan tenaga sendiri
untuk turun naik gunung…. Berlari
keluar naik lembah…… berlari
mendesak ke cakrawala
dengan kemauan yang mendidih,
haus baru, lapar baru
bebas memilih hidup atau mati,
mana suka: jiwa pelopor
Belum ada tanggapan.