Tidak ada perintah membunuh dalam agama! Gerah, setidaknya ini yang saya rasakan saat melihat tayangan berita serangan bom di gereja Makassar, dan aksi solo jihadis di Mabes Polri beberapa pekan lalu. Sesak rasanya mendengar cerita saksi dan korban memaparkan kronologi kejadian. Dan lebih sesak lagi, saat mendengarkan pengakuan keluarga pelaku solo jihadis yang tak menyangka anaknya berbuat demikian.
Diakui atau tidak, para pelaku yang terpapar radikalisme sebetulnya memiliki semangat beragama sangat tinggi. Mereka rela mati demi menegakkan ajaran yang diyakini. Dengan imbalan surga dan bidadari, nyawa rasanya seharga seribu dapat tiga kerupuk. Hanya saja, semangat tak cukup. Perlu ilmu, akal dan hati untuk memahami ajaran sebuah agama.
Dalam hal memahami ayat Al-Qur’an, misalnya. Kita tidak bisa sekonyong-konyong menafsirkan tentang apa maksud suatu ayat. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an memiliki dua jenis ayat, yakni ayat Muhkamat dan ayat Mutasyabihat. Ayat Muhkamat adalah ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna jelas, dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Contohnya pada Q.S Al-Ikhlas ayat 4 yang artinya, “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
Makna ayat ini sangat jelas dan tidak memiliki makna lain, yakni Allah tidak menyerupai apa pun dan siapa pun.
Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memiliki kemungkinan banyak makna dan pemahaman sehingga menuntut perenungan yang mendalam dari para ahli. Untuk mengetahuinya, perlu merujuk kepada ulama yang telah terbukti dari kredibilitas ilmu dan sosoknya sebagai ulama. Sebab ulama yang benar-benar ulama, tidak bakal sembarangan menafsirkan ayat suci Al-Qur’an. Mereka akan mempelajari dahulu dari segi nahwu-sharraf, atau dari segi asbabun nuzul alias latar belakang turunnya suatu ayat.
Segi asbabun nuzul memiliki peran penting sebab ia menceritakan latar apa yang menjadi musabab suatu ayat diturunkan. Dengan begitu, kita mengetahui konteks pada masa itu. Dengan perbedaan zaman ribuan tahun, antara zaman sekarang dan zaman ketika Nabi Muhammad hidup, tentu akan tersaji perbedaan yang sangat besar dalam menjalani kehidupan. Dan dengan mempelajari konteks suatu ayat, maka kita bisa memahami maksud sesungguhnya ayat tersebut diturunkan.
Hanya saja, saat ini banyak insan memilih jalan instan. Kala semangat beragama tinggi, dan semangat jihadnya menggaung dalam diri, mereka menempuh jalan yang jauh dari rasa manusiawi. Mereka berguru di media sosial. Pada postingan orang-orang. Mengikuti akun medsos yang ternyata menyebarkan ujaran kekerasan dan kebencian. Akibatnya, mereka terpapar radikalisme akibat salah jalan.
Tentu membicarakan penyebab seseorang terpapar ajaran radikal tak melulu soal media sosial. Ada sesuatu yang tak kalah penting yang patut dimiliki seseorang ketika ia memutuskan belajar agama, yakni kemanusiaan. Kemanusiaan, saya kira, dapat dijumpai di semua agama. Entah Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu atau Khonghucu, rasa-rasanya tak ada yang memerintahkan penganutnya untuk saling membunuh sesama manusia. Semua mengajarkan kebaikan. Mengajarkan saling menghargai, saling mengasihi, dan saling menyayangi.
Kalaupun terdapat perbedaan pilihan agama, bukan berarti menjadi landasan untuk membunuh. Sebab Sayyidina Ali sendiri pada saat melantik gubernur Mesir yang bernama Malik al-Asytar al-Nakha’i, berkata: “Jadikanlah orang lain bagai timbangan bagi dirimu. Lakukanlah kepada orang lain apa yang engkau ingin orang lain lakukan kepadamu. Dan jangan lakukan kepada orang lain apa yang engkau tidak ingin orang lain lakukan padamu.”
Nasihat ini bukan sembarang nasihat. Kalimat ini sejalan dengan ucapan Sayyidina Ali yang lain, yakni “Kalian semua adalah sesaudara dalam iman; jikapun kalian tak sesaudara dalam iman, kalian adalah sesaudara dalam kemanusiaan.”
Andai para pelaku radikal betul-betul memaknai nasihat Sayyidina Ali ini, saya kira tidak akan ada lagi tindakan bom bunuh diri di dalam gereja, atau penyerangan terhadap polisi. Bahkan, insan yang selama ini gemar mengutarakan kafir kepada saudara yang berbeda agama di media sosial pun, rasa-rasanya tak akan lagi ada.
Sebab nasihat tersebut memiliki makna sangat mendalam. Kita dianjurkan untuk tidak berbuat buruk kepada orang lain, karena kita tidak menginginkan perbuatan tersebut terjadi kepada kita. Secara gamblang kita diberikan gambaran, bahwa jika kita tidak mau dicaci, maka jangan mencaci. Jika kita tidak ingin dibenci, maka jangan membenci. Semoga kita senantiasa belajar untuk memperbaiki diri, terutama dalam bulan suci ini. Semoga.
Belum ada tanggapan.