Setumpuk buku cukup tebal itu terekam berantakan di meja kos milik Udin. Cahaya laptopnya bahkan masih berbinar cukup terang menyaingi terangnya lampu belajar yang tepat berada di sampingnya. Jarum pendek jam saat itu menujuk Pukul 21:05. Suara kecil lagi-lagi menyembul, tapi untuk kali ini suaranya langsung menghentikan ketikan jemari di laptopnya.
“Nak, Kamu kapan pulang? Sudah tiga bulan ini, kamu nggak pulang. Ibu sekeluarga merindukanmu”. Tujuh kali sudah, tulisan itu muncul lagi di Handphone milik Udin. Udin tentu sangat paham, mengapa ibunya mengirim SMS sebanyak itu berkali-kali kepadanya. Rindu. Mereka rindu melihat senyum yang kembali mekar dari wajah anaknya. Mereka juga rindu kebersamaan lengkap satu keluarga yang ingin dicap kembali, karena seperempat tahun sudah kebersamaan itu dirasakan tak lengkap, hilang satu keping.
Lagi dan lagi, sebuah tugaslah yang membuat bayang-bayang indah yang ingin dirasakan kembali itu tertunda.“Maaf, Bu!. Udin akhir-akhir ini sibuk mengurusi perkuliahan. Udin nggak tahu bisa pulang atau tidak bulan ini. Udin juga sebenarnya ingin pulang ke Pemalang, tapi sepertinya tidak bisa”. Sebuah jawaban yang tentu membuat hati ibu dan keluarganya tergores.
Saat ini, Udin adalah mahasiswa semester akhir yang dalam beberapa bulan lagi, akan menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Sebuah gelar prestisius yang mungkin saja itu adalah awal untuk memutarbalikkan nasib ibu sekeluarga. Namun sebelum itu, ada serentetan beban tugas yang harus dilalui.
Seperti skripsi. Buku-buku tebal yang tersusun tak beraturan di meja belajar kosnya itu adalah hasil ciptaan kelihaiannya mengetik huruf-huruf di laptop. Namun meski begitu, nasibnya ternyata tak seberuntung orang yang mendapat durian runtuh.
Berulangkali sudah Udin mengetik huruf, kata atau bahkan kalimat yang sama di laptopnya. Berulangkali juga ia bolak-balik mengajukan ‘ciptaannya’ itu kepada dosen, tapi tak satupun yang dilirik. Itu yang mungkin menjadi alasan terkuat mengapa ia tidak bisa mengetuk pintu rumahnya.
Udin tentu berpikir dua kali untuk membeli tiket kereta pulang ke Pemalang. Bukan karena dompetnya kering tak terisi apapun, melainkan sebuah resiko besar apabila ia benar-benar menginjakkan salah satu kakinya di kampung halamannya itu. Kalau sampai Udin benar-benar gagal menyelesaikan skripsinya, tentu ia harus kembali menunda keinginannya selama ini, diwisuda!. Sedang saat ini bukan waktunya untuk pulang, ia hanya diberi tenggat waktu beberapa bulan lagi.
Suara kecil itu kembali muncul yang membuat Udin melirik kembali ponsel kecilnya. “Mas. Mas kok tega banget sih. Ini adek. Beberapa hari ini ibu sakit, ibu ingin ditengokin mas, tapi lagi-lagi mas gak bisa pulang”. SMS protes dari adiknya itu membuat kepala Udin seakan semakin ditumpuki buku tebal skripsi miliknya. Kali ini, ia tak hanya berpikir dua kali. Tapi berulang-ulang kali. Sekarang ia dihadapkan oleh dua situasi besar yang menurutnya sama penting. Ibu atau wisuda.
“Mas tahu. Ibu tadi susah payah mengetik SMS berulang-ulang ke mas. Tapi mas malah baru jawab. Ditelfon juga malah dirijek. Aku tadi mau bantuin ibu buat ngirim SMS ke mas, tapi ibu nolak. Mas kapan pulang? Kasian ibu.” Kali ini kedua tangan Udin dikatupkan di kepalanya. Seakan mengisyaratkan bahwa kebimbangannya sudah memuncak. Sekaligus juga memastikan, ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuat otaknya menjadi beku, bahkan lebih beku daripada bekunya es di kutub utara.
Namun Udin bukan tipe seorang mahasiswa tanpa tindakkan ketika diterpa beragam masalah, meskipun masalah besar seperti yang dihadapinya sekarang. Setiap kali ia bolak-balik mengajukkan skripsinya itu kepada dosen, berbolak-balik juga ia meminta izin untuk pulang ke kampung. Namun, ia selalu menerima jawaban yang sama sekaligus menyayat hati. TIDAK BISA.
“Besok mas coba tanyakkan lagi sama dosennya, untuk pulang ke rumah sekaligus menjenguk ibu. Mas juga sebenarnya ingin pulang. Tapi terkendala tugas dan tugas. Sampaikan salam mas sama ibu semoga bisa cepat sembuh. Mas sayang kalian”. Sepenggal jawaban yang menggantung tapi sedikit melegakan nafas sekeluarga.
Skripsi baru yang masih setengah matang itu tinggal beberapa persen lagi akan selesai. Hari ini ia hanya perlu memoles sedikit agar skripsi yang masih berbentuk Softfile itu menjadi lembaran-lembaran tebal yang akan mengantarnya pada wisuda. Dengan catatan: Jika skripsinya berhasil membuat hati dosennya kepincut.
Sebelumnya, tiga skripsi sudah Udin kerjakan, namun semuanya berakhir di tong-tong sampah. Dan ini adalah kali keempat. Dalam benak Udin, ia tentu berharap skripsinya ini tidak mengalami nasib yang sama dengan ‘kakak-kakak’ sebelumnya. Udin pun tahu betul apabila dari sekian banyak lembar tulisannya itu, ada salah satu diantaranya yang salah, maka alamatlah nasib Udin.
Langkahan kakinya meliuk dengan cepat menyusuri ruang-ruang kampus. Liukannya itu bahkan lebih cepat daripada kelihaian Lionel Messi dan kepiawaian Cristiano Ronaldo menggocek bola di lapangan. Ia menyadari betul bahwa dosen akan sangat sulit sekali ditemui. Ia ingin memanfaatkan waktu yang tak lama ini.
Tas yang menempel di punggungnya dan skripsi yang sudah diprintout beberapa menit lalu seakan ikut menemani perjalanan Udin menemui dosen. Udin tidak tahu apakah ini adalah sebuah perjalanan awal atau akhir. Melelahkan atau menyenangkan, ia benar tak tahu. Yang jelas beberapa menit lagi, nasibnya ditentukkan.
Tak terasa, Udin sekarang sudah berada tepat di daun pintu ruang dosen. Udin menarik nafas panjang sebelum ia benar-benar membuka pintunya. Raut mukanya langsung memerah seperti disiram saus cabai satu botol.
Kkkrrtttt. Pintu yang tampak gagah itu akhirnya dibukanya pelan. Suara mendesis nan nyaring langsung terdengar sampai kesela-sela lubang telinganya.
“Permisi, Pak. Saya Muhammad Nurkhudin ingin mengajukkan skripsi saya. Apakah ada waktu beberapa menit, Pak?”
“Oh ya. Silahkan.”. Udin langsung membuka tas yang tampak berat seberat beban hidupnya. Kini, ia menyerahkan hasil karyanya itu kepada Pak Dosen.
Disela-sela suasana seperti itu, kembali Udin melirik SMS adiknya tadi malam yang sekaligus membuatnya begadang. Tulisan itu benar-benar membuat mata Udin tak bisa tertutup lelap.
“Mohon maaf, Pak. Saya kesini sekaligus meminta izin untuk pulang ke Pemalang mungkin besok karena….”
Kring kring.. Suara nyaring dan bergetar tak diundang tiba-tiba muncul dari ponsel milik Pak Dosen. Suaranya langsung menghentikan apa yang akan Udin utarakan saat itu.
“Sebentar, Saya mengangkat telfon dulu”. Kata Pak Dosen sambil meletakan ponsel miliknya tepat di telinga kirinya.
Sepuluh menit sudah, Udin duduk di kursi empuk itu. Sepuluh menit juga Udin hanya bisa melihat Pak Dosen menelfon sambil sesekali mulut Udin menguap, karena semalam ia tak tidur. Sepertinya apa yang dibicarakan antara Pak Dosen dengan yang menelfonnnya itu begitu penting.
“Maaf menunggu. Kalau untuk pulang sebenarnya kami tak melarang. Namun Anda tahu sendiri resiko yang akan Anda dapatkan. Apalagi dalam beberapa hari kedapan, Anda juga akan mengikuti Ujian Skripsi, kecuali kalau alasanmu kuat…”. Kata Pak Dosen sambil mengemasi barang-barangnya yang tercecer ke tas jinjingnya. Dan, Udin tahu betul itu. Namun, ibu yang tergolek lemah di kampung baginya jauh lebih penting.
“Maaf, saya ada urusan sekarang. Kita akan bicarakan lain kali. Kamu boleh menghubungi saya lewat SMS nanti”. Kepala Udin setengah mengangguk.
Di seperjalanan pulang… tampak sekali raut mukannya sedikit kecewa. Ia tak tahu apa yang akan ia katakan kepada ibunya lewat ponsel miliknya, kalau hal buruk benar menimpanya: Ia tak bisa mengatakan “cepat sembuh bu” secara langsung.
Tubuh Udin melumer seketika kalau Pak Dosen menyebut kata ‘resiko’ jika ia menyebut kata ‘pulang’. Padahal ia juga tak tahu, kalau alasannya pulang juga sama-sama pentingnya. Bahkan jauh lebih penting.
Kepala Udin sekarang seperti dibelah menjadi dua. Ia bahkan tak bisa membedakan kecepatan kakinya menyebrang di jalan dengan mobil yang berlari jauh lebih cepat darinya. Hampir saja sebuah mobil putih mengkilap menubruk tubuh Udin yang sudah tampak lemas itu.
Kini, kursi kayu kecil di tengah-tengah sibuknya kota menjadi sandarannya. Sibuk dan ruwetnya kota dengan kendaraan yang berlalu-lalang kesana-sini seakan menggambarkan keadaan hati Udin saat itu. Ruwet dan penuh kebimbangan. Udin kemudian merogoh saku celana kanannya yang tak sedalam laut jawa itu dan mengambil sebuah ponsel mungil miliknya. Ia menulis:
“Tadi Mas sudah bilang sama dosennya dan jawabannyapun lagi-lagi selalu sama. Mas sebenarnya rindu sama ibu, bapak dan adek. Mas juga kepengin jenguk ibu yang sedang sakit. Mas kepengin ini-itu bersama keluarga tapi….”
Ia kemudian tertegun. Setelah itu, Udin langsung memencet tombol ‘kirim’ yang tepat berada di sebelah kanan bawah dalam ponselnya. Sekarang Udin hanya berharap beberapa menit lagi, ia akan mendapat balasan yang menyenangkan dari adiknya, bukan sebuah jawaban protes lagi. Udin menghela nafas panjang untuk menghilangkan sedikit cobaan hidupnya. Sesekali juga, ia mengetuk-ngetuk kepalan tangan itu ke kepalanya.
Beberapa saat setelah itu, getaran ponsel menggelitiki tubuhnya. Ia kembali merogoh saku celana kanannya untuk menghentikkan gelitikkan itu. Namun, keheranan melanda wajah Udin sekarang.
Ia kemudian tersadar kalau ini murni keteledoran yang memang sudah melekat pada dirinya. Tapi keteledoran kali ini membuahkan sebuah senyum yang membuat gigi geraham Udin terlihat. Keteledoran yang menghasilkan kebahagiaan. Baru kali ini.
“Kalau alasannya seperti itu, besok Anda boleh pesan tiket kereta, karena alasanmu sudah cukup kuat. Ini nomor dosennmu, bukan adikmu..” Itu mengartikan satu hal. “Anakmu pulang besok, Bu!”
Belum ada tanggapan.