azimat-alas-purwo

Azimat

Lepas remang petang datang, Darmini kembali meringkuk di sebuah kamar berukuran dua kali tiga meter. Ditemani nyala api dari buah kecubung yang ia ubah menjadi penerang, matanya tertuju pada sosok di atas lincak. Misni, perempuan tua yang tak mati-mati. Meski kedua tangannya mendekap di atas tubuh, badannya tak bisa bergerak kecuali kedua kelopak matanya yang bergerak-gerak.

            Sesekali Darmini bangun, menuangkan minyak kelapa bekas ke buah kecubung. Semata-mata agar kapas di atasnya tak ikut mati. Kali ini, ia ingin menatap ibunya dekat-dekat. Lamat-lamat ia melihat. Hingga sampai di suatu kenangan di masa lalu. Saat dirinya berusia sepuluh tahun.

            Saat itu, Darto, bapaknya tak pulang-pulang. Kata orang, Darto sedang bertapa di Alas Purwo. Sebuah tempat yang amat terkenal di timur Jawa. Konon katanya, di sanalah istana jin berada. Maka, tak heran banyak orang berlomba mencari pesugihan. Meski tak sedikit yang menjadi tumbal dan hilang.

            “Selain Alas Purwo, lereng Lawu juga jadi rujukan orang-orang. Kedua tempat itu diidamkan banyak lelaki yang ingin cepat sugih,” kata Misrai’e, tetangga Darmini yang lebih tua lima tahun. “Nanti, saat kamu kaya, kawin sama aku, ya,” sambungnya sambil terkekeh.

            Entah memang Darto mencari pesugihan atau tidak, Darmini mendapati bapaknya datang tepat di hari empat puluh satu. Di benak Darmini, bapaknya bakal membawa emas batangan dan harta lainnya. Sayangnya, Darto hanya membawa sebatang pohon pisang kerdil. Hanya itu.

            Darmini tak berani bertanya, apakah sang bapak benar-benar bertapa di Alas Purwo. Ia hanya ikut menemani saat pohon pisang itu ditanam di pekarangan belakang. Selebihnya, ia mendapati banyak keajaiban. Sepetak tanah yang ditanami kopi, mendadak berbuah banyak sekali. Dari tiga panen saja, Darto berhasil membeli sepetak tanah. Begitu seterusnya sampai-sampai ia memiliki lima belas hektar kopi.

            Sebetulnya, orang-orang meyakini pesugihan yang dijalani Darto. Hanya saja, mereka tak berani bertanya. Jangankan berkata, bertemu saja mereka menunduk. Takut menatap mata Darto yang katanya mengeluarkan semburat api. Siapa yang berani melihat, badannya tak hanya gemetar. Melainkan sakit, lumpuh lalu mati pelan-pelan. Kecuali Misrai’e. Entah karena memang jodoh anaknya, atau lain hal, hanya dia yang tak sakit tatkala menatap mata mertuanya.

            Selama hidup, Darto tak mengalami masalah serius. Justru, permasalahannya saat usianya menginjak sembilan puluh. Kala itu, tubuhnya tergeletak di atas ranjang. Persis seperti Misni sekarang. Tak mati tak hidup, kelopak matanya saja yang bergerak-gerak. Hingga tiba di suatu malam pekat, Darmini tak lagi kuat merawat sang bapak. Bukan apa-apa, ia tak tega melihat ruh bapaknya melayang di dunia berbeda. Ini dibuktikan saat dirinya mengunjungi cenayang di ujung desa. Katanya, satu-satunya cara agar bapaknya cepat menemui Lah Ta’ala hanya dengan mencabut jimat yang dulu ia bawa dari Alas Purwo. Dan itu, batang pohon pisang kerdil yang tak tumbuh-tumbuh. Benar saja, setelah pohon itu dicabut, sang bapak langsung mati.

            Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Usai kepergian Darto, kekayaannya ikut lenyap. Misrai’e ditangkap polisi lantaran membunuh juragan kopi yang menipu dirinya. Darmini tak mau hidup sendiri. Ia jual seluruh lahan kopi, dan menyisakan sepetak demi menyuap hakim pengadilan negeri. Setelah bebas, justru Misrai’e pergi menghilang. Tak kembali pada Darmini yang tak lagi punya banyak uang.

            Kini, Darmini tak lagi meringkuk menatap sang ibu. Ia berdiri, bergegas menuju rumah cenayang. Meski luar gelap dan jalanan bebatu, tekadnya bulat. Ia ingin memastikan apakah sang ibu juga memiliki jimat panjang hidup.

            “Tak sembarang orang memiliki ilmu seperti ini, Dar. Kau harus cari tahu di mana jimat itu.”

            “Bapak hanya membawa pohon pisang itu, Wak. Mana mungkin Ibu punya jimat?”

            Wak Mardi tertawa.

            “Kau seperti tak paham cinta sehidup semati. Bapakmu, ya, ngajak Misni begitu. Ngajak hidup panjang.”

            Darmini terdiam. Pikirannya melayang. Kalau azimat Darto mudah ditebak, bagaimana dengan azimat ibunya yang tak ia ketahui sedikit pun.

            “Kalau kau tak percaya ibumu memiliki jimat. Tengah malam nanti lihatlah arah selatan. Aku akan menemui ruh ibumu yang sedang berkeliaran. Kalau kau melihat dua bola api, itu ruhku dan ruh ibumu. Kalau hanya satu, itu ruhku saja. Kalau nanti ibumu benar-benar datang, kuajak dia pulang. Biar tenang.”

            Dengan keyakinan tak penuh, Darmini mengumpulkan kepercayaan. Bagaimana bisa ibunya yang pendiam memiliki jimat berumur panjang. Bahkan, Misni pulalah yang menyuruhnya mencabut pohon pisang kerdil. Semata-mata, agar Darto tak tersiksa di usia uzur. Tetapi kini, justru Misni sendiri yang tersiksa. Berusia tua tak bisa merasa hidup pula. Maka, sepulang dari rumah Wak Mardi, Darmini memilih duduk di depan rumah. Menghadap selatan menunggu bola api tengah malam.

            Dulu, saat masih kecil, dia sering kencing di depan pekarangan rumahnya saat melihat bola api di langit. Katanya, bola api itu adalah teluh yang dikirim untuk menyantet siapa yang dikehendaki. Dan penangkalnya adalah kemih anak kecil.

Tapi sekarang, justru dirinya menunggu bola api guna memastikan apakah sang ibu benar-benar memiliki jimat atau tidak. Tetiba, di tengah rerimbun bintang di langit, Darmini melihat satu bola api melesat dari arah timur. Dari arah rumah Wak Mardi. Jantungnya berdegup lebih cepat. Bibirnya bergetar menunggu adegan selanjutnya. Agak lama kemudian, muncul satu bola api lagi dari arah selatan. Ternyata benar. Misni memiliki jimat umur panjang.

            Kedua bola api itu bertarung. Memunculkan sinar memanjang. Saling menyerang saling berperang. Tak ia duga, kalau kedua sukma ini saling mengalahkan. Dan sepertinya, Wak Mardi juga tak menyangka bakal mendapat perlawanan sengit dari tubuh perempuan yang menyisakan kulit tanpa daging itu. Akhirnya, salah satu bola api terjatuh. Padam tertelan gelapnya malam.

            Darmini bergegas masuk. Dilihatnya tubuh sang ibu yang terbujur di atas lincak kayu. Kali ini dia paham. Mengapa selama hidup Misni tak mau tidur di atas kasur. Bagi pemilik jimat, haram tidur di atas kasur. Kudu di atas lincak atau lebih baik menyentuh tanah langsung. Tiba-tiba angin kencang menerkam. Berputar-putar dan merobohkan banyak pohon kopi. Tepat saat itupula, kelopak mata Misni bergerak-gerak. Pertanda masih hidup dan justru Wak Mardi yang tak selamat.

            Sesaat Darmini bahagia. Tak mendapati ibunya meninggal. Sayangnya, keinginan Darmini mengantar Misni menemui Lah Ta’ala kembali membuncah. Barangkali ia dikata durhaka. Tetapi membiarkan tubuh manusia yang sukmanya melayang-layang di atas bumi, justru jauh lebih durhaka. Misni bakal terus seperti ini sebelum jimat yang ia miliki dihilangkan.

            Di tengah kerisauan, Darmini menatap jemari ibunya. Ia ingat kebiasaan Misni yang sering mendekap tangan kiri. Segera ia buka kuat-kuat. Misni yang berupa mayat hidup, ternyata tak rela dekapannya dibuka paksa. Sangat rekat amat susah dilepas. Darmini tak putus asa. Ia tarik kedua tangan itu, lalu terlihatlah sebuah cincin di jemari manis kiri. Mas kawin Misni ketika menikah dengan Darto. Cepat-cepat Darmini menarik cincin itu. Meski sulit sebab cincin seakan mengecil, akhirnya ia berhasil melepaskan cincin dari jemari. Barangkali kau tak percaya. Saat itu juga, mata Misni kedap-kedip tak karuan lalu mengatup perlahan. Tak buka sampai sekarang karena ia meninggal.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan