Air Mata Keadilan

Salma menghentikan langkah tepat di depan patung Dewi Themis. Patung itu berdiri gagah tepat setelah pintu masuk pengadilan. Themis digambarkan dengan wajah yang tenang, membawa timbangan dan pedang bermata dua, ia juga ditampilkan dengan mata tertutup. Bukankah hukum seharusnya seperti itu? Tidak membedakan orang di depannya dari rupa ataupun status sosial. Salma mengehembuskan napas panjang sidang hari ini sungguh menegangkan. Kasus itu ditangani oleh Leon seorang pengacara dari firma hukum mereka. Leon bersikeras akan mengungkap dalang dibalik kematian Antonie. Sidang berjalan semakin alot, jaksa bersikukuh ingin menjebloskan Michelle ke jeruji bes. Bak singa yang kelaparan ia mencerca semua saksi yang didatangkan pihak Michelle. Ia bahkan menyeringai tat kala mendengar pembelaan dari Leon.

Dalam sidang final hari ini Leon mengungkap fakta baru yang mengejutkan karena beberapa bukti penting justru dilewatkan dari penyelidikan. Bagaimana bisa seorang jaksa mengabaikan bukti sepenting itu. Entah karena bermain kotor atau memang lalai, hal itu sangat merugikan Michelle. Kasus pembunuhan Antonie akan memakan waktu cukup lama. Salma menggeleng ia harus segera pergi ke rumah duka. Ia mengecek ponsel yang berbunyi, sebuah pesan masuk dari Rafael, rekan pengacara dari firma hukum.

Sebuah foto dikirim, tumpukan dokumen diletakkan tepat di depan meja kerja Salma.

‘Pelajari preseden ini, sepertinya ini akan membantu kasus mu.’

Salma tersenyum melihat wanita tua itu berjalan mendekat. Usianya hampir 80 tahun, tubuhnya sedikit bungkuk, untuk menunjang aktivitasnya ia dibantu dengan sebuah tongkat kecil yang ia pegang erat-erat. Langkahnya tergesa, dari belakang Rini berjalan  mengikuti. Langkahnya tak kalah lebar. Hampir saja Rati tersandung alas kakinya sendiri, untung saja Rini sigap mencengkeram bahu wanita yang sudah ia anggap neneknya.

Gurat kekecewaan jelas tergambar dari wajah keriput. Rati, seorang ibu yang digugat oleh anaknya karena menggunakan lahan warisan untuk berjualan menyambung hidup. Tak lagi ada keinginan Rati kecuali dapat tinggal di rumah peninggalan suaminya. Ia tampak menahan bulir air mata agar tidak terjatuh ketika bercerita sambil memaksa tersenyum lebar. Sorot mata sendu itu menatap Salma dalam-dalam.

Hari ini proses mediasi dilakukan. Sembari menunggu mediator, Salma selaku advokat pro bono akan terus mendampingi Rati hingga kasusnya selesai. Di seberang duduk Jefri, istrinya dan seorang pangacara, mereka membuang muka. Hening. Tidak ada yang membuka obrolan, hanya terdengar samar bisikan pengacara itu ke telinga Jefri. Rati menunduk, tangan nya gemetar. Salma segera meraih tangan tua itu untuk menenangkan.

“Saya ini sudah tua tidak tau apa-apa, untuk menyambung hidup saya hanya mengandalkan dari berjualan nasi pecel setiap hari. Pendapatan tidak menentu, terkadang saya harus menahan lapar karena dagangan saya tidak laku.”  Rati seperti menahan emosi, ia menatap lekat anak dan menantu yang duduk dihadapannya itu.

Jefri dan Stevani meradang, matanya melotot tajam. Amarahnya semakin menjadi. Ia mengatakan jika ibunya itu tidak tahu terimakasih. Sorot penuh kebencian terlihat jelas, ia memicingkan mata dan pergi meninggalkan kantor setelah meluapkan emosinya. Proses mediasi seakan sia-sia dan tidak ada titik terang.

Rati termenung dalam keheningan sesaat. Hanya tersisa kami bertiga di ruangan. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan semenjak Jefri pergi dengan membanting pintu. Salma tak menyangka seorang anak bisa berperilaku begitu buruk terhadap ibunya.

“60 tahun yang lalu, saya memang bukan ibu yang melahirkan Jefri.” Suara Rati memecah keheningan. Salma tersentak mendengar pengakuan ibu Rati.

“Di malam yang mencekam, angin berhembus kencang. Bayi itu menangis dalam ayunan. Aku adalah wanita berusia 20 tahun yang dinikahi duda beranak satu. Ibu nya pergi ketika Jefri baru berusia 6 bulan.” Rati tersenyum kecil dan terdiam beberapa saat. Ia tenggelam dalam lamunannya.

“Bayi itu sangat lucu, aku menyayanginya melebihi anakku sendiri. Aku memeluknya setiap malam, mencium nya setiap saat hingga aku lupa dia bukan anak kandungku.”

“Saat itu usianya menginjak 3 tahun dan aku melahirkan seorang putra yang kuberi nama Jaka. Seiring bertambahnya usia Jefri lebih mencuri hatiku, Ia menjadi anak yang pandai di sekolah dan tampan sedangkan Jaka, dia terus sakit-sakit an dan berhenti sekolah.” Wajahnya berubah sendu.

Salma menunduk dan mengerjap-erjapkan mata. Ia tak mau membiarkan bulir bening jatuh ke pipinya. Obrolan ini ternyata lebih sensitif ketimbang kasus pembunuhan tempo hari.

“Aku memberinya telur setiap hari berharap Jefri selalu tumbuh sehat, bahkan aku melarang Jaka memakannya, dan anak itu hanya menurut tanpa menuntut. Jaka selalu mengalah, ia tidak pernah merengek meminta perhatianku yang justru hanya tertuju pada Jefri.”

”Beruntungnya Jefri memiliki Ibu.” Salma mengelus tangan keriput itu.

Rati terdiam ia kembali mengingat di saat dirinya berjalan di bawah sapuan hujan dan petir yang menyambar. Rati berjalan tergesa-gesa menyusuri rumah para juragan Tahu. Ia mengetok pintu, wanita tua berkacak pinggang. Dari wajahnya ia sama sekali tak mengharapkan kedatangan Rati. Ia terus memohon agar diberi pinjaman uang untuk membayar biaya kuliah Jefri.

“Untuk makan saja susah! Bagaimana membayar hutang! Pergi saja kepada rentenir!” Wanita tua itu melengos lantas menutup pintu dengan kencang.

Kendati begitu Rati tidak putus asa, sudah tiga kali ia ditolak. Rati kemudian teringat kepada majikannya dahulu ketika ia masih remaja. Rumahnya terletak di desa seberang, untuk ke sana ia harus berjalan lebih lama. Hujan tampak semakin lebat, bajunya basah kuyup. Setangkai daun pisang tak cukup kuat melindunginya dari guyuran hujan.

Entah pukul berapa ia sampai di tempat yang dituju. Ia gamang dan memutuskan mengetok pintu dengan lemah. Sepertinya sudah larut, ia tak mau dianggap orang tidak tau diri. Rati menghembuskan napas, ia hendak pulang dan kembali besok pagi. Namun, seorang wanita paruh baya keluar dan tersenyum tipis. Wanita itu masih mengenali Rati.

Wanita paruh baya memberikan pinjaman tanpa bunga kepada Rati dengan senang hati. Ia bahkan menawarkan untuk datang jika memang butuh bantuan. Senyum rati merekah, tak disangka masih ada orang yang peduli dengannya. Selama hampir empat tahun ia selalu datang meminta bantuan. Rati sangat disiplin dalam urusan keuangan sehingga hutangnya dapat dicicil setiap suaminya mengirim uang.

Tak sampai di situ, setahun sebelum Jefri menyandang status sarjana ekonomi, Jaka meninggal karena gagal jantung. Jefri tampak acuh karena sejatinya ia malu memiliki saudara yang terlahir dengan kondisi cacat mental seperti Jaka. Ia tidak pulang, memilih tetap di kota berdalih mengerjakan tugas akhirnya.

Salma tercengang mendengar cerita Rati, ia paham betul perasaan kliennya itu. Pengkhianatan dari orang yang sangat dikasihi justru meninggalkan luka lebih dalam.

Rini yang duduk disebelahnya mengangguk seakan membenarkan semua cerita Rati, ekspresinya penuh gairah. Ia menyumpah serapah Jefri dan menyebutnya anak durhaka di depan Salma. Napasnya terengah hingga Rati mengelus pundaknya. Sepertinya Rini lebih merasa tersakiti. Salma menghela napas panjang memberikan secangkir teh hangat di meja agar Rini kembali rileks.

“Ia berubah setelah mendapat pekerjaan di kota dan menikah. Meski ayahnya masih hidup, tidak pernah sama sekali ia mengunjungi kami. Bahkan aku tidak bisa melihat kedua cucuku tumbuh dewasa, mereka tidak mengenaliku. Suatu saat aku memanggil Rini dan menanyakan apakah benda-handphone ini rusak, pasalnya tidak pernah ada panggilan atau pesan masuk. Ternyata memang Jefri tidak pernah menghubungi ku. Saat itu aku sangat merindukannya.” Salma mematung, ia tak dapat berpikir. Cerita ini benar-benar menghunjam hatinya.

Hari ini Salma berdiri di atas rumah yang disengketakan dua tahun yang lalu. Salma tersenyum getir, wanita tua yang hanya memperjuangkan haknya kini terbaring kaku di atas peti mati. Dari luar terlihat mobil sedan berhenti. Jefri keluar dengan wajah datar, tidak ada ekspresi penyesalan ataupun kesedihan.

Seorang laki-laki berkacamata datang menghampirinya. Wajahnya sangat mirip. Terdengar bisik dari pelayat jika itu adalah cucu Rati yang bahkan tidak pernah menengok neneknya yang sakit sejak kasus mereka berakhir dengan kesepakatan. Beruntungnya Rati memiliki Rini, keponakannya itu sangat menyayanginya dan merawat hingga akhir hayat. Salma tersenyum kecut, ia bertanya-tanya apakah kelak Jefri akan mendapat perlakuan yang sama seperti yang Rati alami seumur hidupnya. Bahkan hampir semua pelayat yang datang mengutuknya.

 Baca Juga: Kopi dan Senja

 

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan