Di sebuah ruangan berisi kursi-kursi yang telah diduduki dan setengah lusin meja bundar yang dilingkari, ada semacam pembicaraan sengit dengan humor yang tumpah ruah tentang barang palsu dan cinta yang tulus.
Pembawa acaranya seorang lelaki beruban banyak sementara peserta diskusi adalah para pelawak yang dipilih dari mana-mana. Seperti halnya diskusi malam-malam lalu, mereka akan membahas masalah seserius ini dengan cara main-main.
Sementara itu di sebuah kursi imajiner dalam ruangan aku melihatmu duduk santai sambil melipat tangan ke dada, mengenakan kemeja katun imajiner bergaris-garis tipis, dengan sepatu pantofel imajiner berwarna coklat tua. Kau tidak terlihat oleh mereka, tetapi aku dapat merasakan kehadiranmu sebagaimana seharusnya kau dapat menemukan keberadaanku, karena dalam keadaan sesama mahkluk imajiner kita hadir dan duduk di sana; dalam bentuk yang tidak meyakinkan.
Si pembawa acara membuka sesi pertama dengan kalimat konsep yang selalu diulangnya baik pada malam-malam kemarin maupun sekian malam setelah malam ini, di stasiun televisi yang sama, pada jam yang tetap, di mana jika penonton tidak suka bolehlah mengganti channel untuk menonton sinetron atau iklan pemilu. Kata si pembawa acara;
“Di sini, seperti biasa kita akan membahas sebuah masalah secara cerdas, tuntas dan tidak berkualitas.” Lantas peserta diskusi bertepuk tangan membuat meriah. Sesosok pelawak berkepala pelontos dan bertubuh pendek, yang sialnya benar-benar mirip tuyul, keluar dari kursinya lalu menghilang di antara meja-meja.
“Dan masalah yang kita bahas malam ini adalah,” lanjut pembawa acaranya, “Semakin maraknya barang palsu, barang tiruan, barang KW di pasaran.”
Terlihat orang berbentuk tuyul tadi kembali ke kursinya dengan kepala berlepotan bedak, pipinya bergaris-garis merah karena lipstick. Wajahnya terlihat puas setelah menjadi bulan-bulanan sejumlah peserta wanita, karena bagaimana pun dia menikmati setiap sentuhan tangan mereka di kepala dan pipinya yang jelek.
Ketika pembawa acara melanjutkan; “Pertanyaannya, apakah sesungguhnya kita menyukai barang palsu atau tidak?” Hampir sepertiga peserta menjawab suka dan kurang dari dua pertiganya menjawab tidak.
Di atas kursi imajiner itu kau tampak massif dan tersenyum, seperti senyum pembuat onar. Namun, dapatkah kau mengenaliku di antara mereka?
Pemirsa pasti tahu tentang Cak Lontong. Dia berada pula dalam diskusi ini. Seperti biasa dia tampil kocak tapi cerdas, sangat lucu tapi amat menyebalkan. Dan dia membuka suara dengan bertanya;
“Mengapa China paling terkenal membuat barang KW? Tahukah anda?”
“Tidak.” Sahut dua-tiga orang bersamaan. “Anda sendiri tahu mengapa?”
“Saya juga tidak tahu. Itu sebabnya saya bertanya.” Kata Cak Lontong, membuat pembawa acaranya geleng-geleng kepala dan mengepalkan tinju.
Cak Lontong terus berbicara.
“Pernah melihat pacar saya? Sebulan sekali dia meminta dibelikan sebotol parfum. Jika saya menemuinya dengan sebotol Absolutly dia akan langsung membuka tutupnya dan menyemprotkan ke tubuhnya di depan saya. Lalu dia akan bertanya apakah parfum itu asli atau tidak, dan bila saya menjawabnya itu parfum asli dia akan menggunakan parfum itu dengan ceria selama sebulan asalkan dia belum tahu kalau itu sebenarnya parfum palsu.”
“Jadi kau berbohong kepadanya?” Tanya seseorang. Cak Lontong bilang tidak, dia tidak berbohong. Sebab selama pacarnya percaya, maka sebuah kebohongan adalah suatu kebenaran.
“Mudah bukan? Betapa saya beruntung mempunyai pacar seperti dia.”
Tawa kembali meledak serempak, beberapa wanita menunjukan keinginan mereka untuk mencekik Cak Lontong akan tetapi dia terus saja melawak dengan berbagai pernyataan yang saling bertolak belakang, serta sejumlah pertanyaan yang dia sendiri tidak butuhkan jawaban. Bahkan hingga sesi itu berakhir, Cak Lontong masih saja bertanya;
“Tahukah anda cara membedakan barang asli dari barang palsu?”
Orang-orang yang tertawa, menggeleng. Sebagian berkata bahwa mereka tidak tahu dan ingin tahu bagaimana caranya. Dan mirip sebelumnya, Cak Lontong tidak membutuhkan jawaban. Katanya;
“Kalau anda sekalian sudah tahu, tolong beritahu saya.”
Aku mabuk tertawa sementara kau terpingkal-pingkal. Kita berdua tidak pernah tahu, apa yang telah disantap Cak Lontong sehingga membuatnya demikian. Yang kita tentu tahu hanyalah bahwa di republik ini kebanyakan orang palsu dengan mudah membeli barang asli sementara tidak sedikit orang asli yang hanya sanggup membeli barang palsu karena harganya murah.
Lupakan Cak Lontong. Seorang pelawak lain telah tampil bicara. Dia bercerita tentang istrinya yang hanya suka pada barang-barang tidak palsu. Bila mereka pergi belanja, istrinya bisa memenuhi hampir setengah mobil dengan belanjaannya, yang berharga mahal karena dibeli dari toko-toko terpercaya yang tidak menjual barang palsu. Tiap kali melihat apa yang dilakukan istrinya, dia kurang senang, namun apabila dia bertingkah tidak senang istrinya akan bersungut-sungut. Menurut istrinya, dia tidak menyayanginya lagi, tidak mencintainya dengan tulus seperti yang dia katakan selama ini. Istrinya mulai menuduhnya tidak menginginkannya berdandan cantik karena telah ada wanita lain yang disembunyikan.
“Dia lebih senang bila saya berpura-pura senang, dia lebih suka saya tersenyum palsu ketimbang memarahinya terang-terangan.”
Sesi itu berakhir ketika gelas-gelas minuman diterima dari tangan ke tangan. Di dalam setiap cangkir adalah seduhan kopi instan yang perusahaannya menjadi sponsor acara diskusi tersebut. Pada papan reklame tinggi besar yang bersandar di belakang ruangan tertera kalimat iklannya; ‘Kopinya orang Indonesia dengan rasa paling beda. Terbuat dari Kopi Asli. 100%, ini baru namanya KOPI!’Iklan tersebut tidak masuk akal sama sekali. Kau masih saja percaya hal-hal semacam ini, bukan?
Cak Lontong kembali angkat bicara. Sebelumnya si pembawa acara menunjukkan ke orang-orang sebuah syal warna merah gelap yang melingkari lehernya.
“Harganya 780 ribu di Quality. Padahal di Senin cuma 300 ribu. Tetapi lebih berkesan bahwa ini syal asli bila saya membelinya di Quality. Sebenarnya, siapa yang berani bilang kalau di pasar senin ini barang palsu?” ujarnya.
“Saya yang berani bilang.” Sahut Cak Lontong. “Jangan salah, saya pernah menyewa syal tersebut untuk pernikahan sahabat saya. Pada pernikahannya yang pertama, sahabat saya menikah dengan wanita yang tidak dicintainya dan sewa syal itu 200 ribu. Lalu pada pernikahan kedua, akhirnya dia menikah dengan wanita yang dicintainya, harga sewa syal turun menjadi 80 ribu saja. Anda semua tahu kenapa? Karena wanita istri kedua sahabat saya adalah mantan istri pertama saya.”
“Lalu apa hubungannya?” Tanya pembawa acara mewakili mereka semua.
“Di pernikahan pertama, saya tulus menyewa syal itu agar tampil tampan. Pada pernikahan kedua, karena ada mantan istri saya maka saya pura-pura menyewa syal untuk mengikuti undangan mereka.”
Kau dan aku, siapa di antara kita yang bisa menebak apakah kepribadian Cak Lontong memang aslinya begitu atau hanyalah kepribadian palsu sebagai tuntutan pekerjaan? Sewaktu orang-orang mengirimkan barang-barang tiruan dari China, tahukah mereka bahwa mereka sedang mengirimkannya ke suatu negeri dengan banyak orang palsu?
Kau dan aku di sana, di tengah klub lawak yang memang kocak. Namun kita tidak saling mengenal, tidak saling menyentuh dan berjabat tangan. Ibaratnya kau minyak dan aku air. Tetapi tidak tepat benar seperti itu. Kau semacam masalah sementara aku adalah solusinya, dan karena ditangani orang-orang yang tidak mahir kita tidak pernah bersua, bahkan dalam ruangan sekecil ini. Kita mirip orang buta yang menggiring bola ke dalam gawang yang juga dijaga oleh orang buta.
“Sekian diskusi kita malam ini,” pembawa acara menutupnya, “Berhati-hatilah terhadap barang palsu yang mengancam kepunahan barang asli. Untuk itu, marilah kita berharap banyak agar harga barang asli lebih murah daripada barang palsu meskipun hal itu seperti bermimpi pernah melihat ke dalam supermarket yang dijejali orang-orang miskin. Sekian pemirsa, sampai jumpa…”
Kau dan aku bertepuk tangan, di depan pintu kita berpisah_kau ke timur, aku ke selatan. Kau akan berhenti minum kopi di kafe sementara aku mencari warteg yang masih buka, jika tidak, akan kubelikan sebungkus roti bakar. Lalu angin datang, mengapungkan kita berdua dalam udara Jakarta yang panas, untuk kesekian kalinya hinggap ke toko-toko dan barang pajangan-dagangan, sekalian merasuk ke dalam orang-orang.
Ilustrasi: google
Belum ada tanggapan.