Oleh Nurina Hegar
Akhirnya cengkeramannya di leherku mulai mengendur. Mata lelaki itu membelalak hingga dapat kulihat otot-ototnya mengencang. Mulutnya menganga seperti ingin berteriak menyumpahiku, tapi tak satupun bunyi yang keluar. Sekujur tubuhnya kejang-kejang. Bola matanya tak lagi menatapku. Mungkin sedang ditatapnya Izrail yang siap menjemput ke neraka. Aku tak tahu. Yang aku tahu, tak lama setelah itu, dia berhenti mengejang.Yang aku tahu, kedua tanganku sekarang menggenggam sebilah pisau yang masih pekat berlumuran darahnya.
Aku merasa jijik. Melihat mayat lelaki ini membuat isi perutku mendadak naik. Apalagi bau anyir darah yang tak hanya berlumuran di sekitar dada kirinya; tapi juga di lantai, di bajuku yang setengah koyak, dan di kedua tanganku. Kedua tanganku yang telah menumpahkan darahnya.
Sambil menahan muntah, aku melangkah terhuyung-huyung ke wastafel. Kubasuh kedua tanganku dengan air, kucuci dengan sabun, lalu kubilas lagi. Anyir darah tak kunjung hilang, malah semakin menusuki penciumanku. Bagaimana ini? Tidak lama lagi orang-orang pasti tahu ada mayat di sini. Mereka tak akan peduli siapa yang lebih jahat semasa hidup. Mereka hanya akan sibuk mengurusi siapa yang jadi pembunuh. Mereka tidak akan segan menjatuhiku dengan hukuman mati. Itu sudah harga pasti.
Pandanganku berkeliling dan berhenti pada jendela hotel. Aku berjalan mendekat, selangkah demi selangkah. Sudah kukumpulkan kekuatan di kepalan tangan untuk memecahkan kaca, tapi tiba-tiba aku diam mematung. Dari lantai 26 ini dapat kusaksikan kerlap-kerlip lampu Singapore Flyer yang berpendar di kejauhan. Bianglala tertinggi kedua di dunia menjelma menjadi mata besar yang memelototiku, seperti dia tahu apa yang telah aku lakukan. Sejurus kemudian, mata itu berubah sedih, seakan-akan dia tahu isi pesan singkat yang kuterima tadi sore.
“Rum, kapan iso mulih? Ibumu meninggal tadi sehabis Ashar. Jatuh di kamar mandi. Kata dokter serangan jantung.”
Andai aku punya sayap. Dari ketinggian ini aku tinggal terbang landas menuju jasad ibu yang pasti sekarang sedang dibacakan tahlil oleh seluruh keluarga dan tetangga. Tak perlu paspor, tiket pesawat, atau uang untuk naik bus dan ojek menuju kampung. Lagipula pasporku sekarang hilang entah kemana. Mungkin sudah dibakar oleh si bedebah yang sudah tergeletak bermandikan darah itu.
Ah, tidak. Sepertinya lebih baik jika aku punya kekuatan untuk berpindah tempat secara cepat seperti tokoh jin di film-film mistis. Tapi aku tidak akan datang ke rumah. Akan ada banyak orang disana. Sudah kubayangkan puluhan pasang mata yang mencabik-cabik dan ribuan pertanyaan yang membuatku muak: “Kemana saja kau tujuh tahun ini, Arum? Tidakkah kau ingat pada ibumu yang sebatang kara?”. Lalu ibuku akan dikenang sebagai janda sebatang kara yang hidup dari menjual pecel sementara anak gadisnya tak kunjung pulang dari negeri orang, tanpa pernah mengirim uang, tanpa pernah memberi kabar. Sedangkan aku? Aku akan digunjingkan orang sebagai perempuan tak tahu diri yang lupa rahim tempat bersarangnya.
Orang-orang itu hanya tahu aku berangkat bekerja ke negeri orang. Tujuh tahun yang lalu, mata-mata itu sudah memandangiku naik ke bus bersama tiga rekan perempuan yang lain. Setelah itu, aku yakin, mulut-mulut itu bertaruh atas nasibku: pulang sebagai orang bergelimang harta; mati disiksa di negeri tetangga lalu muncul di halaman utama koran ibukota; atau sama sekali hilang tak ada jejak atau berita. Aku tak ingin taruhan mereka itu jadi kenyataan, jadi kupilih jalan keempat: jadi kaya, menyebabkan orang tak bernyawa, tapi tak jadi berita.
Dalam tujuh tahun ini, tak pernah sekalipun aku tak merindukan ibuku. Aku rindu tangannya, matanya, suaranya, bahkan dengkuran halusnya saat kami tidur di rumah sederhana berdinding kayu yang bau basah saat hujan tiba. Aku suka masakan buatannya, meskipun yang kami makan selama enam belas tahun aku hidup bersamanya lebih sering berlauk ikan asin dan pecel. Memang, sesekali juga makan daging, seperti ketika jatah kiriman idul qurban tiba.
Aku suka ibuku yang tak selalu mengiyakan permintaanku. Ibu selalu bersedia jika kuajak main rumah-rumahan, bernyanyi, termasuk ikut naik kincir bersama. Dulu di kampungku, setiap enam bulan sekali mampirlah tukang komidi putar keliling. Disana ada kincir, kuda-kudaan, rumah hantu, dan ombak-ombakan. Tapi tak ada yang mencuri perhatianku melebihi wahana kincir warna-warni.
Hampir setiap malam aku pergi kesana dan naik kincir. Lalu aku mengenal Pandit, lelaki brengsek penjaga loket permainan itu. Setelah sering bertemu karena seringnya aku menaiki wahananya, kami jadi sering berbicara. Sampai pada akhirnya dia mengajakku bekerja di luar negeri, di Singapura. Tempat macam apa itu? Dunia bagian mana?
“Disana ada kincir yang besar sekali, Rum. Namanya bianglala. Sepuluh orang bisa masuk sekaligus!” katanya dengan nada suara yang berlebihan sambil memamerkan semua jari tangan. “Aku punya kenalan disana. Dia bisa menjadikanmu tukang bersih-bersih kincir. Gajinya besar, lho. Temanku saja bisa punya peternakan ayam sepulangnya dari sana.” Masih lekat di ingatanku cara Pandit tersenyum. Memuakkan. Penuh kemunafikan. Sayangnya aku terlalu naif untuk menyadarinya waktu itu.
“Benarkah?” tanyaku.
Dia mengangguk antusias. “Bilanglah pada ibumu. Kalau kau setuju, esok lusa kau temui aku disini lagi,”
Setelah pertemuan di pasar malam itu, perjalanan pulang ke rumah terasa berbeda. Berat bukan main. Ada yang bertarung dalam perasaanku: keinginan untuk pergi ke dunia baru dan ketidakmampuan untuk meninggalkan ibu. Jariku menghitung-hitung kancing baju ‘bilang ibu? Tidak bilang ibu? Tidak’. Sialnya, hasilnya selalu berbeda. Semakin dekat ke rumah, keributan di kepalaku semakin tak terbendung. Hingga saat kubuka pintu kayu, kulihat ibuku sedang terduduk di atas sajadah dengan ujung sudah sobek-sobek. Tangannya bertumpu pada Alquran di pangkuannya, lunglai dan kisut, serupa dengan kertas-kertas pada buku suci yang menguning dan nyaris keriting sebab terkena rembesan hujan.
Begitu tahu aku datang, ibu menghentikan lantunannya. Aku berjalan mendekat. Kucium telapak tangannya.
“Bu, aku ingin bekerja di luar negeri,” Kata-kata itu keluar begitu saja tanpa bisa kutahan. Tampaknya sudah jelas siapa pemenang duel di dalam diriku.
Ibu diam. Dia menutup kitab suci dan meletakannya di atas meja. Bibir ibu masih tak bergerak. Tapi bisa kulihat matanya yang membesar. Pandangannya menusukku dengan banyak sekali tanda tanya. Aku menunduk.
“Apa maksudmu, Rum?”
“Temanku di pasar malam bilang dia bisa menjadikanku pekerja di kincir raksasa yang bisa menampung hingga sepuluh orang, Bu. Di luar negeri, Singapura katanya,” jawabku antusias.
“Singapura?” tanya ibu.
Aku menganggguk. “Katanya, gaji disana besar, Bu. Aku pasti akan rajin mengirimi Ibu uang. Jika uangnya sudah terkumpul, kita bisa membeli kebun atau kios di pasar. Aku pulang, dan ibu tidak perlu lagi menjual pecel keliling.”
Aku tersenyum, tapi ibu tidak. Dari sudut matanya bisa kulihat butir-butir air mengalir turun.
“Nak, kata-kata itu juga yang diucapkan bapakmu dua belas tahun lalu di malam sebelum ia pergi meninggalkan kita,” lirih ibu. “Dia bilang kita akan jadi orang kaya. Dia bilang kau bisa sekolah sampai tinggi. Nyatanya? Tak pernah sekalipun kami saling berkabar, tak sepeser pun rupiah yang dibawakannya untuk kita. Kau pun akhirnya hanya tamat sekolah dasar.”
Akhirnya terjadi juga apa yang kutakutkan.
“Aku tak akan mengulang apa yang bapak perbuat, Bu. Aku janji aku akan kembali,”
Kedua tanganku bergerak meraih tubuh Ibu. Kurasakan air matanya yang hangat di kulit bahuku. Hatiku serasa diiris-iris, tapi aku tak punya pilihan lain. Sebenarnya aku punya pilihan untuk tetap tinggal, hanya saja waktu itu aku sama sekali tak menganggapnya sama sekali.
“Aku janji akan kembali, Bu.”
Tujuh tahun berlalu dan tak pernah ada kabar atau rupiah yang sampai kepada ibuku. Bukan karena aku tak bisa, aku hanya tak mau. Padahal aku kini sudah berkecukupan. Aku punya apartemenku sendiri, dolar yang tak sedikit, baju-baju cantik, dan aneka gawai keluaran terbaru. Hanya saja, aku tak sampai hati untuk bilang padanya selama tujuh tahun itu aku bekerja sebagai pemuas nafsu lelaki. Aku juga tak sampai hati bila ibuku harus turut menanggung dosa akibat makan uang haram ini. Biar aku saja.
Sampai tadi pagi aku bertekad untuk mengakhiri ini semua. Aku harus pulang bagaimanapun caranya. Aku harus bersimpuh di telapak Ibu. Harus kutahu kabar ibuku. Maka kukirim pesan singkat ke banyak sanak famili, berharap masih ada yang bisa kuhubungi. Aku bertanya bagaimana keadaan ibu. Masihkah bisa ia berjalan? Masih kuatkah bahunya menggendong bakul pecel? Tak berani kutanya apa Ibu masih hidup. Pagi tadi, aku yakin sekali Ibu masih hidup. Dan ketika sore datang bersama pesan singkat mengerikan itu, aku tahu aku tak termaafkan.
Sejak pesan itu sampai kepadaku, duniaku terasa meledak. Aku ingin membusuk saja di apartemenku ini. Seharusnya aku ada janji dengan Tuan Chow, pelanggan premiumku. Tapi semua telepon dan pesan tak kugubris sama sekali. Aku tahu lelaki tua itu pasti marah besar karena kemudian si Jarot mucikariku-lah yang gantian menerorku. Dihujaninya teleponku dengan umpatan-umpatan kasar. Persetan dengan mereka semua. Aku sudah mati rasa. Aku hanya ingin pulang. Tapi entah bagaimana.
Aku masih terpekur di tepian ranjang ketika kudengar pintu apartemenku diketuk. Mulanya tiga kali ketukan halus. Tak kupedulikan. Lama kelamaan pintuku dipukul-pukul, mungkin akan didobrak jika tak kunjung kuladeni. Maka dengan lemas, aku membukanya. Seperti sudah kuduga, Jarot berdiri di sana dengan tampang geram, memamerkan kumis hitam panjang tebalnya.
Tanpa kupersilakan, dia menerobos masuk.
“Kenapa kamu masih acak-acakan begini? Tuan Chow marah-marah sejak tadi!” bentaknya.
“Aku tak bisa hari ini,” kataku malas.
“Kenapa, hah?” geramnya.
“Sedang halangan.” akuku.
“Tak mungkin. Aku hafal jadwalmu,” kilahnya.
“Aku serius, Jarot.”
“Lalu kenapa tak mengangkat telepon atau membalas pesan?”
“Tak ada pulsa,”
“Omong kosong!”
“Aku tidak bisa, Jarot. Bukankah sudah kesepakatan kita tak ada job jika sedang halangan?”
“Jangan bohong, Lidya,”
“Aku tak bohong,”
“Kalau begitu, biar aku buktikan.”
Jarot melangkah ke arahku. Tangan kasarnya mengoyak bagian depan kemejaku. Aku lari ke kamar mandi. Terlambat, lelaki gila itu berhasil masuk sebelum aku sempat membanting pintu.
“Sini, kau!” teriaknya. Aku berkilah lagi. Tubuh kecilku bisa melewatinya lagi menuju ruang tengah. Jarot tak berhenti. Ia mendekatiku seperti monster.
“Ibuku meninggal, Jarot!” sentakku. Air mata tak bisa kubendung lagi. “Kau yang membuatku seperti ini! Kau mengganti namaku, membakar pasporku sehingga aku tak bisa pulang! Kau yang membuatku jadi hina begini!”
“Ssst, ssst,” Jarot menempelkan telunjuknya ke bibirku. “Jangan sedih, Sayang. Semua itu memang salahku. Tapi apa salahku juga kalau akulah orang pertama yang kau temui di negeri ini? Apa salahku juga jika kau tak pernah mengiriminya kabar atau uang padahal sekarang kau sudah jadi orang kaya?”
Aku tak bicara. Lemas, kubiarkan tubuhku terduduk di lantai bersandar pada ranjang. Aku tak mencoba menghindar ketika tangan Jarot merangkul bahuku. Dia meletakkan kepalaku di pundaknya. Aku paham ia menginginkan apa. Tangannya tak berhenti di bahuku. Jari-jari lelaki itu terus turun ke pinggang, perut, hingga pahaku. Aku berdiri. Jarot kesal. Ia mengikutiku dan menangkapku dari belakang. Kutinju perutnya dengan sikuku. Kulihat ia sedikit kesakitan, tapi setelah itu kegeramannya semakin menjadi-jadi. Kedua tangannya meraih tenggorokanku dan mencengkeram erat. Aku nyaris kehabisan nafas hingga terjengkang ke belakang. Aku berusaha menggapai wajahnya untuk mencakar, tapi usahaku sia-sia. Lelaki itu jauh lebih kuat. Sebentar lagi aku habis, pikirku saat itu.
“Kau ini murahan. Pelacur. Tak usah jual mahal,” kata Jarot. Dia nyengir hingga gigi-giginya yang menghitam akibat terlalu banyak rokok itu dapat kulihat jelas. Jelas dia sudah merasa menang.
Tapi tidak, aku yakin aku yang menang. Lelaki ini yang membuat aku jadi begini. Aku tak mau jadi lebih terhina hanya karena mati di tangan busuknya.
Entah Tuhan mana yang patut kusembahkan syukur ketika sudut mata kananku melihat sebilah pisau tergeletak di kolong meja makan. Ini pertolongan. Tanganku kurentangkan perlahan, mencoba meraih pisau itu. Jarot terlalu sibuk mengucapkan sumpah serapah hingga tak menyadari usahaku. Ia sedang tertawa keras sekali saat akhirnya aku berhasil menghujamkan mata pisau ini tepat di dada kirinya. Tepat di jantungnya.
Mendadak aku merasa mual lagi mengingat-ingat adegan demi adegan yang terus berkelebat di benakku. Mataku masih tertuju ke arah Singapore Flyer. Aku tertawa kecil. Bodoh sekali. Bahkan sampai saat ini pun aku tak pernah menaikinya. Tak pernah kunikmati lampu warna-warninya. Aku tak menginginkan semua itu lagi, karena sejak pertama kali kulihat benda itu berputar, semua masa laluku ikut muncul ke permukaan bersamanya. Dan aku semakin merasa bersalah. Dan aku benci itu.
Kini mungkin saat yang tepat untukku menebus semua rasa bersalahku. Aku akan kembali padamu, Ibu. Aku tak akan mengingkari janji seperti yang bapak lakukan padamu. Dengan sekuat tenaga, kuhancurkan kaca jendela di sampingku. Tak ada pilihan lain. Terjun dari lantai dua puluh tujuh ini akan membuatku hancur ketika sampai di bawah sana.
Aku melangkahkan kakiku, pasti. Dan kudengar sebuah suara memanggilku.
“Arum…”
Suara itu aku kenal betul, meskipun sudah tujuh tahun ini tak kudengar sama sekali.
Di ruang tengah, kulihat sosok ibu berdiri menatapku. Matanya teduh. Ibu tersenyum. Itulah senyum terindah yang pernah kutemui dalam tujuh tahun ini. Lalu ia berlutut dekat mayat Jarot dan menutup mata lelaki itu yang masih melotot. Tanpa kuduga, ibuku mengangkat kepala Jarot dan meletakkannya di pangkuannya.
Ibu menangis, lalu ia melihat ke arahku lagi.
“Terima kasih, Nak. Kini Ibu tahu kabar bapakmu.”
Belum ada tanggapan.