Kembali terjadi, pejabat daerah melakukan penyalahgunaan APBD. Dana tersebut akan difungsikan untuk pembangunan sekolah korban banjir. Akan tetapi, Pejabat daerah, Rama Aksara, melakukan penyalahgunaan dana tersebut sekitar 56 juta guna pemenuhan fasilitas kantor.
Belum selesai, Tari membaca berita itu, matanya sudah sayu. Ia mulai menguap lebar. Tampak jelas, kantung mata besar di wajahnya. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 06.00. Ia sadar rasa kantuk itu datang lantaran tadi malam ia begadang membaca novel kesukaannya, “Ayah” karya Andrea Hirata. Sudah lama ia mengagumi sastrawan terkenal itu. Maka tak heran, rak buku di bagian pojok kanan dalam kamarnya terdapat kumpulan karya sastrawan lulusan Sheffield Hallam University, UK.
Rasa kantuk itu perlahan mulai berkurang. Ia alihkan dengan mengambil secangkir kopi buatan ibunya. Mungkin ibu tah, tadi malam aku begadang baca buku. Kopi yang nikmat, ada campuran susu dengan natrium 10 mg, karbohidrat 16 g, dan lemak 2,5 g. Sayang, dia hanya menikmati secangkir kopi itu sendiri. Ayahnya tadi pagi sudah ada panggilan dari Kepala Camat untuk mengurus administrasi dinas keluar kota. Sementara ibunya, sedang asyik menyiram bunga kesayangannya, bunga mawar. Sekitar 53 pot mawar menghiasi rumah Tari. Ibu tari beranggapan bahwa bunga mawar sebagai simbol keteguhan wanita, cantik dipandang, tapi segan untuk disentuh karena duri yang ia punya.
Tari masih memiliki waktu 30 menit sebelum berangkat ke sekolah. Tiga puluh menit itu ia gunakan untuk sarapan. Telur mata sapi, lengkap dengan karbohidrat nasi. Tapi ia belum tertarik untuk menyantap hidangan itu. Sesuai anjuran ibunya, sebelum mengkonsumsi karbohidrat, tubuh perlu nutrisi dari buah-buahan. Di bagian tengah meja makan sudah disediakan pisang, apel, dan jeruk. Ibu Tari sengaja menyiapkan semua itu, ia tahu anaknya termasuk orang yang pemilih dalam hal makanan.
Tari mengambil buah pisang. Pisang (Musa paradisiaca) buah dengan pohon yang lunak dan tidak berkayu. Kandungan vitamin A paling tinggi dibanding vitamin yang lain; vitamin C dan B6. Kemudian pisang itu dikembalikan ke tempat asalnya. Kini jari-jarinya mengarah pada buah berikutnya. Apel. Nama latinnya Malus domestica, salah satu buah yang sering ditemui di Indonesia. Kandungannya ada fitonutrein, antioksidan flavonoid dan folifenol. Pikiran tari berubah lagi, ia meletakkan apel itu di dekat cangkir kopinya. Kemudian, mengambil buah jeruk. Citrus sinensis, nama latinnya. Buah ini berwarna kuning, jadi jelas, banyak kandungan vitamin C. Tapi Tari tidak mungkin memakan buah jeruk itu, ia percaya kata orang bahwa makan jeruk di pagi hari akan menimbulkan peningkatan asam lambung. Ia pun memutuskan untuk memakan apel. Ia berpikir kandungan apel jauh lebih efektif untuk cuaca sekarang. Karena dapat menangkal radikal bebas.
Masih ada waktu 20 menit untuk ia menyelesaikan santapan pagi. Di sebuah keluarga, meja makan dianggap tempat yang nyaman. Tempat berbagi cerita dengan menikmati hidangan dari ratu keluarga. Baginya, tempat itu sama saja dengan kamarnya. Ia menikmati makan sendiri, berkhayal ada kakaknya yang bercerita tentang kehidupan di Turki. Negara yang terbentang dari semenanjung Anatolia di Asia Barat Daya dan daerah Balkan di Eropa Tenggara. Kuliner yang terkenal ialah baklava. Makanan itu terbuat dari kacang walnut atau pistache yang dicincang dan diberi pemanis (gula atau madu) dan dibungkus adonan roti tipis. Emmm… pasti enak. Sepuluh menit berlalu, ia beranjak dari lamunannya. Ia bergegas merapikan meja makan. Menuju kamar mandi. Pukul 06.30 tepat ia sudah tampil rapi dengan pakaian putih-abu, jilbab yang menjuntai hingga siku.
***
Pelajaran pertama dimulai. Biologi. Tari sangat senang mata pelajaran ini. Mata pelajaran yang membuat ia tahu tentang tubuh, tanaman, dan makhluk ciptaan Sang Kuasa. Hari itu ia belajar tentang fungi. Matanya begitu jelas menatap seorang yang lantang menjelaskan tentang fungi. Jari tangannya luwes mencatat yang ia pahami. Tapi dalam keseriusan itu, konsentrasi Tari terganggu. Dari samping kirinya, bahu Tari ditepuk.
“Kau tahu berita hari ini?” Tanya Indy dengan suara lirih
“In, kau mengagetkanku.” Kata Tari dengan ketus
Kenapa membuka obrolan di saat aku sedang konsentrasi seperti ini. Hufftt …
“Maaf…” ucap Indy
“Jadi kau tahu tidak hari ini ada berita apa?” Tanya Indy lagi.
“Maksudku berita lokal.” Tambah Indy
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Tari. Ia memalingkan muka dan memilih untuk melanjutkan catatannya yang sempat ketinggalan. Kali ini pandangan matanya fokus kembali. Sepuluh menit lagi pelajaran biologi akan selesai, dan Tari tahu kebiasaan pak Yono pada waktu terakhir pelajaran. Posttest. Ia sudah bersiap untuk mengingat pejelasan dari guru favoritnya itu. Akan tetapi, lagi-lagi Indy menjawil-ku.
“Jadi kau tahu tidak hari ini ada berita apa?” Tanya Indy lagi.
Pertanyaan yang sama. Kenapa mendadak tanya tentang berita. Bukankah kemarin obrolan kita masih tentang perdaban islam di Turki. Bicara mengenai kepemimpinan Erdogan. Tapi mengapa kali ini beralih berita lokal begini.
“Oke sudah! Silakan siapkan kertas! Hari ini kita posttest.” Tegas Pak Yono.
Lagi-lagi pertanyaan itu tertahan takterjawab. Tari mengikuti arahan dari pak Yono. Dia selalu optimis dengan nilai pelajaran ini. Maka ia tidak pernah menyiakan setiap arahan dari Pak Yono. Posttest itu berlangusng hening. Semua berkonsetrasi untuk menjawab setiap pertanyaan. Di waktu lima detik terakhir Tari baru mengumpulkan jawabannya di meja guru.
“Tariii…” teriak Indy dari arah bangku mereka. Suaranya membuat semua mata melihat wajah Tari.
“Jadi… kau tahu tidak hari ini ada berita apa?” Tanya Indy lagi.
Pertanyaan itu tidak mengubah pandangan teman-teman Tari. Tatapan mereka semakin berarti. Adapula yang menutup mulutnya. Tari bingung dengan pertanyaan itu. Tambah lagi, tatapan teman-temannya. Bukankah itu pertanyaan biasa. Mengapa kalian melihatku seakan aku sebagai tersangka pembunuhan?
***
Hingga Tari kembali ke rumah, pertanyaan Indy belum terjawab. Justru pertanyaan itu menjadi pertanyaan baru. Kenapa Indy tanya seperti itu? Dan kenapa tatapan teman-temannya seakan mengetahui jawaban pertanyaan itu. Pukul 14.00 waktunya pulang sekolah. Tari diantar oleh ojek langganannya sudah tiba di depan rumahnya. Ojek itu sudah dipercaya oleh keluarga Tari sejak si bungsu itu duduk dibangku SMP level 1. Ia selalu datang tepat waktu. Dan jika terjebak macet di jalan, ia tahu jalan alternatifnya. Keramahannya pun membuat Tari merasa nyaman. Akan tetapi Tari lebih senang jika yang mengantar dan menjemputnya adalah ayahnya. Semenjak ayahnya menjadi sekretaris Camat, tugas ayahnya tergantikan oleh ojek itu. Kurang lebih sudah dua tahun dia merindukan ayahnya menyapa di depan sekolah. Namun pada tahun ketiga ini, ia sudah mulai terbiasa dengan sapaan ojek.
Gerbang rumah Tari terbuka. Tidak biasanya gerbang rumah itu terbuka begitu saja. Ia belum berani untuk masuk ke rumahnya. Ia masih bingung dengan pandangan di depan pintu rumahnya. Ia melihat banyak kerumuman orang. Mengapa bertamu siang bolong begini. Kerumuman itu membawa banyak kertas yang berisi tulisan dengan tinta merah. Akan tetapi Tari belum tahu jelas tulisan itu. Orang-orang mengangkat tulisan itu cukup tinggi di atas kepalanya. Kenapa bertamu seperti itu. Membawa kertas-kertas segala. Kenapa bertamu harus teriak-teriak begitu? Bukankah kalian itu orang dewasa yang sudah paham etika bertamu? Ironi sekali.
“Keluar… Keluar… keluar” teriak salah satu pemimpin rombongan.
Tari memberanikan diri melangkah menuju tepat di belakang kerumuman itu. Tatapan itu masih sama. Ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ayo kita pulang saja. Sia-sia di sini satu jam tidak ada hasilnya.” Ujar orang dalam rombongan itu. Kerumuman itupun pecah, semua keluar pada jalan yang sama. Tubuh Tari ikut dalam desakan kerumuman itu. Maksud kalian apa? Bertamu tidak sopan seperti ini? Sekarang keluar rumah pun menghiraukan aku sebagai anak pemilik rumah. Dan kalian begitu mudah meninggalkan kertas yang kalian bawa. Kenapa kalian menulis, “Kembalikan uang kami!!”
Masih dalam kebingungan yang sama, Tari acuh dengan kertas-kertas itu. Ia ingin tahu tentang pertanyaan Indy. Ia segera masuk menuju ruang makan. Tepat di tengah meja ada koran langganan ayahnya. Ia membuka rubrik Kota Besar. Pada kolom bagian bawah ia melihat judul “Sekretaris Camat Jadi Tersangka Pungli”. Ia mulai membaca berita itu. Ia hanya cukup membaca teras berita untuk tahu maksud judul itu.
Sekretaris Camat Kota Besar, Fandi Indrawan, menjadi tersangka dalam pungutan liar pembuatan kartu keluarga. Polisi telah melakukan penangkapan Fandi pada Senin, 20 Mei 2016 di Kantor Camat Kota Besar.
Teras berita itu belum selesai ia baca, matanya mulai berkaca dengan air. Kemudian air itu tumpah membasahi pipi. Kini ia tahu pertanyaan Indy. Ia tahu tatapan teman-temannya. Ia tahu kerumuman orang itu. Ia tahu mereka bukanlah tamu. Tangisan itu sejenak berhenti. Ada pemberitahuan bahwa handphone-nya menerima satu pesan. Tertulis di situ kontak ibunya.
Tari.. jika kamu sudah di rumah, tidak perlu khawatir. Ayahmu baik-baik saja. Segera makan siang dan istirahatlah. Anggap saja ini hoax. Dan sampaikan pada siapa pun. “Ini hoax.”
Pesan singkat itu membuat stigma kepada Tari tentang hoax. Kata itu pernah ia baca dalam buku berjudul Media Massa dan Penguasa. Hoax berasal dari kata “Hocus” yang berarti menipu. Hocus merupakan mantra sulap yang merupakan kependekan dari “Hocus Pocus.”
Kini aku harus menggunakan mantra itu. Kata ajaib yang menentramkanku dan membangun rasa percaya pada orang lain. Hoax.
Sumber gambar: fatimarahmah.wordpress.com
Belum ada tanggapan.