Berjam-jam aku duduk di depan komputer menunggu email dari Wawan. Sudah lima minggu ini Wawan tidak memberiku kabar, sejak ia pamit untuk mengunjungi rumah orang tuanya di kampung.
Aku sudah mengirim ratusan email ke Wawan, tapi tidak ada balasan sama sekali. Aku juga sudah mendatangi apartemen tempat Wawan tinggal tapi tetap saja, nihil. Di kampus, aku juga sudah menanyakan kabar Wawan ke salah satu temanku, Dito. Dia se-apartemen dengan Wawan. Tapi sama saja tidak membuahkan hasil.
Tidak biasanya Wawan seperti ini. Biasanya dalam sehari dia tidak pernah absen mengirim pesan ke email ku. Aku sudah tidak bisa lagi marah, sekarang aku berbalik khawatir tentang keadaan Wawan. Di mana ia sekarang ? Sedang apa ia sekarang ? Apakah ia baik-baik saja ?. Banyak sekali pertanyaan yang menggangu pikiranku.
Jam 7 pagi telepon rumahku berbunyi, membangunkanku yang baru tidur tiga jam setelah menunggu pesan email dari Wawan. Telepon itu dari ibu.
“Halo ibu”
“Disa, kamu ada dirumah ? jam 10 nanti ibu sama ayah datang ke rumah. Kamu siap-siap ya.”
“Loh kok dadakan sih bu.?
“Iya, nanti kita langsung belanja. Malam minggu nanti ada tamu spesial yang datang ke rumah kita.”
“Siapa bu ?.”
“Nanti kamu juga tahu sendiri. Sudah dulu ya, ibu mau berangkat sekarang.”
“Ibu aku masih ngan…”
Ibu langsung menutup telefonnya.
Aku semakin jengkel. Ibu sering sekali memintaku mengikuti kemauannya tanpa mendapat persetujuan dariku. Aku masih sangat mengantuk. Aku ingin menghabiskan waktuku seharian untuk tidur, tapi apalah dayaku. Aku harus segera mandi dan bersiap-siap sebelum ibu datang. Aku yakin, jika ibu sudah tiba dan aku belum mandi pasti seluruh dunia ini akan terguncang karena omelan ibu.
Ibu dan ayah tinggal bersama nenek di Solo sedangkan aku di rumah Jogja karena aku harus menyelesaikan studiku.
Ibu datang tepat ketika jarum jam menunjukan pukul 10:00. Ibu selalu on time. Aku langsung naik ke dalam mobil dan duduk di kursi tepat di belakang ibu.Ibu langsung mengomando ayah ke jalan menuju toko pakaian.
Selama di perjalanan aku terus berfikir tentang Wawan. Aku tidak bisa tenang. Percakapanku dengan ibu atau ayah juga tidak bisa mengalihkan pikiranku. Aku ingin pulang. Aku ingin duduk di depan komputer, menunggu pesan dari Wawan.
Setelah menghabiskan sekitar 45 menit perjalanan, akhirnya kami sampai di toko pakaian.
“Ayo Dis, turun.”
“Ya ampun bu, aku benar-benar malas sekali hari ini.”
“Makanya turun dan pilihlah baju yang kamu suka.”
Aku kemudian turun dari mobil dan mengikuti ibu masuk ke toko. Aku duduk diam di sofa, sedangkan ibu dan ayah sibuk memilih baju untukku. Aku benar-benar bosan. Aku bingung apa yang harus kulakukan.
Selama lebih dari dua jam kami di toko, akhirnya ibu mengajakku pulang. Sebelum ke rumah, ibu mampir ke rumah bi Ilu si tukang masak. Entah untuk keperluan apa sampai ibu datang ke rumah bi Ilu. Aku hanya di dalam mobil saja, sambil menunggu ibu dan ayah selesai dengan urusan mereka.
Setibanya di rumah, aku langsung masuk kamar dan langsung tidur. Aku tidak memperdulikan lagi apa yang diperbuat ibu dan ayah di luar. Bahkan, aku juga lupa untuk melihat email di komputerku. Aku tertidur lelap sore itu.
Adzan maghrib membangunkan ku dari tidur. Aku langsung bergegas pergi mandi dan sholat. Sehabis sholat aku bersama ayah, dan ibu makan bersama. Ibu memasak sayur jengkol kesukaanku, namun aku tidak memiliki nafsu makan yang baik malam ini, aku hanya memakan 5 sendok nasi dan langsung bergegas ke kamarku lagi. Aku duduk didepan komputer kesayanganku. Aku membuka emailku berharap ada pesan dari Wawan, tapi masih saja kosong.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, ibu lalu masuk dan menghampiriku yang sedang duduk dikursi.
“Kamu kenapa Dis, kok seharian ini murung terus?”
“Tidak apa-apa bu.”
Aku menjawab pertanyaan ibu dengan nada suara yang lemas.
“Bagaimana hubunganmu dengan Wawan, apakah baik-baik saja?”
Pertanyaan ibu ini langsung membuatku kaget, aku bingung harus kujawab apa. Aku tahu ibu pasti akan marah kalau tahu Wawan tidak memberiku kabar selama lima minggu ini. Air mataku tiba-tiba jatuh dan membasahi pipiku, aku langsung berbalik memeluk ibu.
“Ada apa Dis, kenapa menangis ?”
Aku langsung mengusap air mataku. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan tanpa berfikir panjang aku langsung menceritakan semuanya kepada ibu.
“Sabar Disa, mungkin saja Wawan sedang sibuk dengan keluarganya di kampung”
“Iya bu aku tahu itu, tapi setidaknya memberiku kabar sekali saja. Biar aku tahu keadaannya Wawan sekarang bu”
“Ibu mengerti apa yang kamu rasakan, tapi kamu tidak boleh egois sayang”
“Aku hanya takut bu kalau Wawan kenapa-napa disana, aku takut kalau terjadi sesuatu pada Wawan bu”
“Sudahlah Disa, kamu berdoa saja semoga Wawan baik-baik saja”
Ibu lalu mencium keningku dan langsung berjalan keluar kamar.
Jumat pagi aku bangun jam 5 subuh. Setelah sholat aku langsung bergegas untuk mandi. Jam 7 nanti aku harus menemui teman-temanku di kampus untuk membahas keperluan wisuda S2 ku.
Ibu sibuk memasak di dapur, sedangkan ayah duduk di meja makan sambil membaca koran dan minum kopi. Pagi ini ibu memasak nasi goreng untuk sarapan, aku meminta ibu memasak nasi goreng yang super pedas. Hitung-hitung biar hidungku ini tidak lagi mampet dan bisa meler.
“Wawan sudah memberi kabar ?” tanya ibu
“Belum bu” jawabku pelan
“Yang sabar cantik” sahut ayahku. Aku membalas ucapan ayah dengan senyuman.
Setelah sarapan akau bergegas ke kampus dan menemui teman-temanku.
Setelah berunding, kami semua sepakat untuk memakai kebaya berwarna biru muda untuk cewek. Kami juga akan sudah memesan studio untuk foto bersama setelah acara wisuda selesai.
Setelah berunding aku berniat untuk pergi ke toko buku sebelum aku pulang ke rumah, tapi Dito menghentikan langkahku.
“Dis, semalem Dito pulang ke apartemen, dia nitip salam untuk kamu dan dia juga memintaku menyampaikan pesan ke kamu kalau dia belum bisa menemuimu karena ada urusan keluarga”
“Terus sekarang dia dimana dit ? di apartemen ?”
“Dia langsung ke kampung lagi tadi pagi dis”
Setelah mendapat info tentang Wawan dari Dito aku tidak jadi pergi ke toko buku. Aku langsung pulang ke rumah.
Sesampai dirumah aku langsung masuk ke kamar dan membuka komputerku, mengecek emailku apakah ada pesan dari Wawan atau tidak, dan ternyata tidak ada sama sekali. Dari ratusan pesan yang ku kirim ke Wawan hanya dibaca olehnya, tidak ada respon sama sekali. Dadaku langsung sesak. Aku sangat emosi. Aku benar-benar marah kepada Wawan.
Jangankan untuk menemuiku, membalas pesanku saja tidak ia lakukan. Urusan keluarga apa sampai ia lupa kepadaku ? apa aku tidak penting lagi untuknya ?
Aku tak ambil pusing lagi tentang Wawan. Aku sudah lelah.
Hari Sabtu.
Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh ibuku, karena sebentar lagi ada tamu spesial yang datang ke rumah. Ibu sibuk dengan perlengkapan menyambut tamunya. Makanan, minuman, permen, buah-buahan semua tertata rapi di meja. Aku bingung dengan tingkah ibu, seberapa spesial tamunya sampai-sampai ibu begitu sibuk mengatur semuanya.
“Dis, cepatlah ganti pakaianmu. Sebentar lagi tamunya datang sayang”
“Iya bu”
“Kamu pakai baju yang ibu belikan kemaren itu, bajunya sudah ada di kamarmu. Sudah di setrika dan siap di pakai.”
“Astaga ibu”
Aku langsung bergegas ke kamar untuk bersiap-siap. Berdandan seadanya.
Ibu dan ayah menyambut para tamu dan mempersilahkan mereka duduk. Tak lama setelah menyambut tamu, ibu masuk ke kamarku.
“Dis, ayo keluar. Tamunya sudah datang”
“Iya bu sebentar”
Setelah berdandan aku langsung menuju ke ruang tamu, tempat para tamu duduk.
Belum sempat aku duduk, aku melihat sosok Wawan diantara tamu-tamu yang datang. Aku terkejut. Aku langsung berjalan mendekati Wawan dan memeluknya. Wawan juga membalas pelukanku. Pelukan Wawan begitu hangat, dan juga nyaman sampai membuatku tak mau melepaskan pelukan ini.
“maaf sayang, maaf telah membuatmu marah. Aku sengaja untuk memberikan kejutan untukmu”
“Kejutan apa ? Kejutan untuk apa lagi ? Untuk membuatku marah ? Kecewa ? Jengkel ? kamu kemana saja ? Urusan keluarga apa sampai kamu tidak memberiku kabar ? Aku benci kamu.” Ku keluarkan semua pertanyaan yang selama ini mengganggu pikiranku.
“Hahahah, maaf sayang. Ini ide aku dengan kedua orang tuamu. Aku pulang ke kampung untuk mengajak orang tua ku datang ke rumahmu untuk melamarmu.”
“Melamar ? Kapan ?.” Jawab ku dengan nada terkejut
“Sekarang Disa.” Sahut ibuku
Aku langsung tersenyum lebar. Aku langsung memeluk Wawan lagi, kalai ini dengan pelukan paling erat yang ku bisa. Aku sangat bahagia sekali.
Belum ada tanggapan.