RABU
Aku sebenarnya bukanlah seorang pembenci.
Selain kopi dan dan perang, aku tidak membenci hal lain lagi.
Tapi belakangan ini, aku menjadi seorang pembenci.
Aku benci hari ini.
Hari ini hari Rabu.
Ada tujuh hari dalam seminggu. Dalam tujuh hari pula Tuhan menciptakan semesta. Di hari pertama Dia ciptakan siang dan malam, hari kedua Dia ciptakan Cakrawala, lalu diikuti benda penerang, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, dan di hari ketujuh Tuhan berhenti. Aku sangat berterima kasih.
Tapi aku tetap membenci hari Rabu.
Selama delapan tahun ini aku terus saja murung ketika hari Rabu tiba.
Sebab pada hari itu, ada sesuatu yang dicuri dariku.
Rabu mencuri kekasihku.
Ya, kekasihku si penggila kopi bernama Dedi.
Rabu ini kekasihku dicuri lagi. Padahal Rabu ini adalah Rabu spesial. Hari ini aku genap delapan tahun menjadi kekasihnya.
Selasa malam aku memohon padanya, untuk tidak membiarkan dirinya dicuri lagi.
Tapi dia malah balas memohon padaku, untuk membiarkan Rabu menculiknya.
“Besok itu hari jadi kita?”
Tapi kau bilang “Masih ada Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu untuk merayakannya.”
“Aku maunya besok.”
Tapi kau malah bilang “Kau kekasihku, seluruh dunia tahu.”
Lalu kau mengecup pipiku.
Bukannya aku tidak pernah bertanya kemana ia pergi setiap Rabu. Aku sudah bertanya ratusan kali. Dan aku sudah bosan mendengar alasannya.
“Ada hal yang penting di hari itu.”
Hal yang lebih penting dari aku.
Rabu ini batas sabarku diuji. Aku sudah tidak tahan lagi. Akan kutemukan jawabannya hari ini. Kau sendiri yang bilang tidak boleh ada dusta di antara kita. Untuk itu aku akan mencari tahu dustamu dan melenyapkannya.
Sejak fajar aku sudah siap siaga. Menunggu dengan setia di balik semak yang tumbuh subur di depan rumahmu di dalam mobil yang sengaja kupinjam dari temanku si Nara. Tanganku sedikit gemetar karena deg-degan. Sesuatu yang buruk mungkin terjadi.
Kau tahu aku merasa tersiksa sekali. Aku ingin mengetahui apa yang Rabu lakukan padamu, tapi juga tidak ingin mengetahuinya. Aku harus bagaimana?
Matahari mulai meninggi ketika pikiran-pikiran aneh menenggelamkanku. Kudengar mobil meninggalkan halaman rumahmu. Segera aku mengikuti dengan perlahan. Menjaga beberapa meter darimu agar kau tak curiga. Aku merasa seperti seorang penjahat. Penjahat yang sedang mengintai korbannya.
Pikiranku tidak karuan. Aku memikirkannya, sabuk pengaman, jalanan, dan lampu merah. Menebak-nebak apa yang akan terjadi dan yang mungkin terjadi. Perjalanan masih belum berakhir, mobilnya belum juga mencapai tujuannya. Jalan yang kulewati semakin meninggalkan kota, masuk ke kawasan sepi yang belum pernah kudatangi. Pohon-pohon besar ada di samping kanan dan kiri, rasanya seperti saat perjalanan ketika liburan.
Mobilnya berhenti di sebuah rumah besar. Rumah bertingkat dengan tiga balkon di depannya. Rumah siapa ini? Ia tidak pernah mengajakku kemari. Lalu Dedi keluar dari mobilnya. Tak pernah kusangka ia memakai setelan jas hari ini. Satu buklet bunga besar ada di tangannya. Aku tidak begitu suka bunga.
Seorang wanita sudah menunggunya. Ia memakai gaun warna hitam dengan kalung mutiara menggantung indah di lehernya. Wanita itu lalu memeluknya. Dedi tersenyum dan mengusap ujung kepalanya dengan hangat. Siapa wanita itu? Apakah wanita itu yang membuatmu rela diculik oleh hari Rabu? Apakah ia lebih penting dari aku?
Aku tidak bisa menahan air mataku. Mereka mengalir begitu saja. Hatiku terasa perih tanpa bisa kuantisipasi. Aku belum siap menerima ini. Aku belum siap kalau Dedi bilang wanita itu kekasihnya, atau bahkan istrinya, atau entah apa baginya. Aku belum siap menerima jawabannya. Ingusku ikut meleleh. Mengalir bersama dengan kenangan delapan tahun yang tiba-tiba saja terasa sia sia.
Aku ini kenapa? Ini tidak rasional?
Aku bahkan tidak tahu siapa wanita itu?
Mungkin saja aku salah.
Wanita itu lalu masuk ke dalam rumah. Sedangkan Dedi berjalan terus bersama buket bunganya. Meninggalkan wanita yang sedang melambaikan tangan padanya. Jadi bunga itu bukan untukknya? Lalu untuk apa dia membawanya jauh-jauh kemari?
Apa ada wanita yang lain?
Aku segera meloncat turun dari mobil. Setengah berlari aku mengejarnya dari belakang. Sial. Aku salah pakai sepatu. Aku sedikit tertinggal, tapi aku masih bisa melihat sosok tubuhnya yang tegap dan tinggi dari kejauhan. Aku sedikit terseok dan kakiku perih. Meskipun tidak seperih perasaan yang saat ini kurasakan. Pohon-pohon yang seperti bergandengan tidak lagi terasa seperti suasana liburan.
Setiap langkah aku memikirkan nama wanita yang mungkin kau temui. Apakah dia Mira? Santi? Lila? Atau bernama Gita sepertiku? Hei, katakan padaku! Siapa saja. Katakan siapa namanya!
Aku tidak begitu memperhatikan langkahku dan kemana aku pergi. Aku hanya mengikuti punggungmu yang semakin menjauh. Apakah dia Citra? Susi? Atau Nia?. Lalu kulihat punggungmu berhenti. Tepat di sebuah tempat yang tak penah kusangka sebelumnya.
Sebuah makam.
Kau memberi salam pada makam itu. Lalu menunduk sebentar dan meletakkan buket bungamu di sana. Bibirmu bergerak lancar dan beberapa kali kau tersenyum padanya. Senyum yang biasa kau bagi padaku. Senyum yang hangat dan membuat teduh. Kau lalu duduk dengan santai di sana. Mengeluarkan sebuah buku dan mulai membaca. Aku pun sedang membaca, membaca dirimu dari jauh. Aku membaca apa yang sedang kau lakukan dengan buku dan bunga itu. Matahari mulai meninggi dan memanggang punggungmu yang dibalut jas. Tapi kau tetap membalik halaman demi halaman seolah kau tak peduli.
Tangisku sudah mengering tapi tubuhku mulai basah. Keringat membanjiri tubuhku yang berdiri mengawasi seorang kekasih dari sini. Dedi lalu menutup bukunya. Mengusap papan nisan itu dengan penuh rasa sayang. Ia meletakkan sepucuk surat di antara bunga-bunga. Ia lalu sedikit mengusap matanya, mengusap nisan itu sekali lagi dan mulai berdiri. Pertanda ia akan segera pergi. Aku sedikit tergopoh bersembunyi. Di balik pohon besar yang kusyukuri telah ditanam di sini.
Dedi melewatiku, seolah aku tidak ada di sana. Aku mengawasi punggungnya menjauh pergi. Aku keluar dari balik bayang pepohonan. Tidak mengikuti punggung kekasihku, tapi bergerak maju pada tempat yang menjadi alasannya pergi di hari Rabu. Langkah kakiku sedikit berat. Aku masih terus saja memikirkan nama wanita tiap kakiku melangkah.
Aku semakin dekat dengan makam itu. Semakin berat perasaan yang kubawa. Akhirnya aku tahu alasannya. Akhirnya aku tahu nama wanita yang ia bawakan bunga.
Liana.
Itu nama ibunya. Seketika itu kakiku lemas. Tubuhku lelah sekaligus lega. Tangisku tiba-tiba saja tumpah. Aku merasa bersalah.
Aku mengambil sepucuk surat yang Dedi tinggalkan di sana. Sepucuk surat yang ditulis dengan sangat rapi. Bunyi surat itu begini..
RABU UNTUK IBU
Di bawah awan putih
Dipayungi langit yang membiru
Untuk kesekian Rabu
Aku datang menjenguk Ibu
Aku teringat tiap datang kemari
Kukisahkan cerita yang sama
Bagai rutinitas yang berulang
Yang mungkin membuat ibu bosan
Cerita yang berjudul Gita
Aku harap ibu menyukai ceritanya
meskipun tidak seperti novel romansa yang Ibu senangi
yang selalu Ayah bawa sebagai hadiah
Kemarin ia merajuk padaku
Agar tidak perlu pergi di hari Rabu
Ia memang seorang pencemburu
Bahkan kopi pernah ia anggap sebagai musuh
Maafkan aku yang hanya bisa datang di hari Rabu
Aku tidak ingin Gita menjadi curiga
Lain kali aku akan membawanya
Agar Rabu tidak menjadi musuhnya
Ibu, aku begitu mencintainya
Cinta yang teramat sangat
Cinta yang luar biasa
Sampai sampai ibu bergeser menjadi nomor dua
Hari Rabu depan aku akan kemari lagi
Membacakan buku dan Gita lagi
Semoga Ibu selalu bahagia
Terus lindungi aku dan Gita
Dadaku begitu sakit setelah membacanya. Ternyata aku sudah sangat serakah.
image source : cdn.powerofpositivity.com
Belum ada tanggapan.