Namaku Melati, diambil dari bunga melati. Seringkali aku disebut bunga desa, bukan karena namaku melati, melainkan karena mulut – mulut orang desa yang menamaiku begitu.
Berkat mulut – mulut itu, aku menjadi kembang desa. Berkat mulut mereka aku menjadi sebuah lambang pujaan dan kebanggaan. Sayangnya aku sama sekali tidak bisa merasa bangga, senangpun tidak.
Sebab sejak aku dianggil kembang desa, tidak ada kumbang satupun yang boleh menyentuhku. Kembang desa hanyalah bisa menjadi pajangan, tidak boleh dipetik tangan sembarangan.
Sebab sejak aku dipanggil kembang desa, kemanapun harus bau wangi yang kutebarkan. Tidak boleh ada bau busuk, tidak boleh ada bau yang menusuk.
Dan sebab sejak aku dipanggil si kembang desa, kemanapun aku pergi namaku harus diberi embel – embel bunga. Dan mereka biasa menyebutku kembang desa sebelah.
Si kembang desa ini sama sekali tidak punya kawan, hari – harinya selalu dihabiskan dengan emak yang sudah tua renta dan sakit – sakitan. Para pria malu mendekatiku, para wanita membenciku. Dipikir jika aku berkawan dengan para perempuan itu akan kuambil kekasihnya hanya dengan sebuah kedipan. Aku sama sekali tidak seperti itu. Bertemu mata lelaki rasanya aku belum pernah.
Di rumah aku mempunyai sebuah radio yang sudah butut tapi masih merdu suaranya. Tapi daripada mendengar berita di radio, aku lebih sering mendengar berita tentang diriku sendiri.
“Wah, kamu tahu nggak yang namanya Melati itu?”kata si pemilik mulut 1.
“Oh, kembang desa sebelah itu ya? Aku pasti tahulah.” kata si pemilik mulut 2.
“Pasti dia hanya mau sama lelaki yang tajir saja.” kata si pemilik mulut 3 dengan nada sinis.
“Iyalah pasti, mana ada wanita cantik yang mau sama pria miskin.” kata si pemilik mulut 2.
Lalu mereka tertawa.
Aku tidaklah seperti itu, aku sama seperti wanita kebanyakan. Hanya saja parasku sedikit diberi kelebihan oleh Tuhan.
“Kemarin kamu tahu nggak kelakuannya si Melati itu?” kata tukang gosip 1.
“Oh, Melati kembang desa sebelah itu ya? Ada apa?” kata tukang gosip 2.
“Katanya dia menolak sepuluh lamaran minggu lalu.” kata tukang gosip 1.
“Wah, sombong sekali dia, mentang – mentang kembang desa.” kata tukang gosip 3.
“Pantas banyak yang minder mendekatinya, selerasnya terlalu tinggi.”sahut tukang gosip 2.
“Benar – benar keterlaluan, dia cuman beruntung karena wajahnya cantik saja, padahal kelakuannya sama sekali tidak cantik.” kata tukang gosip 2.
Kali ini mereka tidak tertawa, mereka bergantian mencaci maki aku dan emakku yang tidak bersalah. Sesungguhnya, tidak ada satupun lamaran pengantin yang datang ke rumahku. Bahkan, pintuku sama sekali belum pernah diketuk oleh seorang pemuda.
Lihat, berkat mulut – mulut mereka aku dihargai mahal, begitu mahal hingga tidak ada satupun yang berani menawar.
Dari mulut mereka seringkali berhembus kabar tentang kembang desa yang mahal harganya ini. Yang hanya boleh dikagumi, dan bukannya dimiliki.
Tidak hanya aku yang risau oleh desas desus itu, emakku yang belum juga punya mantu tidak kalah gundah dan resahnya denganku.
“Aduh, Nduk, kapan ada lelaki yang melamarmu ke rumah? Kamu ini sudah cukup umur untuk berumah tangga.”kata emakku dengan nada sedih.
Aku tidak bisa menjawabnya, sebab aku pun tidak tahu mengapa aku menjadi seperti ini. Waktu itu umurku sudah 27 tahun, aku sudah terlambat 6 tahun untuk menikah.
Aku tidak tahu mengapa seperti ini, setiap ada acara di desa, tidak ada yang berani mendekatiku. Aku hanya dilirik, digunjing, dan jadi bahan imajinasi.
Tiap ada lelaki yang kemudian berani mendekati, beberapa waktu kemudian ia mati kutu.
“Kamu terlalu cantik untukku.”kata pemuda 1.
“Aku tidak sanggup mempunyai kekasih secantik kamu.”kata pemuda 2.
“Orang – orang bilang aku tidak pantas untukmu.”kata pemuda 3.
Pernah suatu kali aku menguping pembicaraan gadis – gadis di kampung ketika sedang mencuci baju di kali, seperti yang sudah kuduga mereka membicarakanku lagi – lagi.
“Kasihan ya si Melati itu, punya wajah cantik tapi tidak laku – laku.” Kata gadis berwajah buruk 1.
“Ya mana ada lelaki yang berani melamar kembang desa, mereka memangnya punya apa. Mana mau si Melati dengan lelaki pas – pasan.” Kata gadis berwajah buruk 2.
“Punya wajah cantik ternyata susah juga ya, padahal aku pingin punya wajah kayak dia, matanya sayu, bibirnya penuh, kulitnya putih.” Kata gadis berwajah buruk 1.
“Halah, kalau cantik tapi tidak laku ya buat apa.” Kata gadis berwajah buruk 3.
Kali ini mereka tertawa, terbahak – bahak. Aku merasa sangat sakit hati. Aku tidak menyangka akan menjadi bahan lelucon seperti ini.
Setahun kemudian, aku jatuh cinta pada seorang pemuda. Suryo namanya, anak pak Mantri desa sebelah. Kami sering bertemu diam – diam sebab takut dengan omongan tetangga. Biasanya kami bertemu di pinggir jembatan, kalau tidak begitu kami bertemu di bawah pohon mangga dekat sawah. Aku begitu mencintainya hingga kuserahkan semua pada Suryo. Aku sangat berharap ia segera melamarku.
“Kamu kapan bertemu dengan emakku?”tanyaku pada Suryo.
“Iya, nanti kalau aku sudah bisa beli cincin.”jawabnya.
‘Aku tidak butuh cincin, lamar saja aku.”
“Mau ditaruh dimana mukaku kalau aku melamar kembang desa tanpa ada cincin di tanganmu.”
“Tapi aku sudah tidak sabar, emakku juga.”
“Bersabar dulu, ya Sayang. Nanti sehabis puasa aku datang melamar.”
Aku pun bersabar. Emakku terpaksa ikut juga. Aku sedih tapi bahagia. Untuk pertama kalinya ada pemuda yang mau mendekatiku tanpa ragu. Tanpa ada rasa takut dengan mulut – mulut orang desa. Sayangnya belum juga bulan puasa datang, kabar lain mengetuk pintu rumahku. Tidak hanya seorang pemuda, pintuku diketuk pemuda dan pemudi beserta golok dan sabit yang biasa dipakai bekerja.
“Keluar kamu Melati.”teriak seseorang.
“Iya, keluar kamu, dasar perempuan sundal.”
“Tidak tahu malu.”
Aku dan emak hanya bisa berlindung di balik pintu, berharap pintu itu cukup kuat untuk menyelamatkan hidup kami berdua.
“Keluar kamu, dasar perempuan perebut suami orang.”kata seorang wanita dengan nyaring. Bahkan dari balik pintu kayu jati ini aku bisa merasakan kemarahannya. “Keluat kamu, beraninya main belakang.”
Lalu pintuku didobrak. Begitu keras sampai pintu itu jatuh ke lantai. Orang – orang bergantian masuk dan menendang – nendang barang yang ada di sekitar. Aku dan emak hanya bisa menangis iba, memohon agar kami tidak bernasib sama dengan perabot rumah kami.
Seorang perempuan bermata merah dengan rambut keriting tebal menghampiriku. Ia membawa sabit siap menggorok leherku.
“Apa salah saya?”kataku sambil berurai air mata.
“Salahmu apa? Kamu sudah merebut suamiku.”
“Saya tidak bersalah.”
“Anakku tidak bersalah, kalian salah sangka.”emakku ikut menimpali.
“Kamu masih mau mengelak, sudah ada buktinya. Suryo kesini kamu.”
Muncul dari kerumunan, nampak pemuda yang kucintai berjalan dengan lesu.
“Kamu sudah main belakang dengan suamiku.”
“Saya tidak tahu kalau Suryo sudah punya istri.”
“Halah, pembohong. Suryo katakan yang sebenarnya.”
“Dia sudah menggodaku dengan kecantikannya. Padahal aku sudah menolak.”katanya berbohong.
Aku begitu hancur dan sakit mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Begitu hancur sampai kuharap aku tuli dan tidak mendengar perkataannya.
Para pemuda dan pemudi langsung mengamuk mendengar kesaksiannya. Mereka menendang aku dan emakku. Ada yang menjambak rambutku ada yang menampar pipiku. Emakku hanya bisa menangis. Dan aku hanya bisa berharap mati saat itu.
Sayangnya, aku tidak mati. Aku selamat, tapi sudah cacat. Aku tinggal di rumah pak kepala desa sebab rumahku sudah ambruk dihancurkan warga.
Dari dalam sini masih saja aku mendengar desas desus, tentang si kembang desa yang malang nasibnya.
“Hee, kamu tahu si Melati kan?”
“Oh, kembang desa sebelah itu ya?”
“Bukan kembang desa lagi, tapi bekas kembang desa.”
“Wajahnya cantik tapi perebut suami orang.”
“Dia cantik memang untuk menggoda. Cih.”
“Sekarang lihat nasibnya, wajahnya sudah tidak cantik.”
“Mana ada pemuda yang mau mendekatinya.”
“Kasihan ya.”
“Iya kasihan.”
Lalu aku mendengar mereka tertawa.
Belum ada tanggapan.