Memenuhi semua harapan orang lain hanya akan “mengosongkan” dirimu sendiri. Benar benar kosong.
Semua mata jatuh cinta saat melihat Rika. Ia terlihat cantik dan energik, ia juga ramah, dan cerdas. Perpaduan sempurna saat melihat perempuan dengan tinggi 160 cm itu memakai blazer coklat muda dan kemeja putih serta heels andalan tersenyum di pagi nan cerah. Bukan hanya Pak Bos Eko, Bu Sarah sang manager galak pun luluh bila Rika yang bicara.
Pagi itu Rika mendapat tepuk tangan meriah atas capaian target bulan ini. Ia berhasil menggandeng investor asing untuk menanamkan modal pada start up tempatnya bekerja. Sejak dulu, ia dikenal serius dalam menyusun rencana dan menuntaskan target. Ia memilih bekerja secara pro bono selama 3 bulan hanya untuk membuktikan bahwa ia benar benar siap dan membawa rencana yang jelas. Ia terjun langsung ke market untuk melakukan penjajakan sekaligus riset kebutuhan. Menurutnya, “knowledge management“ akan menjadi cara ampuh mengkokohkan sebuah organisasi.
Ayah Rika dulu pernah berpesan, “Pekerjaan pertama adalah starting point penting dalam hidup, kamu harus serius. Nggak boleh main- main”. Pesan sang ayah mengalir dalam diri Rika. Ia punya target untuk selalu mengerjakan sesuatu dengan baik, bahkan sempurna. Ia selalu memberikan effort lebih untuk pendidikan serta awal karirnya. Selalu. Kadang Ia menghabiskan akhir pekannya untuk mengerjakan riset sampingan. Beberapa kali juga ia absen pada arisan keluarga karena harus studi banding ke luar kota. Sementara saat di rumah, ia selalu terhubung dengan pekerjaan hampir 1x 24 jam mengingat kliennya sering berasal dari zona waktu berbeda.
Pak Bos Eko, sang Chairman of the Board, tentu sangat senang dengan kesungguhan dan capaian Rika. Ia pun menyiapkan promosi level manager untuk Rika pada bulan keenamnya bekerja. Ia berterima kasih kepada Pak Bos Eko “Terima kasih Pak, atas kepercayaan Bapak dan rekan rekan saya dapat sampai pada titik ini” sambutan singkat Rika pada pagi itu.
—-
Kedatangan Fani membuyarkan lamunan Rika. Sebelumnya ia terlihat menerawang jauh ke depan memandang lalu lalang pengunjung kedai kopi. Fani dan Rika rutin satu meja saat jam makan siang karena kantor mereka berdekatan dan berasal dari daerah yang sama.
“Rika! Masih siang hey udah ngelamun aja. Lu kayak kena mental breakdance aja!” Gertak Fani sambil memegang bahu sahabatnya.
“Fani!” Endus Rika kesal.
“Lagian lu kenapa? Habis dapat promosi bukannya makan makan malah overthingking”.
“Nggak tau nih. Gue seneng sih, tapi ya gitu doang. Terus whats next?” Tiba tiba Rika menitikkan air mata. “Ada yang kosong dalam diri gue, Fan”.
—-
Fani terdiam. Kali ini sahabatnya serius dalam bercerita. Seingat Fani, Rika memiliki hidup yang sempurna. Rika goodlooking, keluarga kaya, harmonis pula, pendidikannya bagus, karir oke, pacar juga ada. Apa karena pacar Rika?
“Bentar, lu kenapa? Lu ada masalah sama pacar?” Tanya Fani
“Gue udah putus bulan lalu. Tapi bukan karena itu Fan. Gue kurang inputan kayaknya” Jawab Rika.
“Kurang inputan gimana hei?” Fani mengajukan pertanyaan yang tidak benar benar dijawab Rika.
—-
Selepas makan siang, kebimbangan Rika belum mereda. Ia kembali ke mejanya dengan kurang semangat. Manager divisi lain, Mas Rehan, datang. Mas Rehan bekerja di sana sejak 5 tahun lalu. Seolah memahami, Mas Rehan langsung menegur Rika.
“Rik, kamu lho masih muda kok kelihatan lemah lesu lunglai lemas letih…”
“Mas Rehan pernah ngerasa kosong ga?” Potong Rika.
“Hahaha. Pernah” Jawab Mas Rehan singkat.
“Terus gimana solusinya Mas?” Tanya Rika.
“Nikah lah biar ada yang mewarnai hatimu. Kayak aku ini, istriku masak enak terus, anakku juga lucu lucu” Mas Rehan menjawab sambil tertawa.
“Mas, ini serius”. Rika memicingkan matanya.
Lalu Mas Rehan menjelaskan panjang kali lebar tentang dua kalimat pertama awal tulisan ini. Tentang memenuhi. Tentang harapan. Tentang orang lain.
—-
Penjelasan Mas Rehan membuat Rika mengingat- ingat. Apakah ia benar- benar totalitas untuk dirinya atau hanya untuk standar di sekitarnya? Mungkin Rika salah memaknai nasihat sang Ayah. Beliau memintanya serius karena ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Ia tidak boleh larut dalam beberapa tahun masa kontrak pekerjaannya sampai melewatkan puluhan tahun masa hidup sebelumnya dan keabadian waktu setelahnya. Melewatkan hidup dan tujuan penciptaannya.
—-
Mas Rehan menambahkan “Rika, kamu masih muda. InsyaAllah masih panjang jalan ke depannya. Sah sah saja kalau all out, ya memang harus all out. Tapi jangan lupa untuk terus mengisi dirimu. Jangan kosong”.
“Mas Rehan nyindir saya yang ga pernah piknik?” Rika sebal.
“Syukur deh kalau kerasa hahaha”.
“Mbak Nuri, istri Mas Rehan, pernah ngalamin kayak gini?” Tanya Rika penasaran.
“Gatau deh ya. Tapi walaupun dia ibu rumah tangga, Januari kemarin ambil kursus baking kue, Mei mau ikut kelas merajut hahaha”. Mas Rehan menjawab pertanyaan Rika dengan santai.
“Lah Dek Nova gimana Mas?” Tanya Rika.
“Sehat sehat aja. Kita bagi tugas kok. Aku seneng lihat istriku beli tas sendiri, kemarin dia gantian jadi yang ngisi pelatihan.” Mas Rehan melanjutkan jawabannya “Gini Rika, kamu bisa all out di semua bidang, tapi mungkin gaakan memenuhi semua standar. Take your time, take your part“.
—-
Rika sengaja meminta bantuan Fani hanya untuk mengingat hal- hal kecil yang sudah jarang Rika lakukan. Konyol memang, tapi untunglah Fani orang yang asyik.
“Rik, Lu udah ga sempat nyuci baju” Kata Fani. Mencuci baju adalah pekerjaan rumah favorit Rika dulu. Semua pakaiannya kini masuk laundryan.
“Astaga Fan, gue udah ga punya tanaman. Kaktus aja mati”. Tambah Rika. Padahal saat kecil Rika ingin sekali punya toko bunga.
“Rika, voucher diskon les Bahasa Jerman dulu belum Lu pakai!” teriak Fani. Ya, Rika melewatkan diskon kelas kursus bahasa Jerman, voucher yang ia peroleh saat menghadiri expo kebudayaan tahun lalu.
—-
Rika perlahan mendaftar apa saja yang mungkin ia lupakan, mulai dari lupa tempatnya menaruh botol minum milik Fani sampai lupa di mana tempatnya menaruh Al Quran. Ya Allah.. Tak terasa air mata menetes di pipi Rika.
TAMAT
mantaapp
Kerennnn