Akhirnya hari yang kunanti-nantikan itu datang juga.
Gadis manis itu mengundangku ke rumahnya untuk makan malam. Gadis manis yang bernama Julie, yang kukenal pertama kali ketika dia sedang duduk sendirian sambil menangis di pojokan taman kota.
Kala itu aku menghampirinya, jujur karena iba. Dia tampak sedih dan sendirian. Kutawari dia selembar tisu dan kutanya apakah dia baik-baik saja. Awalnya dia seperti menjaga jarak, namun lama-kelamaan Julie mulai membuka diri. Dan kamipun berkenalan.
Perkenalan itu lalu menjadi awal atas obrolan-obrolan lain yang lebih hangat dan dekat. Dia mulai sering curhat kepadaku. Mulai dari kekasihnya yang meninggalkannya karena wanita lain -alasan kenapa hari itu Julie menangis di pojokan taman kota-, hingga masalah pekerjaan yang membuatnya semakin tertekan. Sebagai pendengar yang baik, aku berusaha menghiburnya dan memberinya banyak saran. Rasanya, kami semakin dekat saja.
Dan Julie mengundangku ke rumahnya. Malam ini dia memakai dress merah dengan rambut panjang berombaknya yang digerai begitu saja. Benar-benar seperti malaikat. Aku bahkan sempat dibuatnya ternganga untuk beberapa detik.
“Aku sudah menunggumu. Ayo…keburu masakanku menjadi dingin.” Ajaknya menuju meja makan.
Di sana, di meja makan yang tak terlalu besar itu, sudah terhidang sepiring besar daging bakar, beberapa piring lainnya yang lebih kecil penuh terisi sayuran, dan tentu saja sebotol sampanye yang tampaknya berkelas.
Tak menunggu lama, kamipun segera memulainya. Kencan makan malam ini. Julie dengan sigap mengiris daging besar itu sambil meletakkannya di piringku. Setelah dia serahkan kepadaku dengan senyum paling indah yang pernah kusaksikan seumur hidupku, baru dia mengisi piringnya sendiri.
“Kau tampak lebih baik Jul. Bagaimana tentang pekerjaanmu itu?” Aku mencoba bertanya sambil melahap irisan daging pertamaku. Rasanya enak sekali!
“Aku keluar. Kau tahu, seperti yang sudah aku ceritakan padamu, aku harus bebas. Bahagia. Melepas semua beban yang menyiksaku selama ini.” Jawabnya sambil mulutnya sibuk mengunyah daging buatannya sendiri dengan lahap.
Aku berfikir, Julie ini wanita yang sempurna. Cantik, tegar dan pintar masak.
“By the way, Jul…aku harus memuji masakanmu yang satu ini.”
“Oh…terima kasih!” Dia tampak tersanjung dan tersipu mendengar pujianku.
Selanjutnya kami tenggelam dalam makan malam kami masing-masing. Menu makan malam ini mungkin adalah menu paling istimewa dan paling lezat yang pernah kurasakan. Ditambah lagi dengan seorang wanita cantik yang kini duduk tepat dihadapanku. Sekali lagi, sempurna!
“Oh iya, Jul…” Tetiba sebuah pertanyaan menyeruak dikepalaku. “Bagaimana kabar mantan pacarmu itu?” Aku mencoba untuk menggali sebuah informasi darinya. Kau tahulah maksudku…
“Dia? Aku tak akan pernah sedih karena bajingan itu lagi!” Jawabnya singkat sambil kembali memasukkan daging bakar itu ke dalam mulutnya.
“Oh ya?” Entah mengapa aku merasakan sebuah kebahagiaan. “Hehehe…memangnya di mana dia sekarang?”
Julie mencoba menjawab, tapi mulutnya masih terasa penuh. Dia berusaha menelannya terlebih dahulu sambil mengacungkan garpunya ke arahku.
Bukan…
Bukan ke arahku…
Tapi ke arah piringku…
“Kau pikir daging siapa yang sedang kau makan?” Jawabnya seusai sepotong daging besar yang tadi memenuhi mulutnya, berhasil dia telan seluruhnya.
Belum ada tanggapan.