Manusia es itu muncul begitu saja; satu per satu. Seperti dalam dongeng putri salju, mereka dingin dari kepala hingga mata kaki.
“Baca apa?” aku naik ke pangkuan Mus. Pada hari minggu Mus akan berada di rumah dari pagi hingga malam. Kadang-kadang dia bangun terlebih dahulu dariku, seperti sekarang, dan duduk membaca. Dia suka membaca sebenarnya, namun tidak banyak waktu untuk itu karena dia memiliki studio musik di suatu tempat yang jauh dari rumah. Dalam seminggu Mus lebih banyak berada di sana, dari pagi hingga malam, kecuali hari minggu.
“Bacaan yang tidak menarik.” Jawabnya, mengacak rambutku lalu menciumku. Bau tubuh Mus campuran antara tembakau, suatu minuman beralkohol dan parfum.
“Tentang apa?” tanyaku sambil menggosok puncak kepala ke dagu Mus.
“Manusia es.” Jawabnya.
“Manusia es itu yang bagaimana Mus?”
“Manusia es dulunya manusia biasa sebelum beberapa hal mengubah mereka menjadi dingin. Ada sebagian orang yang pernah terluka, di masa lalu misalnya, kemudian luka itu mereka bawa terus hingga ke masa kini. Perlahan-lahan luka itu akan mengubah mereka; mengeraskan hati, mendinginkannya seperti es. Mata manusia es bagai terbuat dari kaca, tidak elastis dan berwarna bening yang mati. Mulut mereka juga sangat dingin, saat mereka berbicara kau bahkan bisa melihat uang mengepul dari dalam rongga mulut lalu membeku tepat di depan bibir mereka.” Jawab Mus.
“Lalu bagaimana aku tahu mereka itu manusia es? Apa mereka bisa dilihat dari dekat?”
“Tentu saja. Manusia es tidak jauh beda dengan kita, hanya saja mereka memiliki hati yang dingin. Dan hati yang dingin bisa dilihat dari tatapan mereka yang dingin, senyuman mereka juga dingin, hingga kata-kata mereka diucap dengan dingin.”
Aku mencoba membentuk bayangan manusia es di kepala, tetapi tidak terwujud. Malah gambaranku berupa manusia biasa tanpa unsur es di dalamnya.
“Boleh kulihat gambarnya di majalah itu?”
“Tidak boleh.”
“Kenapa tidak boleh? Aku hanya mau tahu saja bentuk mereka macam apa.”
Mus tetap tidak menunjukan majalah yang dia baca. Dia menutup majalah itu lalu menyorongkannya ke bawah meja, ditengah buku-buku dan majalah yang lain.
Pikirku, wujud manusia dalam majalah tadi terlalu menakutkan untuk anak dibawah umur sehingga Mus tidak memperbolehkanku. Aku duduk diam di pangkuan Mus. Hangat napas Mus memuputi tengkukku.
“Eh, Mus. Apa kamu juga akan jadi manusia es suatu hari nanti?”
“Tidak, sayang. Kita saling menyayangi dan es tidak bisa terbentuk di dalam hati orang-orang yang dipenuhi cinta. Es tidak bisa bertahan di tempat hangat.”
Pada hari minggu berikutnya Aku menemukan Mus duduk di depan televisi, memutar kencang-kencang volumenya mengalahkan suara hujan. Di sampingnya duduk seorang pria, teman kerja Mus yang datang semalam untuk minum kemudian terperangkap hujan. Saat melihatku dia melambaikan tangan. Aku berjalan mendekat melewati lelaki temannya.
“Mus..”
“Sttt.” Dia menepuk paha supaya Aku naik ke sana seperti biasa.
“Nonton apa? Sekarang’kan minggu.”
“Aku tahu sayang, serial power ranger belum mulai.”
Aku duduk diam menatap tv, gelisah jika Mus berbohong dan aku harus melewati beberapa episode.
“Nonton apa sih?”
“Manusia es!”
“Masa?”
“Jangan cerewet.” Katanya, “Setiap hari minggu, mulai hari ini ada edisi khusus tentang manusia es selama 1 jam.”
Aku merebahkan kepala ke dada Mus sementara kedua lelaki itu membahas fenomena manusia es yang sedang melanda Jakarta. Kata laki-laki di sebelah Mus, sejak awal januari lalu, beberapa hari sesudah bunyi alarm pergantian tahun, isu tentang manusia es pertama kali merebak.
Kami menonton televisi sementara di luar masih turun hujan. Di televisi melalui kamera cctv, manusia es itu sedang duduk sendiri di tepi sungai; wajahnya dikaburkan, sungai di bawah kakinya juga terlihat samar. Terlihat hitam putih. Tampak gerakan patah-patah saat manusia es itu melemparkan sesuatu ke air, sebuah mata pancing yang hampir tidak terlihat.
“Apa dia memang manusia es?” laki-laki di sebelah Mus bertanya.
“Mungkin. Dari ciri-ciri, ya.”
“Cira-ciri yang bagaimana Mus?”
“Kalau mereka bilang manusia es pasti ada petunjuknya, bung.”
“Aku tidak benar-benar percaya kalau manusia es itu ada di sini sekarang. Di Jakarta.”
“Bukan hanya kau, bung. Tapi begitulah isu yang beredar.”
“Bisa jadi ada permainan politik. Televisi brengsek ini selalu saja mengalihkan manusia dari hal-hal penting ke sampah-sampah.”
“Namun, kalau memang isu ini ada benarnya kita harus merasa khawatir, bung.”
Ada jeda hening di situ, sebelum si lelaki bertanya.
“Apa aku terlihat frustasi, Mus?”
Aku menoleh ke arah teman lelaki Mus itu. Wajahnya kaku hingga ke bagian leher. Saat dia duduk, tubuhnya tinggi melewati kami berdua.
“Kita semua bisa frustasi, bung. Aku tidak mau berkomentar soal hal-hal semacam itu.” Kata Mus.
“Ya, betul sekali. Jika seseorang bisa membawaku ke puncak paling tinggi di sini maka Aku akan menunjuk dengan jelas-jelas siapa-siapa saja yang bisa masuk kategori manusia es serta siapa pun yang berpotensi masuk ke sana.”
“Mungkin kau benar. Mungkin kita semua bisa menjadi manusia es sewaktu-waktu.”
Terdengar lelaki itu mendecak.
Si manusia es di tv menarik mata pancingnya, seekor ikan hitam putih tampak menggelepar dalam kegelapan. Dia memungut tasnya dari atas tanah lalu melemparnya ke dalam sungai. Tiba-tiba si manusia es tidak ada lagi di dalam kamera.
“Dia kemana Mus?” aku mencari-cari keberadaan si manusia es di sudut-sudut gambar.
“Kau tidak lihat tadi ya? Dia melompat ke dalam sungai.” Jawab Mus.
Kamera sekarang memperlihatkan ikan yang menggelepar. Mus bilang manusia es ternyata tidak istimewa sama sekali; beritanya terlalu dibesar-besarkan seolah-olah mereka itu alien.
Lalu pria itu pamit pulang.
“Aku tidak suka dia.” Kataku kepada Mus. Aku lantas teringat sesuatu; Mus melupakan majalahnya di bawah kolong meja saat dia menyembunyikannya dariku minggu lalu dan aku sudah melihat gambarnya.
“Manusia es di majalahmu kenapa telanjang Mus?”
“Astaga.” Dia mendorong tubuhku ke depan dan menggapai tangannya ke bawah meja. Dia menemukan majalah itu di sana. Kami pergi ke dapur dan Mus membakarnya di atas tungku.
Dua minggu berikutnya berturut-turut setiap pagi hari minggu kami duduk menunggu edisi khusus manusia es. Edisi pada minggu ketiga bulan februari si manusia es berwujud seorang sopir yang membunuh majikannya. Saat ditangkap, dia mengatakan alasan pembunuhan terhadap majikannya. Katanya sudah bertahun-tahun dia dilecehkan oleh si majikan, menerima upah yang minim dan suatu waktu pernah dituduh mencuri perhiasan si majikan. Dia tersiksa, katanya, tetapi tidak bisa melawan karena sulitnya mendapat pekerjaan lain di kota. Pada suatu kesempatan, saat dia menjemput majikannya dari sebuah tempat pesta, dia mencekik leher si majikan di tengah jalan.
“Apakah anda tidak merasa takut setelah membunuh?”
“Tidak. Saya tidak memiliki perasaan apa-apa.” Jawabnya kepada pewawancara. Itu sebabnya dia masuk kategori manusia es.
Minggu keempat mengenai seorang ibu mencemplungkan bayinya saat terjadi banjir. Ceritanya saat terjadi banjir, si ibu sedang di dapur menggoreng tempe sementara bayinya di kamar. Si ibu dan si bayi tinggal berdua, wanita itu janda berusia dua pulahn tahun sementara bayinya baru sebelas bulan dan menderita kanker hati.
Dia sama sekali tidak sadar bahwa banjir sedang menggerebek kampung mereka karena selama ini tidak pernah terjadi. Lalu bayinya menangis keras. Pikirnya mula-mula adalah si bayi mengalami kesakitan akibat penyakitnya. Tetapi ketika dia ke sana, air sudah merembes di jendela kamar, masuk ke atas lantai dan menggenang; membasahi tempat tidur. Saat itu baru dia tahu bahwa para tetangga sudah naik ke atap-atap rumah sambil menyelamatkan barang-barang berharga. Si ibu ini kebingungan karena mereka tinggal seorang diri, dengan barang-barang berharga berupa televisi dan lemari pakaian. Pertama-tama yang dilakukan sang ibu adalah berpikir; bayangkan dia berpikir pada saat segenting itu. Dia mencari jalan bagaimana menyelamatkan ketiga-tiganya; televisi, lemari pakaian serta bayinya sementara banjir di luar semakin mengganas.
“Ah, ini pasti permainan politik.” Kata Mus kepada dirinya sendiri.
Kisah selanjutnya hingga tertangkapnya si ibu tidak dijelaskan secara rinci. Malah pembawa acara dengan tegas mengatakan; bukankah dia itu manusia es? Sungguh tega dan tidak punya hati. Kita tidak pernah tahu apakah si bayi terjatuh dengan sendirinya ke dalam banjir atau sengaja dicemplungkan si ibu.
Ilustrasi: google
Belum ada tanggapan.