“Selamat jalan, Matahariku!”
Gadis bertudung hitam itu masih tertunduk, menatap lamat-lamat tanah merah yang telah lama mengering. Tangannya menggenggam seuntai mawar putih, kemudian diletakkannya di atas pusara itu pelan-pelan, satu persatu. Wajahnya lebih sendu dari biasanya, terlihat gurat-gurat kesedihan masih tersisa di raut gadis yang baru saja menamatkan gelar sarjana itu. Mulutnya khusyuk merapalkan doa-doa yang diiringi titik-titik air dari pelupuk matanya. Hari ini gadis itu memutuskan untuk meninggalkan semuanya; kesedihan, kehilangan, sakit hati juga cintanya di pusara itu, dia akan memulai kembali hidupnya. Hidup yang jauh dari bayang-bayang kesedihan dan masa lalu, hidup untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang dari dirinya satu tahun terakhir.
***
“Nggak apa-apa kok Ma, kan cuma satu tahun, sekalian nambah pengalaman kan”, Ci berusaha meyakinkan ibunya bahwa keputusannya itu tepat.
“Tapi Nduk, kamu kan perempuan, mbok ya jangan jauh-jauh mengajar ke luar Jawa. Kan di dekat-dekat sini juga bisa, lagian nanti di sana kan belum tahu lokasinya seperti apa. Kalau berbahaya bagaimana? Bisa kurus Mama di rumah mikirin kamu nduk.” Ibunya menjawab dengan nada bercanda.
“Hehehe. Mama ini. Kan sebelum berangkat ada pelatihannya juga Ma, jadi bener-bener dilatih, disiapin buat kemungkinan medan terburuk nanti. Jadi nggak perlu khawatir, dari pemerintah kan tanggung jawab. Kesana niatnya baik juga to Ma, membagi ilmu. Insya Allah nggak ada apa-apa asalkan doa dan restu Mama ada buat Ci. Ya Ma ya?”, Ci merengek, memeluk Mamanya dari belakang, berharap mendapat restu untuk mengabdi satu tahun di negeri antah-berantah yang belum diketahui pasti lokasinya.
“Apa ndak lebih baik ambil S2 yang kemarin itu saja?”, Mamanya menoleh ke arah Ci yang masih memeluknya erat-erat.
“ S2 bisa nanti Ma, kalau yang ini kan belum tentu tahun depan ada. Ci kan juga pengen tahu luar Jawa itu seperti apa pendidikannya, budayanya, masyarakatnya. Masak tahunya cuma Jawa lagi, Jawa lagi.” Gadis itu melepaskan pelukannya, terduduk dengan kedua tangan yang menopang dagu.
“ Kan kalau S2 bisa ke luar negeri malahan nduk? Bagus malah, bisa melihat lebih banyak, lebih luas lagi.”
“ Iya sih Ma, itu cita-cita dari dulu. Tapi Ci pikir itu semua bisa nanti, mungkin setelah menikah nanti malah lebih asyik. Keluar negeri bareng suami. Hehehe. Tapi Ma, kalau yang ini Ci bener-bener ndak bisa ditunda, ini tentang janji Ci yang dulu Ma. Maaaa, ya Ma ya? Masak Ci jadi anak yang nggak menepati janji?” Ci berusaha mengeluarkan segenap jurus rayuan dan rengekan yang dia miliki untuk meluluhkan hati Mamanya. Dia harus berhasil pergi ke luar Jawa.
Sebenarnya ke luar Jawa merupakan bagian dari keinginan sekaligus janji yang Ci buat ketika awal masuk kuliah dulu. Setelah berhasil mendapatkan beasiswa penuh termasuk biaya hidup dari pemerintah, Ci bertekad untuk mengabdikan semua ilmu yang dia peroleh untuk negeri ini. Dan mengajar di daerah terpencil tentu adalah bagian terbesar dari janji itu, selain juga untuk memulai kehidupan baru, episode baru dalam hidupnya.
Setelah beberapa hari berusaha meyakinkan orang tua, terutama ibunya, akhirnya Ci berhasil mendapatkan izin untuk berangkat tepat satu hari sebelum jadwal karantina di salah satu pangkalan militer. Ci senang bukan main. Akhirnya mimpinya, janjinya akan terpenuhi. Terbayang olehnya anak-anak di daerah terpencil yang menunggunya di sekolah, tersenyum penuh keriangan yang akan membantunya berdamai, hati yang damai. Ya semua bayangan itu membuatnya selalu tersenyum akhir-akhir ini.
Tibalah hari membahagiakan itu, setelah dinyatakan lolos tes administrasi, tes online dan tes wawancara, Ci juga berhasil melewati masa 2 minggu karantina. Sekarang dia benar-benar sudah siap untuk satu tahun mengabdi di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Gadis muda itu ditempatkan di pedalaman Sulawesi Tengah, di sebuah kabupaten baru hasil pemekaran 3 tahun silam. Untuk satu kabupaten dikirim 57 orang yang disebar di beberapa kecamatan. Kebetulan Ci ditempatkan di sebuah desa sendirian, tanpa rekan.
Daerah tempat penugasan Ci termasuk cukup terpencil. Daerahnya tidak bisa di akses melaui jalur darat, harus naik kapal laut selama 5 jam dari pusat kabupaten. Juga listrik tidak tersedia 24 jam, hanya beberapa jam saja listrik dapat menyala dan itupun dari genset kecamatan. Kehidupan di sini tenang, damai, anak-anaknya penurut, pemandangan indah, juga ikan segar tiap hari. Suasana yang sangat cocok untuk memulai segala hal yang baru, dengan semangat baru.
Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Panggilan tidak disengaja di sebuah sosmed tepat saat hari ulang tahunnya itulah sebab-musababnya. Ya tepat hari itu, Ci ingat persis ada nomor baru yang melakukan panggilan ke akun media sosialnya. Dilihatnya foto profil dari nomor itu, tidak ada satupun ia kenal. Namun yang pasti, nomor itu adalah nomor dari salah satu rekan seperjuangannya karena di sana terlihat empat orang berbaju putih dan bercelana hitam, sama seperti dirinya saat berada di pangkalan militer dulu.
Dihantui rasa penasaran, akhirnya Ci tanyakan juga siapa gerangan nomor itu. Benar saja, itu adalah nomor rekan yang satu kabupaten dengannya. Nomor itu tidak sengaja memanggil nomor akun sosmed Ci, mungkin karena Ci wara-wiri membalas ucapan selamat ulang tahun di grup kabupaten. Akhirnya diketahui namanya adalah Danar, bukan rekan satu angkatan tapi kakak angkatan satu tahun diatasnya. Ditempatkan di kecamatan yang jauh dari kecamatan yang Ci tinggali sekarang. Setelah perkenalan singkat itu, percakapan pun berakhir.
Ci tak acuh saja dengan semua itu, dia bahkan hampir lupa siapa namanya. Sampai suatu hari seorang kawan baiknya, Tya, bercerita tentang nama Danar saat sedang ada rapat koordinasi satu kabupaten. Katanya Danar adalah anak yang di idolakan oleh sahabatnya di pangkalan militer dulu.
“ Eh, itu mataharinya Nana. Nana dulu ngefans lo sama Danar, sejak di karantina itu”, Tya melihat ke arah segerombolan anak laki-laki yang berjalan di depan kami.
“ Heee, matahari? Mana sih, terus kenapa?” Ci bertanya seadanya, berjalan pelan beriringan dengan Tya dan Via sambil asyik bermain dengan HP-nya.
“ Iya, matahari. Anaknya itu terkenal pinter dari dulu, makanya banyak yang suka. Nanti tak foto ah anaknya, baru aku kirim ke Nana biar dia iri. Hahaha” Tya terus saja membicarakan anak bernama Danar dengan antusias. Hal tersebut didengar oleh salah satu rekan laki-laki yang sekecamatan dengan mereka.
“ He Danar, ini lo temenku ada yang pengen kenalan”, Doni, laki-laki bertubuh gempal itu memanggil Danar yang berjalan beberapa langkah di depannya.
“Oooh, siapa?” Danar menoleh.
“Ini lo temenku”, Doni menjawab santai.
“ Eh, eh bukan-bukan. Temanku itu lo ngefans sama kamu.” Tya mencoba menjelaskan
“ Oo Nana. Iya iya. Oh ini Ci ya?” Pertanyaan Danar itu menyadarkan Ci dari HP yang terus dia utak atik selama perjalanan menuju cafe.
“ Iya, hello.” Ci melambai kecil, mulutnya kelu, hanya dua kata tak berarti itu yang bisa dia ucapkan. Jantungnya terasa luruh ke kaki, meninggalkan seluruh tubuhnya yang kaku.
Sejak pagi itu Ci menjadi semakin diam, lebih diam dan cuek dari biasanya. Bahkan ketika Tya mendekat-dekatkan HP-nya ke tubuh Tya untuk menfoto Danar diam-diam, dia sama sekali tak peduli. Dia hanya menatap jus melon yang sedang dia nikmati, tatapan kosong entah tertuju kemana. Tak ada yang menyadari hal tersebut, termasuk Tya dan Via apalagi Danar. Dia tentu tak akan peduli.
Belum ada tanggapan.