Sebagai sosok yang tak perlu diragukan lagi, Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, namun selama tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan arus pusaran sejarah.” Tentu pernyataan ini bukan tanpa sebab. Buktinya, karangan Pram masih lekat sampai sekarang, salah satunya Bumi Manusia yang telah difilmkan.
Agaknya, Pram ingin menegaskan bahwasannya menulis dapat dilakukan siapa pun tanpa mengenal ia guru besar, pedagang daging ayam atau petani. Terus terang, tulisan di media massa, baik fiksi atau non fiksi, amat jarang yang berasal dari kalangan pendidik terutama mereka-mereka yang berkecimpung di perguruan tinggi. Kalaupun ada, jumlahnya tak seberapa. Selebihnya, tulisan di media massa terhimpun dari beragam latar belakang.
Terdapat beberapa penyebab yang menjadi pemicu minimnya tulisan dari kalangan pendidik. Saya kira salah satunya karena kebiasaan sewaktu muda. Apabila selama menjadi mahasiswa, sang pendidik terbiasa menulis dan mengirimnya ke media massa, besar kemungkinan ia tetap mempertahankan rutinitas ini. Sebab, selama menjadi dosen, sudah pasti ia akrab dengan buku, jurnal, seminar dan diskusi. Ibarat gunung, telah tersedia sumber mata air yang harus dimanfaatkan.
Barangkali jua musabab selanjutnya karena ‘pamrih’ tulisan yang dimuat di media massa sangat sedikit dibandingkan menulis jurnal. Tentu tak menunjang guna menaikkan pangkat golongan. Tentu saja saya tak bermaksud menyudutkan dosen yang biar bagaimanapun juga mereka adalah seorang guru. Tetapi, soal menulis, saya kira mesti dilakukan siapa saja. Apa pun profesi yang digeluti, hendaklah menulis. Mengapa begitu? Karena menulis tak melulu soal materi. Menulis adalah terapi jiwa. Menulis adalah langkah untuk mengikat ilmu yang kita miliki.
Ada satu syair Imam Syafi’ie yang saya kira patut direnungi kembali. Sang Imam berkata bahwa ilmu itu ibarat buruan, dan tulisan adalah ikatannya. Maka, ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan jika setelah memperoleh binatang buruan, malah dilepas begitu saja.
Tentu ucapan Imam Syafi’ie ini benar adanya. Mengingat ingatan manusia sangatlah terbatas. Karenanya, untuk menjangkau apa yang berlalu, baiknya dengan menulis. Saya akui, sebagian orang menganggap menulis itu susah. Tetapi susah bukan berarti tidak bisa. Menulis yang menghasilkan kalimat renyah dan enak dibaca butuh latihan. Ia tidak serta-merta lahir secara instan. Ia datang dari bacaan yang kita kunyah tiap hari. Ia datang dari latihan menulis yang kita lakukan tiap hari. Tetapi, menganggap menulis itu sangat mudah, bagi saya terkesan sedikit takabbur. Bukan apa-apa. Aktivitas menulis yang tidak diiringi tekad kuat terkadang menghasilkan kebosanan. Berjam-jam di depan laptop. Lembar-lembar bacaan. Kadang menghasilkan sifat bosan yang apabila tidak disingkirkan akan kian berkecamuk.
Belum lagi ditolak media. Banyak penulis yang memilih berhenti di tengah jalan ketika puisi, cerpen atau opini yang ia kirim tak kunjung dimuat. Ada kalanya kita putus asa kala tulisan tak kunjung terpampang. Tak apa. Tapi jangan larut terlalu lama. Segeralah bangkit dan raihlah laptop atau bulpoin untuk menulis kembali. Percayalah, kita butuh waktu untuk mempertajam tulisan, memperkaya diksi atau kosa kata, dan pada akhirnya tulisan kita akan mejeng jua di media.
Oleh karena itu, milikilah mental baja sebab menulis sangat butuh keuletan. Ia butuh tahan juang untuk terus membaca, mencari ide dan gagasan. Barangkali akan timbul pertanyaan, apa guna menulis jika harus mengalami proses panjang nan terjal begitu?
Jawabannya karena di sekitar kita tertaburi banyak masalah. Kala orang-orang atas tertawa ria ditangkap KPK, sedangkan di pelosok sana ada orang yang terseok-seok mengais sampah demi sesuap nasi. Fakta ini adalah jalan bagi kita untuk menuangkannya dalam tulisan. Bisa jadi dengan tulisan yang kita hasilkan, justru mampu mencerahkan sebagian orang.
Belum ada tanggapan.