Wanita muda itu terus memetik gitarnya di depan sebuah toko butik. Berharap kan ada hasil ngamen yang bisa menopang perut laparnya malam ini. Apa daya, hampir beberapa jam berlalu, tak jua kotak ngamennya terisi oleh jumlah uang yang bisa di pakai membeli sebungkus nasi. Ia tak menyerah. Kembali di petik gitarnya dengan menyanyikan lagu berjudul ‘Melati.’
Ia adalah Intan. Dulu dirinya punya seorang anak bernama Melati. Namun, Melati telah pergi jauh sejak beberapa tahun silam. Tak ada yang spesial ditinggalkan Melati untuk Intan. Hanya secarik kertas bertuliskan: “Ibu, aku merantau jauh ke tempat yang tak ingin kuberitahukan kepadamu. Ingatlah, jangan khwatir. Ini takkan lama. Salam: Melati.” Begitulah setidaknya kenangan yang coba diingat Intan, selagi dirinya melantunkan lagu ‘Melati’ di depan toko butik.
“Mengapa Melati?” Nyanyian Intan meninggi seiring perpindahan kunci gitarnya. Ketika dirinya akan melanjutnya lagu itu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya. Tepukan itu berasal dari seorang kakek pemilik toko butik.
“Sudahlah. Jangan terus kau nyanyikan lagu itu. Kau pikir nadanya bagus?” Kata kakek pemilik toko butik. “Kau inginkan bunga melati? Pergilah ke toko bunga dan mengamenlah di sana.” Bentak kakek itu.
Intan hanya terdiam dan mengenggam erat gitarnya sambil berjalan pergi meninggalkan toko butik. Akan tetapi, sangat tak mungkin dirinya memutuskan ngamen di depan toko bunga yang disarankan Kakek pemilik toko butik. Sebab, sudah pernah sekali ia melakukan hal itu, tetapi di usir oleh pemilik toko. Entah harus kemana, ia tak tahu. Dirinya hanya terus berjalan menelusuri sudut-sudut kota yang diterangi lampu-lampu jalan. Ia tak peduli. Demi perut laparnya, dirinya harus berusaha mencari rezeki. Bertempur dengan pekatnya malam dan dinginnya kota.
Saking kuatnya sosok Melati menghantui pikiran, Intan tak sadar bahwa dirinya sudah berjalan cukup jauh. Hampir sampai di batas kota yang di larang adanya pengamen. Ia pun berhenti, memandang sekitarnya, dan matanya tertuju pada warung jalanan yang berjejeran di sepanjang jalanan kota. Kemudian, ia memasuki salah satu warung dan kembali melantunkan lagu ‘Melati.’
Tak jauh berbeda pun tak jauh berupa. Lantunan lagu kebanggaan Intan kembali dihentikan. Bukan dihentikan oleh pemilik warung, tetapi oleh seorang tamu yang sedang makan.
“Lagu siapakah itu?” Tanya seorang tamu pria. “Jarang terdengar.” Tambahnya.
“Laguku.” Jawab Intan sangat singkat.
“Apa yang terjadi dengan Melati?” Kembali rasa penasaran tamu pria tersebut membuatnya melayangkan pertanyaan.
Intan tidak menjawab. Dirinya hanya terdiam dengan menunjukkan ekspresi bertanda tak mau terus ditanyai tentang Melati.
“Oh, maaf. Baiklah.” Tamu pria itu berhenti bertanya sambil memberi recehan lima ratusan kepada Intan.
Bagi Intan, lima ratusan cukup berharga. Tinggal ditambah beberapa recehan lagi, atau kalau mujur, di tambah beberapa uang kertas seribuan, maka dirinya sudah bisa menikmati makanan angkringan yang terus membayangi pikirannya. Semangatnya kembali menyala. Ia mengamen dengan berpindah dari satu warung ke warung lainnya. Sampai dirinya berhasil mengumpulkan lima belas ribu rupiah. Tanpa berlama-lama, ia memutuskan pergi ke angkringan yang juga bagian dari jajaran warung-warung jalanan tempatnya mengamen.
Di angkringan, Intan melepas lelah. Belum sempat ia memesan makanan, seorang wanita yang merupakan pelayan di angkringan itu, langsung memberikan sebungkus nasi dengan lauk pauk secukupnya.
Sepertinya, wanita pelayan angkringan itu sudah sangat tahu makanan yang disukai Intan. Selanjutnya Intan hanya memandang sebungkus nasi yang sudah siap disantap dihadapannya. Akan tetapi, sesaat kemudian responnya berubah. Ia berdiri dan berjalan mendekati wanita pelayan angkringan itu secara perlahan-lahan. Dan semakin dekat dirinya melangkah, semakin ketakutanlah wanita pelayan angkringan tersebut. Meski begitu, Intan tidak peduli. Dirinya terus mendekat sampai benar-benar tak ada jarak yang begitu jauh diantara mereka berdua. Wanita pelayan angkringan itu pun semakin ketakutan. Kemudian, ia berteriak keras meminta tolong karena Intan mencoba untuk memberi sebuah pelukan. Intan memeluk dengan kasar sambil memberikan goyangan ke kiri dan ke kanan. Apa daya, wanita pelayan angkringan itu tak bisa berbuat banyak karena memiliki postur tubuh yang kecil.
Teriakan keras tersebut membuat banyak orang yang mendengarnya berlarian menuju angkringan. Wanita pelayan angkringan sudah didapati tertunduk takut diantara bangku-bangku angkringan. Di sampingnya, terlihat ada sebuah garpu dipenuhi darah. Dan di depan wanita pelayan angkringan itu, terlihat Intan sudah tergeletak bersimbah darah di tanah.
“Apa yang telah kauperbuat Melati?” Tanya seorang warga terhadap pelayan angkringan itu.
“Dia mendekatiku dengan memegang garpu, dan kemudian memelukku dengan kasar” Jawab Melati.
***
Intan sudah terbangun dari ketidaksadarannya akan masa lalu. Ada begitu banyak masa lalunya bersama Melati yang tidak diingat persis olehnya. Apalagi tentang perbuatannya terhadap Melati di angkringan. Ia samasekali tak mengingat apa yang telah diperbuatnya saat itu.
“Benarkah aku hampir membunuhnya?” Tanya Intan kepada seorang perawat kejiwaan.
“Ya, tetapi Melati memutuskan untuk menyerangmu lebih dahulu.” Jawab seorang Perawat Kejiwaan. “ Saat ini kau sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Melati hanya menitipkan surat ini saat kami membawamu ke sini.” Kata Perawat kejiwaan itu sambil memberikan sepucuk surat kepada Intan. “Kau sudah bisa pergi dari sini dan jalanilah hari-harimu dengan baik.” Tambahnya.
Intan hanya bisa kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh Perawat Kejiwaan tersebut. Ia hanya menginggat bahwa dirinya sungguh menyayangi Melati sebagai anak tunggalnya. Dirinya selalu mengantar Melati berbelanja ke pasar, menemani Melati memasak, hingga mencarikan pasangan buat Melati. Namun, tentang kejadian yang terjadi di angkringan, samasekali tidak diketahuinya. Kejadian itulah yang membuat Melati benar-benar sadar bahwa Intan perlu ditangani oleh ahli kejiwaan.
Sekarang Intan mencoba untuk menjalani hidup barunya dengan mengamen. Setiap hari, dirinya bernyanyi dari satu tempat ke tempat lainnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan tak lupa, lagu berjudul ‘Melati’ selalu menjadi lagu kebanggaannya. Dirinya belum bisa sepenuhnya ikhlas dalam melepaskan kepergian Melati ke tempat yang tidak diketahui.
Tak ada yang spesial ditinggalkan Melati untuk Intan. Hanya secarik kertas bertuliskan, “Ibu, aku merantau jauh ke tempat yang tak ingin kuberitahukan kepadamu. Ingatlah, Jangan kau khwatir. Ini takkan lama. Salam: Melati.” Begitulah isi surat yang telah menginspirasi terciptanya lagu ‘Melati.’ Dan juga telah menjadi penyemangat bagi Intan saat mengamen untuk mencari rezeki.
***
Malam ini, Intan mengamen di depan sebuah toko butik. Berharap kan ada hasil ngamen yang bisa menopang perut laparnya. Apa daya, hampir beberapa jam berlalu, tak jua kotak ngamennya terisi oleh jumlah uang yang bisa di pakai membeli sebungkus nasi. Ia tak menyerah. Kembali di petik gitarnya dengan menyanyikan lagu berjudul ‘Melati.’
“Mengapa ‘Melati’?” Dirinya bernyanyi dengan nada yang tinggi dipenuhi kekecewaan.
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.