Tak ada kopi, mimpi buruk ataupun gunungan tugas yang menyebalkan. Tapi aku masih terjaga, diam dengan lorong panjang yang kosong tergambar jelas di kepala.
Haruskah kuisi cangkirku? Abaikan saja. Hey, biarkan aku melihat diriku saat bertingkah layaknya orang gila. Seburuk itukah? Mana yang kau suka? Eve? Roarke? Without rules, chaos or with chaos, life?
Semua teriakan, pertanyaan, makian dan keluhan itu mulai melingkari kepalaku. Aku merapatkan selimut saat gerutuan itu justru semakin keras dan membentuk pusaran luar biasa besar. Garis hitam dan putih beredar menjadi satu dan memelintir tubuhku untuk masuk ke dalamnya.
Aku mendekati sebuah rumah kecil serupa pondok. Matahari tak bersinar di sini, meskipun langitnya membiru. Aku tak tahu, apakah ini siang tanpa matahari atau malam tanpa gemintang. Sebatang pohon Maple besar teronggok di sana, tepat di sampingnya adalah ayunan sederhana dari ban bekas. Lalu kulihat samping rumah dan sekitarnya, rumah ini berada di hamparan padang dandelion. Bahkan beberapa beterbangan terbawa angin lembut yang dingin.
Ini bukan mimpi, akupun masih mengenakan gaun tidurku. Gaun putih panjang kusam dan sebuah syal hitam. Kakiku bahkan telanjang dan mulai menikmati sensasi tanah segar di dunia ini. Angin sesekali berhembus, menghempas rambut ekor kuda yang terikat berantakan hasil kegusaranku di atas bantal. Tempat apa ini?
“Halo?”
Derit pintu menuntun langkahku memasuki ruang penuh kenangan yang kini terbungkus debu. Pertanda bahwa keberadaannya kini tak terurus. Kutemui seorang gadis cilik yang tengah bergelung dalam lindungan selimut tebal. Bertarung dengan dinginnya dinding. Secercah cahaya dari perapian menerangi wajah polosnya. Aku seolah berkaca saat mataku bertemu matanya.
Dia bangkit dari sofa reot dan berjalan kearahku dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelum air matanya meluncur, aku segera menghampirinya dan menghapus air mata itu.
“Mengapa kau menangis?”
“Aku menangis karena kulihat sebuah kenangan yang perlahan terlupakan. Bagai sehelai daun yang layu, gugur hingga terhempas ke atas tanah, kering dan hancur. Aku membencinya.”
“Tapi tak ada yang abadi, begitu pula dedaunan hijau yang lebat. Suatu saat nanti mereka juga akan gugur dan tergantikan oleh tunas baru yang menjaga kelangsungan hidup si batang pohon. Mereka berkorban untuk kehidupan yang lebih panjang. Kau tahu berapa umur pohon di halaman rumah ini?” tentu saja dia menggeleng, pertanyaan konyol. Akupun tak tahu. Jauh sebelum aku kemari, dia sudah di sana. Jadi aku juga tak bisa menerka berapa banyak daun yang sudah berguguran untuk kehidupan pohon sebesar itu.
“Aku benci daun yang gugur. Aku benci musim gugur, aku benci pohon yang melupakan daunnya sendiri. Aku benci melihat dedaunan itu terlupakan begitu saja. Aku benci kenangan.”
“Hey, kau tak bisa menganalogikan kenangan dengan dedaunan yang gugur.”
“Apa bedanya, mereka sama saja,” gadis keras kepala, pikirku.
Dia menatapku semakin sinis dengan hujaman mata yang begitu tajam. Matanya begitu jernih hingga aku dapat menangkap bayanganku sendiri dalam bingkaian bola matanya yang coklat. Tiba-tiba aku baru saja menarik sebuah kenangan dari tatapannya juga pemikirannya. Seolah dia dan aku pernah terikat satu pemikiran yang sama. Aku merasa pernah berada dalam posisinya saat ini. Ketika aku membenci dedaunan yang gugur dan terlupakan.
“Saat musim panas, pepohonan akan menggugurkan daunnya. Semakin banyak yang terbuang, akan semakin lama dia bertahan. Tapi manusia bukanlah sebatang pohon. Semakin banyak kenangan yang tersimpan akan membuatnya semakin kuat menjalani hidup. Bahkan jika kenangan dalam dirinya kosong, dia akan kosong pula. Dia akan menderita.”
“Tapi kau tidak begitu, kau menyembunyikannya. Kau terluka karena sebuah kenangan dan kau menyembunyikannya. Karena kenangan itulah kau kembali ke tempat ini. Ruang yang sudah lama kau tinggalkan. Lalu mengapa kau kembali jika kau datang hanya untuk lari?”
“Aku tidak lari, aku hanya merindukan sebuah kenangan. Itulah yang membuatku datang kemari.”
“Aku mengingat mereka yang terakhir kulihat berkumpul di sini. Mereka juga melakukan hal yang sama padaku, aku masih ingat kata mereka. Hingga kini yang tersisa hanyalah duka saat mereka tiada. Mereka pergi setelah melepas janjinya.”
“Siapa?”
“Aku masih ingat yang diucapkannya: I’ll never let you go. Lalu saat itu aku hanya bisa merengek sambil membalas: don’t leave me here alone.”
“Kata yang indah,” dia tersenyum kecut tanpa menatapku.
“Kau pun tahu itu begitu indah. Tak seindah kalimat terakhirnya.”
“You’ll be alright, no one can hurt you now,” sahutku spontan.
“Siapa kau? Mengapa kau mampu mengulang kenangan itu dalam kalimatmu. Siapa kau?” dia bergerak mundur menjauhiku. Bahkan kini lambaian tanganku tak mampu menggapainya.
“Akupun tak tahu. Aku masih mencari tahunya, siapa aku dan mengapa aku memasuki rumah ini. Seolah ada yang menarikku untuk kembali. Kumohon jangan lakukan itu padaku, aku benci sendiri…”
“… dan aku tak mau sendiri,” sambungnya.
Aku masih tak mengerti dengan gadis cilik itu. Dia semakin jauh dariku dan sebanyak apapun aku mencoba menggapainya, dia selalu menjauh. Apa yang terjadi? Mengapa terasa begitu menyakitkan? Haruskah kupanggil seseorang bernama Zack untuk mengatakan siapa aku dan mengapa aku di sini? Aku bahkan tak mengingat Zack, yang kuingat darinya hanya uluran jemarinya saat dia membersihkan sarang laba-laba yang menyangkut di rambutnya. Juga teriakanku yang terkejut saat melihatnya muncul dari kedalaman rumah tua ini. Itu sudah lama sekali, sangat lama.
Saat terakhir kami saling mengucapkan rindu, dan menerbangkan impian kami bersama di padang dandelion. Hingga gugurnya daun Maple mengantar kami ke gerbang kehidupan masing-masing.
“Mungkin berat juga melelahkan bagimu untuk mengingatku, tapi ini sebenarnya sangat mudah. Aku sangat dekat denganmu, bahkan lebih dekat dari bayanganmu sendiri. Aku ada dalam dirimu, aku selalu bergelung dan meringkuk sendiri di sana. Ruangan ini seperti dirimu saat ini, kosong, dingin, berdebu, tak terurus. Semua deskripsi rumah ini adalah gambaran dirimu sendiri.”
“Lalu kau?”
“Aku hanya bagian kecil dari dirimu yang mulai kau lupakan. Aku sehelai daun yang rela gugur agar kau dapat bertahan. Aku yang perlahan mulai pergi darimu dan kehidupanmu yang kini penuh logika. Terakhir kau keluar dari kenangan ini, kau menciptakan tembok tebal yang sangat kokoh. Aku bahkan tak bisa menyentuhnya sama sekali.”
“Dinding?”
“Kau menciptakannya atas kebencianmu sendiri. Kau membenci hati kecilmu dan berniat mengosongkannya. Kau membuatku terkurung sendiri, kau jauh lebih banyak melangkah dengan logikamu, dengan perhitungan di kepalamu. Kau melupakanku dan aku mulai menyadarinya ketika kau meniup lilin bertuliskan angka 18. Kini kau nyaris dua puluh, hampir dua tahun kau membiarkanku di sini kedinginan.”
“Kau adalah aku?”
“Awalnya aku tak mengerti, setelah pembicaraan awal tadi aku mulai menyimpulkan dan aku tahu bahwa kau adalah orang yang ingin kutemui. Hanya ada satu orang yang ingin kutemui dalam kisah ini. Dia adalah kau, aku selalu memimpikan saat aku menemuimu dan mengatakan semua ini.” Aku mengulurkan tanganku dan jemari kami berdua saling terpaut. Aku mengamati jemari kecilnya yang mulai memudar tapi tidak dengan senyumnya.
“Kumohon kali ini selamatkan aku. Aku tak mau sendiri.”
“Tentu, karena akupun benci untuk hidup sendiri. Aku berjanji, aku akan selalu menjagamu dalam hatiku,” aku membenamkannya dalam pelukan sebelum ia segera keluar dari rengkuhanku.
“Jangan putus asa. Hidupmu indah, kau tinggal menjalaninya saja. Pilih juga jalan yang indah bagimu, aku percaya kau tak akan meninggalkanku lagi, Mina.”
Kring…. Kriiing …
Aku tersentak, jantungku berdebar kencang dan segera aku menyambar cangkir air putih di atas meja samping tempat tidurku. Apa yang baru saja terjadi?
Angin berhembus sepoi menerbangkan tirai kamarku dan menyingkapnya, membuka ruang bagi cahaya matahari untuk menyapaku. Gadis kecil itu? Matahari pagi ini, adalah semangatku. Saat aku bangkit, laptopku masih menyala dengan sepenggal kalimat tertulis di salah satu sticky notes berwarna pink.
“Jangan putus asa. Hidupmu indah, kau tinggal menjalaninya saja. Pilih juga jalan yang indah bagimu, aku percaya kau tak akan meninggalkanku lagi, Mina.”
Aku tersenyum membacanya. Aku memang bertemu denganmu rupanya, ini bukan mimpi. Satu lagi keajaiban pagi ini, ada yang mengirimiku secangkir kopi panas yang masih mengepulkan uap. Thanks for your coffee morning, -terima kasih untuk kopinya, gadis cilik.
Belum ada tanggapan.