Lagi, aku melihatmu berdiri diatas batu itu, mengamati jernihnya air itu, dan kapal yang berlayar di Semenanjung Skandinavia. Diam, dan hanya diam mengamati. Aku sengaja datang kali ini, setelah sebelumnya aku berhasil mengenalmu dengan berpura-pura membutuhkan pertolonganmu. Aku berusaha memanjat batu tempatmu berdiri.
“Hai. Tak kusangka kita bertemu lagi. Kau sedang apa?” Tanyaku berharap kau masih mengenaliku
“Apakah kau butuh pertolonganku lagi?” Tanyamu membalas dengan sedikit senyum. Terbentuk sedikit lesung pada pipimu. Manis sekali. “Aku sedang menunggu” Lanjutmu sambil memperhatikan gumpalan salju di gunung itu.
“Haha tentu saja tidak, menunggu siapa?” aku bertanya kembali.
Kau tidak menjawab, hanya melihatku dengan senyum yang agak sedikit kau paksakan (namun tetap manis sekali). Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaanku dan menemanimu menunggu sambil menikmati indahnya Skandinavia siang itu.
Jam di tangan sudah menunjuk angka 4 sore. Itu berarti sudah hampir dua jam lamanya aku menemanimu menunggu. Tidak jelas apa yang sedang engkau tunggu. Sudah beberapa kali aku mencoba menanyakan hal itu. Namun kau tetap menjawab dalam diam. Diam dan hanya diam sembari melihatku dalam-dalam.
Butiran air yang berkilauan mulai turun membasahi permukaan. Gumpalan awan hitam yang sedari tadi datang sudah berkumpul menutupi cahaya matahari, dan tak bisa lagi ditahan oleh langit yang membentang. Hujan pun turun dengan riang.
“Apakah kau menunggu hujan?” tanyaku pelan.
“Tidak, aku menunggu seseorang.” Jawabmu lirih seolah ada rasa letih yang teramat pedih.
Mungkin, ini kali pertamanya kau membuka mulutmu untuk menjawab pertanyaanku. Walaupun dengan suara lirih dan secepat kilat engkau menjawabnya, namun setidaknya kau telah menjawabnya, dan rasa penasaranku tentang sesuatu yang kau tunggu sudah dapat kusingkirkan dengan jawaban darimu.
Aku khawatir, karena jika kau hanya sedang menunggu hujan turun, hal itu hanya buang-buang waktu saja. Hujan bagiku hanya fenomena alam yang biasa saja. Dimulai dari air yang menguap menjadi uap-uap air yang kemudian membentuk awan, hingga membentuk sekumpulan awan hitam yang kemudian hingga titik jenuhnya ditumpahkan segala airnya.
Tapi syukurlah kau tidak sedang menunggu hujan. Lantas siapa orang yang sedang kau tunggu? siapa orang yang dengan tega membuatmu menunggu sampai pada titik yang paling beku. Seperti hujan yang menetes ke dedaunan yang rimbun. Seperti embun yang bertengger sendiri di pucuk daun itu.
Rasa penasaranku kian lama kian membesar. Seperti gerimis yang semakin lama semakin turun dengan deras. Dalam hatiku ingin kutanyakan sekali lagi kepadamu. Walaupun aku ragu engkau akan menjawabnya. Namun aku rasa aku sudah tak mampu menahannya.
“Siapa sebenarnya yang kau tunggu?” tanyaku pelan dengan penuh kehati-hatian.
Kau menoleh kearahku, sorot matamu menatap mataku. Tajam, tajam sekali. Sampai tanganku sedikit gemetar. Namun masih dalam diam. Diam, dan hanya diam, seolah-olah kau tidak mendengarku.
Sampai pada akhirnya, aku hendak meninggalkanmu, kulihat bibirmu sedikit terbuka, kelopak matamu agak berkaca-kaca, dengan suara yang teramat lirih, hingga aku harus benar-benar memperhatikan. Kau berkata:
“Aku sedang menunggu seseorang yang membaca cerita ini. Dengan puisinya yang selalu membuatku rindu, dengan tutur katanya yang syahdu. Yang telah tega membuatku menunggu, menunggu sampai jiwaku membeku. Dan sekarang aku baru tersadar, bahwa Ia adalah nyata, sedangkan kau dan aku hanyalah karangan fiksinya, yang tak akan mampu menjadi nyata di dalam tulisan-tulisannya.
Belum ada tanggapan.