Meski sungkan aku terpaksa pulang, ke rumah Ibu, dan ke ruma Ayah. Sudah sejak lama aku tak pernah lagi merasa ada tempat yang layak untuk kusebut sebagai rumah. Sebuah rumah yang diisi dengan kasih sayang, kehangatan, tawa riang yang di dalamnya hanya ada Aku, Ibu, dan Ayah. Bukan Ibu dan Om, bukan Ayah dan Tante. Sungguh aku enggan pulang, enggan mendengar keluhan Ibu tentang Ayah dan keluhan Ayah tentang Ibu. Jengah melihat laki-laki yang bersama Ibu, karena dia bukan Ayah. Jengah melihat perempuan yang bersama Ayah, karena dia bukan Ibu. Tapi aku tetap harus pulang. Ritual ini kusebut “Ramah tamah” Demi adab, demi sopan santun. Meski jengah, meski enggan. Karena aku adalah anak sudah seharusnya seorang anak menjenguk orang tua, meski hanya datang dan diam, aku tak lagi punya selera untuk berbicara, terlebih lagi tertawa riang, semuanya menjadi dingin, kaku, membeku, tak ubahnya es batu dalam kulkas. Aku tetap harus pulang, demi cintaku pada Ibu, demi cintaku pada Ayah, meski diam, meski dingin, sunyi. Dan harus tetap pulang, meski perempuan yang bersama ayah bukan ibu. Dan laki-laki yang bersama ibu bukan ayah. Pulang aku harus pulang.
****
“Hai kamu sudah datang sayang, kita makan siang bareng ya, hari ini ibu masak makanan kesukaan kamu” Senyum Ibu melebar di atas lipstick merah marun koleksinya, dia bilang lipstick itu hadiah dari Om Robert yang dibeli dari Swiss. Aku muak dengan warna lipstickmu Bu. “Saya tidak lapar” Sambil memasang headset ke telinga, meski tak kunyalakan musik dari ponselku, aku hanya pura-pura mendengarkan musik, aku enggan berbicara dengan Ibu lebih lama, aku tahu Ibu tidak menyukai kalimat ‘Saya’ Terlihat jelas Ibu sedang menahan kekesalan, sambil menarik nafas dia berlalu meninggalkanku, langkah Ibu tergesa menuju kamar, aku tahu dia pasti menangis, meluapkan kekesalannya, pada bantal, pada kasur, juga Om Robert. “I her mom” Isak Ibu, “Ok honey I know, don’t cry, you have me ” Aku muak dengan suara Om Robert yang terdengar seperti kaset kusut di telingaku. Aku masih tertegun dengan headset yang menyumpal gendang telingaku ketika ibu bilang “Dia menganggap saya orang lain, dia tidak pernah mendengarkan saya” Kau salah, Bu. Suaramu terdengar jelas menusuk gendang telingaku, aku tidak pernah memutar musik dari ponselku, aku hanya menyumbatkan headset ke dalam telingaku, aku malas berbicara, beramah tamah, semuanya hanya klise, meski kuakui aku pulang karena aku mencintaimu. Kau tahu, Bu. Hatiku pun sakit mendengar suaramu dan laki-laki itu. Akhirnya yang kudengar hanya suara cicit, persis tikus, desahan halus dari kamar Ibu, aku muak! Aku pergi, kembali pada sepi, selamat tinggal Bu, nikmati harimu dengan laki-laki itu.
****
Bunga-bunga di sini lebih banyak dari bunga yang ada di rumah Ibu, ada kolam dengan ikan mas yang berwarna merah kekuningan, aku pernah berpikir apakah ikan-ikan itu juga hidup satu keluarga, punya Ayah punya Ibu, atau mereka pun punya dua Ayah dan dua Ibu sepertiku, “Tidak!” Aku hanya punya satu Ayah dan satu Ibu, “Sial” Aku tak pernah punya jawaban, kenapa aku harus memanggilnya Ayah? Kenapa aku harus memanggilnya Ibu, apa karena Dia menanam benih di Rahim Ibu lantas aku harus memanggil Dia Ayah? Atau karena aku lahir dari rahimnya dan aku harus menyebutnya Ibu? Mereka menanam benih, kemudian lahirlah aku, lalu kenapa mereka berpisah? Aku tidak percaya mereka saling mencintai kemudian melahirkan aku, dan sekarang bersekongkol menyiksa batinku, atau memang mereka tidak pernah mencintai satu sama lain? Tidak sengaja menanam benih, dan tidak menghendaki kelahiranku, mungkin aku lahir dari Rahim yang salah? Dan masihkah aku harus menyebut mereka Ayah dan Ibu, rasanya lebih baik aku lahir dari batu, tak perlu beramah tamah, meski aku tidak tahu betapa sakitnya menjadi batu. “Kok ngelamun di sini? Ayah nunggu kamu di meja makan” Dan wanita itu haruskah aku memanggilnya Ibu? “Bagaimana kuliahmu?” Hanya basa basi, aku tahu Ayah tidak pernah perduli, tentang kuliahku bahkan ketika Guru BP mengirimkan surat ke rumah, karena tingkah lakuku yang buruk di sekolah, atau mungkin Ayah tak pernah menerimanya karena surat dikirim ke alamat Ibu, lima tahun lalu waktu aku masih SMA. “Biasa saja” Begitu datar begitu dingin, aku tahu kau menahan marahmu Yah, namun aku sudah terbiasa acuh. Kau pikir hanya kau yang bisa marah, aku pun sangat marah, meski entah marah untuk apa, untuk perceraian kalian atau karena kalian melahirkan aku. “Hari ini kamu menginap di sini ya sayang, Bunda siapin kamar buat kamu” Hah! Bunda? Lelucon apa ini, aku tak pernah keluar dari rahimmu, jangan perlakukan aku seperti itu. “Tidak usah Tante, saya pulang ke kosan” Wanita itu berhenti memasukan makanan ke mulutnya. Apa harus aku menerimanya sebagai Ibu sedang aku begitu membenci Ibu yang melahirkan aku lewat rahimnya, ‘Durhaka’ apa hanya anak yang durhaka kepada orang tua, dan kenapa orang tua selalu benar meskipun mereka menelantarkan anaknya?. “Sudah lima tahun kamu masih memanggilnya Tante” lima tahun pula aku terpuruk dalam sepi, sendiri, tanpa Ibu, tanpa Ayah, karena aku tidak pernah mau tinggal bersama salah satu dari mereka, aku memilih sendiri menikmati sepi. “Saya pulang” Aku bergegas tanpa menunggu ayah bicara, memberi izin atau mengucap “Hati-hati di jalan” Mungkin Ayah memang tidak akan pernah mengatakan apa pun dan aku sangat enggan mendengar apa pun. Maaf, Yah. Aku masih marah, terlalu lelah dengan basa-basi, kau tahu, Yah. Karena mencintaimu aku pulang meski marah.
****
Dalam hingar bingar pusat pertokoan, penglihatanku mulai buram, ketika orang berjalan seperti bayang-bayang, tak dapat kurasan pijakan kakiku yang menginjak tanah, pandanganku semakin buram, aku limbung, “Bangun Yang, Mayang bangun” aku sempat mendengar orang-orang berteriak, entah itu suara teman-temanku atau suara orang-orang yang kebetulan hanya lewat di tempat itu, yang jelas bukan suara Ayah dan Ibu. Sempat kurasakan seseorang mengguncang bahuku, sebelum semua menjadi gelap.
****
Lamat-lamat aku mendengar suara tawa, seperti tak asing, tawa bocah perempuan, sesaat aku melihat cahaya putih seperti lorong, tawa itu berasal dari lorong cahaya, aku berjalan ke arah cahaya, aku melihat wajah ibu dan ayah, mereka nampak sangat bahagia, seorang bocah perempuan berlari dan tertawa riang di sekitar mereka. Itu aku, aku melihat diriku. Diriku ketika sepuluh tahun lalu, waktu ayah dan ibu masih bersatu, aku pernah bahagia, aku pernah tertawa, aku melihat senyumku yang sudah hampir aku lupa. Aku berlari ingin memeluk Ayah dan Ibu, aku berlari terus berlari, namun aku seperti berjalan di tempat, mereka begitu sulit aku gapai hingga datang sinar yang menyilaukan mataku. “Adik sudah sadar?” Dia tersenyum seorang suster dengan baju seragam serba putih sedang mengisi cairan ke dalam botol infus di sebelah ranjangku. “Sebentar ya, saya panggilkan Dokter Alex, beliau ingin berbicra padamu” Masih dengan senyum dia bergegas meninggalkanku, aku hanya terbaring beberapa menit kemudian Dokter Alex datang menemuiku. “Sudah memberi tahu keluargamu” Aku hanya diam. “Atau kau ingin aku membantumu berbicara pada mereka?” Aku menggelengkan kepalaku. Dokter Alex mengusap tanganku, sambil tersenyum kukatakan padanya “Saya sudah siap Dok, tak perlu katakana apa-apa saat ini, jika saya sudah pergi, berjanjilah, untuk menyampaikan pada mereka, bahwa saya sangat mencintai mereka” Aku tak dapat membendung bening di pojok mataku, Ia hanya mengangguk. “Terima kasih” Ucapku lirih. “Istirahatlah”.
Aku ingin pulang dalam dekap Ibu dan Ayah, Tuhan apa aku tak punya pilihan selain memeluk sepi, mati dalam gigil dan sunyi, jika aku dapat dilahirkan kembali, aku ingin hidup dalam dekap Ibu dan Ayah, tak ada diam, tak ada sepi. Jangan dengar doaku yang ingin lahir dari batu, namun aku sadar aku tidak akan bisa lepas dari takdir-Mu, aku lelah, tuhan peluk aku.
****
“Tidak!, ini tidak mungkin!” Ibu menangis, nampak pula butir-butir bening dari sudut mata ayah. “Tolong jelaskan Dok” Suara Ayah terdengar sangat berat, parau “Anak Ibu mengidap leukemia tiga tahun lalu, dia melarang saya untuk memberi tahu keadaannya pada keluarganya, sebelum meninggal Ia meminta saya untuk menyampaikan bahwa Ia sangat mencintai kalian” Ibu terisak, Ayah memeluk Ibu, Aku bahagia melihat Ayah memeluk Ibu, Aku bahagia meski tak dapat memeluk kalian, “Ayah, Ibu, maafkan aku” Selamat tinggal, aku pergi menyatu dengan angin, melebur bersama cahaya, dan di hari lain aku akan turun sebagai hujan, bahkan menjelma sebagai pelangi, tanpa kalian sadar, tanpa kalian tahu, di lubuk hatiku aku selalu mencintai kalian.
Belum ada tanggapan.