Entah sudah berapa lamanya Arkana berdiam di tepi pantai Anyer hingga tak terasa senja yang merah mulai berubah warna menjadi pekat. Arkana tak bosan, meski sebentar lagi suasana akan terasa lebih sepi dibanding tadi sore. Bahkan sedari tadi dia tak merasa bahwa tempat itu amatlah ramai oleh pengunjung di akhir pekan. Seperti sebuah lirik lagu, bahwa dalam keramaian pun dia masih merasa sepi. Arkana sedang terbelenggu dalam kisahnya yang miris, sebuah kisah tragis tentang perjalanan hidup sang pujangga.
Arkana, pemuda 26 tahun yang lahir dengan talenta merangkai katanya. Dia pandai menguntai kalimat-kalimat indah yang maha agung lewat setiap baris puisi yang ia ciptakan. Dia akan selalu menulis, dan akan selalu begitu. Ketika marah dia menulis, ketika bahagia dia menulis, ketika jatuh cinta dia menulis, dan ketika rindu dia menulis.
Tentang rindu, tidak hanya selalu kepada Ayah Bunda yang telah tiada atau kampung halaman yang lama ditinggalkannya, Arkana pun telah merindui lebih dari satu wanita: Khadijah, Rachmi, Aini, Ayu, hingga Marina yang menjadi primadona di hatinya.
Teruntuk perempuan-perempuan itu, Arkana telah menulis ribuan baris kata indah yang tersimpan rapi di kamarnya. Bertahun-tahun didiamkan begitu saja tanpa pernah terluapkan, kasih Arkana tak tersampaikan. Entah mengapa Arkana selalu tak punya nyali untuk mengungkap rasa kepada setiap wanita pujaannya, selalu ada rasa tidak percaya diri yang berlebihan. Bukan Arkana tak rupawan, tapi Arkana merasa kecil ketika melihat diri hanya pujangga tanpa materi. Puisi-puisinya tak pernah menjadi lembaran uang, hanya tersimpan dalam kontrakan kecilnya. Tidak ada keberanian menawarkannya ke media, sebab Arkana merasa puisinya adalah ruang paling rahasia. Puisi Arkana bukan sebuah imajinasi dan fiktif belaka, melainkan cerminan hatinya yang terdalam. Jika terpublikasi maka sudah pasti orang akan tahu segala kerumitan hatinya.
Suatu ketika Arkana berusaha mengungkap isi hatinya kepada Khadijah, wanita yang pertama kali dicintainya. Tapi Khadijah menolak, untuk kemudian dia memilih lelaki lain yang lebih berada. Begitu pula untuk Rachmi, wanita kedua yang dipujanya, Arkana kembali menemui kisah yang sama, ditolak dan Rachmi lebih memilih Anwar sahabat karibnya yang sukses menjadi seorang PNS di Jakarta. Untuk wanita ketiga, keempat, dan kelima, Arkana terjerat dalam trauma dan rasa rendah diri yang sulit diobati. Dia harus puas hanya sebagai pemuja rahasia. Dia luapkan segala kerinduan hanya dengan menulis puisi-puisi, hingga akhirnya Aini, Ayu dan Marina di peristri pria lain.
Untuk Marina, perempuan terakhir yang dipujanya, Arkana pernah menjelma sebagai pujangga gila segila rasa cintanya pada Marina. Dia pernah bertekad mengungkap segala rasanya meski dengan banyak rintangan yang dihadapi. Namun sebelum semua terealisasi, Marina telah lebih dulu menghiasi pekarangan rumahnya dengan janur kuning. Arkana menjerit, Arkana melempar segala benda yang ada di kamar kontrakannya. Arkana menulis puisi-puisi ekstrim dengan tema kematian. Dia merasa ingin mati karena Marina tak berhasil dimiliki. Dengan apa Arkana meluapkan kerinduannya yang sudah menyentuh ubun-ubun, kecuali dia berlari mengahampiri rumah Marina saat malam sepi dan menempel puisi-puisi kerinduannya di tembok rumah Marina. Pada salah satu puisinya, Arkana mengajak Marina untuk pergi. Jika tidak, maka Arkana akan mengajak paksa Marina untuk mati bersama.
Kegilaan Arkana tak cukup satu kali, berulang dan berulang. Hingga akhirnya Marina merasa tidak nyaman dengan teror puisi dari Arkana. Dan pada satu malam yang tak diduga, Arkana yang sedang menempel puisi-puisi di dinding rumah Marina tiba-tiba diserbu warga yang dari tadi telah mengintip segala gerak-geriknya. Memang, Marina telah meminta bantuan para warga untuk menyelidiki siapakah gerangan yang tiap malam menempel lembaran-lembaran puisi yang maknanya penuh teror.
Arkana digelandang ke rumah Pak RW. Disana dia diadili. Ada memar di muka, beberapa orang sempat mendaratkan pukulan tapi kemudian berhasil dilerai warga lainnya. Arkana kemudian mengakui kesalahannya. Dia mengaku sebagai pemuja rahasia Marina yang kecewa atas pernikahan Marina. Sedang di sisi lain Marina mengaku hanya mengenal Arkana sebagai pengantar galon air ke rumahnya. Sungguh Marina tidak menyangka bahwa si pengantar galon yang terkenal santun itu adalah pemuja rahasianya.
Warga tak lagi percaya dengan Arkana, dia dikucilkan. Arkana kehilangan pekerjaannya, dia pun menggelandang di jalanan. Tidak ada harta yang dibawanya, kecuali lembaran-lembaran puisi yang berisikan segala rindu-rindunya. Demi menyambung hidup, Arkana pernah menjadi manusia gerobak, manusia kolong jembatan, manusia emper jalan hingga manusia kuli pasar.
Sebagai kuli pasar Arkana merasa nyaman sebab banyak orang yang tiap hari berbelas kasih memberinya macam-macam makanan. Arkana bisa menyimpan uang sedikit demi sediki meski pada kenyataannya dia tetap harus tidur di emper toko. Namun kemudian ujian datang lagi, Arkana kena fitnah rekan sesama kuli, dia dituduh telah mencuri barang dagangan milik Pak Hasan. Pada waktu itu, toko Pak Hasan diketahui telah berantakan dengan kunci toko yang telah dirusak. Arkana yang selalu tidur di depan toko Pak Hasan kena getahnya. Beberapa orang yang telah bersekongkol mengaku telah melihat Arkana mendobrak pintu toko pada malam hari, namun ketika dikejar Arkana malah kabur. Padahal cerita yang sesungguhnya, Arkanalah yang berusaha menghalangi pencurian tersebut. Akan tetapi karena Arkana hanya seorang diri, dia pun kalah. Dia sempat pingsan oleh karena sebuah pukulan yang mengenai kepalanya. Arkana dipaksa mengakui perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya. Arkana diusir warga pasar, mereka bilang bahwa Arkana perampok.
Arkana tak punya tempat tinggal, kecuali langit yang dirasakannya sebagai atap teragung yang maha luas melebihi atap istana raja manapun, dan tanah yang jadi lantainya Arkana rasa sebagai marmer termewah yang maha lapang tanpa sekat penghalang. Dan pasir, adalah bagian dari pijakan Arkana yang paling dicintainya. Di atas pasir, Arkana bisa mendengar nyanyian alam yang menjadi kawan akrabnya. Bersama pasir Arkana mendengar deru ombak layaknya nyanyian pengantar tidur. Dan kepada pasir yang seakan berbisik, Arkana mencurahkan segala rasanya.
Arkana telah membuang segala rindunya ke lautan luas, dia menenggelamkan semua lembar-lembar puisinya ke dasar Samudera. Arkana tak lagi punya rindu untuk siapapun dan untuk apapun. Hidup Arkana bebas tanpa ikatan, kemanapun dan sejauh apapun melangkah tak ada yang melarang. Arkana merasa tak punya kewajiban untuk apapun, dia benar-banar hanya sekedar hidup. Arkana tak lagi ingat siapa Marina, Arkana tak lagi ingat siapa yang telah memfitnahnya, Arkana tak lagi ingat akan segala kisah terdahulunya. Jangankan mengingat yang telah lampau, mengingat apa yang sekarang dirasakan pun dia tak bisa. Arkana tidak tahu apa itu rasanya bahagia atau rasanya sakit hati. Bahkan ketika segerombolan anak kecil menggiringnya dari belakang dan meneriakinya “Ada orang gila…ada orang gila…” Arkana hanya berjalan lurus tanpa merasa marah. Bahkan di sudut hati terkecilnya, Arkana merasa bahwa teriakan anak-anak kecil itu adalah sebuah kelucuan yang membuatnya tersenyum geli dalam langkahnya yang sendiri.
Belum ada tanggapan.