Sudin si anak kampung itu kini tengah berada di tribun penonton. Kaosnya merah putih. Pipinya dilukis dengan bendera kebanggaan, merah putih. Sudin berada sejajar dengan mereka yang sekarang sama-sama siap menantikan idolanya berlaga.
Kali ini, ada kebanggaan tersendiri di dada Sudin ketika mimpinya terwujud. Bukan karena ia ingin masuk tivi, barangkali wajahnya tersorot kamera saat bersorak sorai memberi semangat pemain. Sudin hanya ingin bertemu idolanya, itu saja.
Sudin menarik nafas. Dia merasa lega karena telah aman dengan tempat duduknya di dalam stadion. Ketakutannya kehabisan modal untuk biaya transport dan membeli tiket tidak terbukti. Sudin memang nekad. Hanya dengan uang yang pas-pasan tanpa perhitungan yang matang dia rela naik bis ke Jakarta untuk menyaksikan keseruan pesta olah raga terbesar di Asia.
“Tinggal tiga puluh ribu, hahhh….”
Sudin melihat lembaran sisa uang miliknya. Tiba-tiba timbul rasa khawatir dalam dirinya. Bagaimana dia dapat kembali pulang ke kampung dengan uang sebesar itu? Padahal, ongkos bisnya saja lima puluh ribu. Belum ongkos ojeg hingga di depan rumah. Belum lagi biaya makan selama di Jakarta. Tapi, masalah makan, perut Sudin sudah terbiasa tahan banting. Dia telah terbiasa berpuasa sunnah. Jika benar-benar kepepet, kali ini pun dia akan berpuasa.
Penonton mulai bersorak. Bukan tanpa alasan, melainkan karena mereka tengah melihat sesosok idola di lapangan. Ada dua orang yang akan saling bertanding, masing-masing akan berjuang dengan membawa bendera negaranya. Fahtur, pemain bulutangkis asal tanah air tercinta yang tengah menyedot perhatian karena prestasinya yang tiba-tiba menyalib para pemain senior di kancah internasional. Tak tanggung-tanggung, emas olimpiade ia rebut. Lebih hebat lagi, torehan prestasi itu didapatnya pada usia yang masih sangat belia, empat belas tahun. Kali ini, di depan publik sendiri Fahtur akan berlaga di partai final. Dia akan melawan pemain senior asal negeri tirai bambu yang setelah helatan akbar ini katanya akan segera gantung raket.
Sama seperti yang lainnya, Sudin begitu mengidolakan Fahtur. Anak ajaib itu telah menghipnotis banyak orang. Tidak sekedar karena prestasi, melainkan karena wajah ganteng yang Indonesia banget.
“Ayo..ayo..Tur!” Teriak Sudin. Beserta penonton yang lainnya, Sudin berteriak gembira ketika smash keras dari Fahtur berhasil membuat si lawan jatuh kepayahan. Gema teriakan “Indonesia..Indonesia…” di dalam stadion semakin menggelegar. Bukti bahwa dukungan untuk sang pahlawan olahraga begitu akbar.
Netting-netting cantik nan cerdik andalan sang atlet berhasil dipertontonkan. Si lawan kelabakan. Angka demi angka dipersembahkan, hingga menutup babak awal dengan kemenangan. Fahtur berteriak gembira. Penonton pun demikian.
Babak ke dua dimulai. Dengan penuh percaya diri Fahtur melakukan serangan bertubi-tubi. Angka pertama pun berhasil dia catatkan di papan score. Hingga angka ke tujuh, lawan tak mampu berkutik. Gemuruh dukungan dari penonton telah membakar semangat Fahtur untuk terus selalu berada di depan, memimpin perolehan angka.Namun demikian, pengalaman lagi-lagi berbicara. Fahtur yan sudah begitu percaya diri akan menang, tiba-tiba terus dikalahkan lawan. Fahtur tak mampu menambah perolehan angka. Justru lawanlah yang kini unggul. Fahtur tertinggal tiga angka, membuat hati siapa pun menjadi dag dig dug tak akruan.
“Ya Tuhan, berikanlah kemenangan buat Fahtur.” Bisik hati Sudin. Matanya menatap ke atas. Sudin sedang memohon kepada Tuhan agar Fahtur diberikan kemudahan dalam menjalankan tugasnya sebagai pahlawan bangsa.
“Ayo, Tur! Emas buat Indonesia!” Sudin berteriak kencang. Sebuah teriakan yang nyaris tertutup oleh teriakan penonton yang lainnya.
Sementara di lapangan, duel semakin seru. Karena tiba-tiba, posisi angka menjadi berimbang pada kedudukan 19-19.
Fahtur yang terlihat ganas kini mulai kehilangan energi. Berkali-kali dia mencoba mengulur waktu dengan meminta lantainya di-lap. Begitu pun dengan lawan. Dia terlihat sering menarik nafas panjang. Mondar-mandir sebelum memulai permainan, atau dia kerap membenarkan tali sepatunya hanya sekedar untuk mencari jeda.
Permainan semakin mendebarkan. Kejar-mengejar angka. Kedudukan 22-22, menjadi bukti kekuatan keduanya. Bahwa kemampuan mereka adalah sama. Hanya saja si lawan lebih senior, dan Fahtur adalah anak kemarin sore yang tiba-tiba menjadi anak ajaib di kancah badiminton dunia.
“Ya Tuhan, kali ini saja kabulkan do’aku. Jadikanlah Fahtur pemenangnya. Jika itu terkabul, aku bernadzar akan berpuasa berturut-turut selama sepuluh hari.” Terlihat Sudin mengangkat tangannya. Dia selalu percaya, ketika ikhtiar telah maksimal, maka kekuatan berikutnya akan lahir dari do’a.
Mungkin sekarang, Fahtur pun sedang berdo’a untuk kemenangannya.Sebelum dia melepaskan bola ke arah lawan, nampak dia menengadah ke atas dengan beberapa kalimat terucap, “Ya Tuhan, beri aku kemudahan. Bantu aku!’
Bola mulai diluncurkan. Lawan menerima bola dari Fahtur dengan serangan yang mengganas. Fahtur berhasil mengembalikannya dengan netting tipis. Penonton memprediksi bola akan jatuh di bidang permainan lawan, semua penonton pun berteriak. Tapi rupanya lawan yang penuh pengalaman masih dapat mengembalikan bola tersebut. Pada akhirnya, permainan pun menjadi sangat alot dan mendebarkan. Lebih dari itu, tenaga kedua pemain pun dikuras habis-habisan. Penonton dibuat deg-degan menunggu hasil akhir dari duel mereka, di sebelah manakah bola akan jatuh. Untuk angka ke-23 ini, rasanya sangat mahal. Butuh perjuangan yang tak main-amin.
“Oh, Tuhanku! Bantulah Fahtur.” Kembali Sudin berdo’a. Dia terjebak pada rasa khawatir, kalau-kalau Fahtur kalah. Dadanya berdegup hebat, membuat tubuhnya lemas. Sudin menutup wajahnya, rasanya tak sanggup jika harus melihat ke lapangan.
Yeayyyyy….tiba-tiba penonton bersorak ramai..tepuk tangan bergema hebat. Sudin mengangkat wajahnya yang terkulai layu. Sejurus kemudian, dia melihat papan score bertuliskan angka 22-23 untuk kemenangan Fahtur.
“Terima kasih, Tuhan..” Sudin merasa lega. Bibirnya tersenyum. Kini tinggal menunggu angka penentu. Semoga Fahtur bisa menyelesaikan perjuangannya dengan manis.
Di arena tanding, Fahtur berloncat-loncat ringan. Dia sedikit berelaksasi sebelum memulai lemparan bola. Fahtur menarik nafas dalam-dalam. Dalam tarikan nafas itulah, Fahtur kembali meminta bantuan Tuhan,
“Mencintai tanah air adalah sebagian dari iman. Karena aku beriman pada-Mu, maka izinkanlah aku meraih kemenangan ini demi tanah airku. Tuhan, bantu aku!”
Bola sudah di lepaskan ke arah lawan. Teriakan “Indonesia…Indonesia…” terdengar sangat bergemuruh. Semangat empat lima Fahtur terbakar. Meraih kemenangan di rumah sendiri adalah keharusan yag sedang di perjuangkan. Fahtur mengekspresika semangat itu dengan serangan-serangan yang membabi buta. Beberapa kali lawan berhasil menangkisnya. Namun Fahtur tak patah arang. Untuk satu angka penentu ini dia harus bermain cerdik, tak cukup dengan emosi dan serangan kosong saja. Perlu taktis brilian agar lawan mati langkah. Maka benar saja, ketika Fahtur merealilsasikan apa yang diteorikannya, hanya dengan sedikit tipu-tipu, lawan pun terkecoh. Bola jatuh di bidang permainan lawan. Seketika itu pula, Fahtur melempar raketnya. Dia berteriak senang, lalu bersujud syukur.
“Terima kasih, Tuhan! Atas segala bantuanmu.” Ucap Fahtur dalam sujudnya yang lama itu.
Penonton semua berdiri. Bertepuk tangan. Nama Fahtur di elu-elukan. Sudin pun demikian, berkali-kali dia memanggil nama Fahtur.
“Haturnuhun Gusti..” Ucap Sudin dalam bahasanya sehari-hari.
Fahtur tampak melihat ke arah penonton. Dia merangkapkan kedua telapak tangannya isyarat berterima kasih atas dukungan yang diberikan. Sebagai bukti cintanya kepada penonton, Fahtur melepas bajunya dan melempar ke arah penonton. Sontak saja semua orang berebut. Sudin adalah salah satu yang berjuang mendapatkan baju itu. Entah kekuatan apa yang menyertainya, akhirnya baju itu berhasil dia dapatkan. .Tenaga Sudin rupanya sangat kuat. Hingga yang lain tak mampu melawan tarikan tangan Sudin.
“Mas, bajunya boleh saya beli?” Tiba-tiba seseorang datang menghampirinya.
Sudin terdiam. Rasanya sayang jika harus menjual baju itu. Sejarahnya begitu akan terasa spesial jika dikenang di kemudian hari.
“Dua juta, mas.Bagaimana?” Orang itu menawari harga.
Sudin belum juga menjawab. Dua juta bukan uang yang sedikit bagi Sudin. Tapi berat hati juga jika membiarkan baju itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi…mau gimana lagi, Sudin teringat akan sisa uangnya yang tinggal tiga puluh ribu. Jika sampai besok belum tiba di rumah, Emak dan Abahnya akan merasa khawatir. Tidak hanya dapat kembali ke kampung halaman, dengan uang dua juta Sudin pun dapat membawakan oleh-oleh buat keluarganya di kampung. Sudin tersenyum, membayangkan raut-raut bahagia menyambut kedatangannya yang menenteng banyak oleh-oleh khas ibu kota.
“Ambilah baju ini, mas!” Sudin menyodorkan baju idolanya ke si penawar.
“Apa anda tidak menginginkan kenaikan harga?”
“Saya sangat butuh uang untuk kembali pulang. Jujur saja uangku tinggal tiga puluh ribu. Itu tidak akan cukup buat saya membayar ongkos bis.”
“Berarti anda datang ke sini dengan modal nekad?”
“Ya. Saya sangat cinta dengan bulutangkis. Hari ini idola saya berlaga. Saya pun ingin menjadi saksi kemenangan dia.”
“Baiklah, saya akan bayari ini sekarang.”
Si penawar kaos langsung memberikan uang dua juta secara tunai. Girang bukan main perasaan Sudin.
“Baiklah, mas. Saya pulang duluan.” Pamit penawar kaos.
Sudin mengangguk. Penawar kaos pun beranjak dari sisi Sudin tanpa membawa serta kaos yang telah dibelinya.
“Tunggu! Kaosnya ketinggalan!” Teriak Sudin.
Penawar kaos itu memutar kembali badannya ke arah Sudin. Dia mendekat beberapa langkah. Sambil tersenyum dia berucap,
“ambil kembali kaos ini. Sejarahnya akan sangat mahal bila di banding dengan uang dua juta perak. Uang yang kuberikan tadi pakailah untuk mas pulang kampung.”
Tanpa menunggu Sudin menimpali perkataannya, penawar kaos itu pun segera berlalu.
Sudin menarik nafas, ”terima kasih, Tuhan! Lagi-lagi bantuan-Mu kembali datang.”
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.