“Romera Dralsky,” suara perempuan muncul dari kotak suara setelah aku menyerahkan kartu logam ke mesin loket. Sensor pendeteksi menyorot tubuhku dari ujung kepala hingga kaki. Suhu udara yang terus meningkat hingga 46°Celsius membuat antrean di pintu kapsul mengalami kericuhan. Hingga beberapa saat kemudian pintu otomatis kapsul terbuka, aku lolos, meninggalkan orang-orang di belakang dengan segala bentuk tindakannya.
Pendingin ruangan sentral musim panas langsung menerpa kulitku. Sangat sejuk. Tak seperti udara di luar kapsul yang panas dan kering. Hujan memang tidak turun selama hampir setahun terakhir mengakibatkan kekeringan di berbagai daerah. Air bersih juga mulai sulit ditemukan.
Aku segera duduk begitu menemukan Evren––rekan kerjaku selama setahun terakhir sebagai jurnalis media. Kami sedang dalam perjalanan lintas benua menuju pulang ke tanah kelahiran. Kota Tiere. Sedang kami saat ini masih berada di stasiun pusat Republic of Georgia.
Robot putih setinggi satu meter dengan roda sebagai kakinya datang, menawarkan minuman dingin. Saat kuhitung, tujuh menu minuman yang biasa dihidangkan tinggal tersisa dua pilihan saja. Begitu pula dengan persediaannya yang dibatasi. Aku dan Evren memilih air putih. Aku sudah mengidam-idamkan cairan menyegarkan itu sejak mengantre di pintu kapsul. Kurasa hanya air putih yang mampu menyegarkan kerongkonganku yang terasa kering.
Hyperloop akan berangkat dalam 7 menit ke depan. Kapsul aluminium yang melaju dalam kecepatan 12.000 kilometer per jam ini hanya membutuhkan waktu 45 menit untuk sampai di kota asalku. Untuk memperpendek waktu, kubuka kembali hasil informasi wawancara dengan pihak Badan Antariksa Pusat yang menjadi tujuanku bersama wartawan lainnya di negeri ini.
Layar hologram yang terhubung dari ponsel pintar menyala. Forum kali ini membahas fakta mengejutkan bagi umat manusia sejak beberapa bulan lalu, yakni tentang matahari yang mengalami pembesaran dan mulai memasuki orbit Merkurius. Memang membutuhkan waktu jutaan tahun lagi hingga Matahari semakin membesar dan menelan orbit bumi. Namun, sebelum itu terjadi, kehidupan di Bumi sudah lebih dulu musnah karena suhu makin meningkat dari radius Matahari yang makin dekat, dan cepat atau lambat, bumi pasti akan menjadi gersang dan tak ditemukan lagi air.
Memikirkan ini membuat hatiku ingin menangis sejadi-jadinya. Apakah ini adalah akhir dari kehidupan di bumi? Akankah kehidupan di Bumi akan musnah karena bumi akan menjadi planet yang sudah tak layak huni?
Matahari akan terus mengembang menjadi bintang raksasa merah. Ia akan membesar dan menelan orbit bumi. Peningkatan fluks di matahari akan meningkatkan temperatur rata-rata di bumi hingga pada level tidak memungkinkan mekanisme biologi hidup. Dalam penelitian lanjutan, dinyatakan bahwa Merkurius, Venus, bahkan Bumi tidak akan mampu lolos dari cengkeramannya.
Menurut perhitungan yang dilakukan oleh K-P. Schrőder dan Robert Cannon Smith dahulu menunjukkan, ketika matahari menjadi bintang raksasa merah di usianya yang ke-7,59 milyar tahun, matahari akan mengembang menjadi 256 kali radiusnya dari perhitungan mereka dan massanya akan tereduksi sampai 67% dari massanya saat itu.
Matahari akan menyapu tata surya bagian dalam dengan sangat cepat, hanya membutuhkan waktu selama lima juta tahun. Setelah itu memasuki tahap pembakaran helium yang berlangsung selama130 juta tahun. Matahari akan terus membesar dan melampaui orbit Merkurius kemudian Venus. Ia akan kehilangan massa sebesar 4,9×1020 ton setiap tahunnya––setara dengan 8% massa Bumi.
Seorang ilmuan terkemuka Georgia menyatakan bahwa Mars telah menjadi planet yang layak huni, kabar telah ditemukannya oksigen sebanyak 0.7% memberi harapan baru bagi penduduk bumi. Proyek besar mengenai kapsul terbang yang digunakan mengangkut penduduk bumi menuju Mars menjadi perbincangan utama publik saat ini.
“Apa kau masih memikirkan bagaimana cara mendapatkan tiket itu?”
“Benar. Sayangnya, di tengah keresahan yang menimpa ini, tidak ada yang mungkin bersedia membeli rumahku.”
“Kau ingin menjual rumahmu?”
“Tentu jika ada orang yang ingin membelinya.”
“Tentu saja jika rumahmu mampu menyelamatkan planet ini dari cengkeraman Sang Surya,”kata Evren, bercanda.
Di saat seperti ini, tidak ada orang yang bersedia memikirkan untuk membeli rumah baru meski aku menjualnya dengan harga murah. Aku membutuhkan tiket untuk ibu, ayah, dan diriku sendiri. Selain mahal, jumlah penumpang kapsul juga dibatasi, aku yakin hanya para petinggi saja yang mampu menyelamatkan dirinya. Sisanya akan tertinggal di Bumi bersama suhu udara yang meningkat drastis.
“Kawanku, tidak ada yang tahu kapan alam semesta ini akan berakhir. Kau, aku, atau pun Mr. Rudolf. kecuali Dia. Penciptanya.”
Meski mayoritas penduduk bumi saat ini tidak berkeyakinan atau menganut pada ilmu Sains, Evren adalah salah satu kaum minoritas beragama yang menjadi rekan kerjaku. Kami menjalin hubungan cukup baik dalam pekerjaan.
“Romera, Tuhan itu ada. Sebelum alam semesta ini diciptakan, ia telah menentukan usia-usia makhluknya. Ada suatu ayat yang mengatakan; ‘Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya, supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.'” [Ar Ra’d:2].
Kalimat panjang Evren membuatku terdiam.
Ponsel pintar di pergelangan tanganku menyala. Begitu jari telunjuk kuletakkan di telinga, suara ibu terdengar dari seberang sana.“Nak, tetap di sana dan jangan kembali, kami akan menyusul. Ayahmu menjadi salah satu ras yang mendapatkan akses dari Walikota untuk bisa menumpang kapsul terbang. Kami mendapatkan informasi khusus dari negara bahwa kapsul terbang akan berangkat dini hari nanti.”
Aku jelas terkejut mendengar pernyataan ibu. “Tapi …” aku melirik pada Evren, bibirnya menggumamkan sesuatu dan tak mendengarkan pembicaraan kami. “Mereka bilang pemberangkatan dilakukan bulan depan.”
“Mereka terpaksa mengatakan kebohongan pada media agar semua masyarakat menganggap bahwa pemberangkatan dilakukan bulan depan. Jumlah penumpang kapsul terbatas. Hal ini dilakukan untuk menghindari kericuhan.”
Atas panggilan itu, setelah mempertimbangkan banyak hal akhirnya aku menceritakannya pada Evren. Ayah dua anak itu membiarkanku tinggal, sementara dirinya tetap pulang. Hingga tiba saatnya, kapsul benar-benar berangkat keesokan paginya. Dari balik jendela kapsul, aku menerawang pada indahnya bumi yang sebentar lagi akan mati. Tempat tinggalku yang sibuk sebentar lagi tak berpenghuni. Tidak akan ada lagi kehidupan setelah ini.
Suara dari mesin kapsul selesai menghitung mundur. Disusul oleh besi-besi penyangga yang terlepas dari bawah sana. Kapsul mulai meninggalkan bumi tepat pukul 03.00 dini hari. Sebanyak 10.000 penumpang dari belahan bumi berbeda berada di kendaraan lintas planet ini. Badan Antariksa Pusat tak sepenuhnya membawa Georgia, mereka juga terpaksa berbohong pada negaranya. Mereka mengambil ras berbeda-beda di seluruh belahan bumi agar dapat berkembang biak di Mars tanpa satu pun ras yang harus punah.
Kasihan sekali orang-orang yang tak memiliki kesempatan menyelamatkan nyawanya, termasuk Evren. Ia sempat berkata sebelum kami berpisah. “Aku akan berdoa agar kau diberi keselamatan pada hati dan jiwamu, Kawanku.”
Aku bersandar pada punggung kursi. Evren hanya mendoakan keselamatan pada hati dan jiwaku saat entah bagaimana keselamatannya sendiri di bumi. Dia juga lupa mendoakan keselamatan pada ragaku. Padahal itu yang utama.
Kegiatanku memandangi bumi dari ruang hampa disadarkan oleh bunyi sirene peringatan dari mesin. Ada apa ini? Ayah yang tadinya sempat terlelap pun kini ikut terjaga.
“Telah terjadi suatu masalah, sebuah batu panas melintas dari arah berlawanan. Pesawat akan mengalami tabrakan.”
Jantungku seakan-akan ingin melompat dari tempatnya.
Peringatan mengejutkan itu membuat kondisi penumpang menjadi tak terkendali. Ibu sudah menangis dan menggenggam erat tanganku dan ayah. Suasana di dalam kapsul seketika menjadi kacau. Perintah suara dari balik mesin kapsul untuk tenang tak dihiraukan sama sekali oleh penumpang. Ditambah lagi oleh suara kapten kemudi yang terdengar menangis dan berkali-kali mengatakan bahwa kita akan tamat.
Ya, kita akan tamat.
Aku pernah mendengar ketika seseorang sedang menuju kematian, rangkaian kejadian di masa lalu akan berputar-putar di kepala. Aku menjadi teringat pada pekerjaanku yang mengharuskanku berlari ke sana kemari dalam satu waktu. Bersenang-senang, dan masih banyak lagi.
Rasanya aku menjadi tuli meski teriakan-teriakan di dalam kapsul mendominasi. Seakan-akan tak pernah lelah sebelum tiba pada ruang yang akan membuat semua orang menjadi bisu dan tuli. Di antara kekacauan yang terjadi, tiba-tiba suara Evren terlintas memenuhi ruang kerja otakku.“Tuhan itu ada. Tidak ada yang tahu kapan kematian akan menjemputmu. Tidak ada yang tahu kapan bumi dan matahari akan berhenti berputar.”
Jika kemarin para manusia silih berganti merencanakan perjalanan lintas planet yang diperkirakan menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Namun, hari ini sebuah hal tak terduga terjadi, tidak ada yang tahu asteroid itu akan datang dan mengakibatkan tabrakan hebat pada kapsul terbang yang menjadi satu-satunya harapan umat manusia.
Evren benar, tak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari. Tuhan memang ada. Dan Ia-lah yang mengetahui segala sesuatu lebih baik daripada rencana manusia.
Belum ada tanggapan.