Oleh Gerro Marrio
Kita terbiasa membahas banyak hal. Tentang hal-hal kecil dalam hidup kita, hingga rahasia besar yang ditanggungkan Tuhan di atas pundak kita. Tentang mengapa kita harus selalu cantik di usia kita yang telah matang hingga bagaimana anak-anak kita kelak akan mendapatkan pasangan. Tentang hujan yang selalu menghalangi kita pulang, tentang pelangi yang sama-sama kita yakini hanya terdapat tiga warna karena seperti itulah yang terlihat. Ya, bukankah lebih mudah mempercayai apa yang kita lihat? Lebih mudah kan meyakinkan diri kita sendiri.
Percakapan-percakapan kita, yang entah penting atau pun tidak, entah santai atau pun serius selalu terjadi di senja hari. Kita sama-sama sadar bahwa awan dengan percikan jingga yang manis itu adalah saat yang tepat untuk kita berbagi banyak hal. Meski kadang, kita tidak bercerita tentang apa pun. Diam.
Diantara semua cerita yang mengalir dari bibir kita, ataupun diam yang betah menemani kita, selalu ada segelas kopi di hadapan kita. Di sudut cafe ini, kita terbiasa bersama, terbiasa meneguk kopi dan sang pelayan selalu terbiasa dengan kehadiran kita.
Senja ini, tentu saja, bersama segelas kopi, kita memilih untuk tidak berdiam. Entah kehabisan topik pembicaraan, atau memang ini adalah pembahasan yang harus terjadi aku tidak tau, yang pasti pembahasan senja ini adalah tentang kau.
“Jangan kau teruskan Ra. Berhentilah.”
“Kenapa? Kau takut? Bukannya kau selalu doakan itu?”
“Tapi bukan begini caranya.”
“Lalu bagaimana Sif?”
“Dia sudah beristri Ra, demi Tuhan kau berdosa.”
“Persetan dengan dosa Sif. Lagi pula aku tidak tidur dengannya.”
“Kau ke hotel dengannya.”
“Hanya sampai lobi Sif.”
“Yakin?”
“Hanya sebuah ciuman.”
Kau berhenti sejenak, meneguk kopimu dan melemparkan pandangan keluar sana. Aku tahu bukan kesibukan jalanan yang kau perhatikan. Kau tidak akan pernah peduli pada kendaraan yang macet di depanmu. Pikiranmu sedang tertuju pada suatu tempat. Mungkin di lobi hotel itu.
“Kasian istrinya Ra.”
“Aku lebih kasian kau.”
“Sudahlah.”
Aku turut membuang pandangan ke jalanan di luar sana. Ternyata memandang ke sana mampu memberikan sedikit rasa nyaman dalam diri kita. Lama kita terdiam. Asik memandangi lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki di jalanan. Kita terjebak dalam kaca kafe ini hingga aroma asap knalpot kendaraan pun tidak pernah berhasil masuk dalam indera kita, hanya aroma kopi ini selalu berhasil membawa kita pulang dalam alam sadar kita.
“Berhentilah Ra, selagi belum terlambat.”
“Lalu kenapa kau tidak pernah berhenti mencintaimya Sif. Kau tidak tau bagaimana cara menghentikan perasaanmu itukan?”
“Bukan begitu Ra.”
“Lalu apa Sif?”
“Kau bisa lupakan dia dan menerima cinta yang lain?”
“Ra dia sudah punya istri, jangan ganggu kehidupannya lagi!” emosiku mulai susah kukendalikan.
“Tapi hidupmu terganggu.” Tuduhmu seenaknya.
“Aku baik-baik saja.” Bohongku padanya, setidaknya aku usahakan yang terbaik pada ekspresiku.
“Bohong.” Tatapanmu menghujamku “Kau selalu merasa sakit setiap mengingatnya.”
Kau selalu tepat menilaiku, mungkin karena usai pertemanan kita sudah seperti usia kita. Kita telah hidup bersama, jauh sebelum kita sadar bahwa setiap manusia membutuhkan sahabat. Kita telah lebih dulu mempraktekkan kebersamaan sebelum kita tau bahwa banyak teori tentang kebersamaan.
“Aku akan membantu kau Sifa.”
“Dengan tidur bersama pria yang kucintai? Jangan-jangan kau juga telah jatuh cinta padanya?!!” Suaraku meninggi, ya persetan dengan pedulimu, aku hanya ingin mengungkapkan pikiranku, toh kita telah terbiasa melakukannya. Berpikir dan mengungkapkan, lalu jika salah satu dari kita merasa tersinggung maka kita akan marahan sejenak lalu baikan lagi. Itulah lingkaran persahabatan kita.
“Hanya ciuman!” Lara kembali meminum kopinya. Kali ini dua teguk yang di minumnya. Antara marah dan tegas ia menatap bengis padaku “Dan aku tidak akan jatuh cinta padanya!”
“Lalu kenapa kau ke hotel bersamanya?” tuduhku.
“Untuk menolongmu.”
“Menolongku? Ra aku lebih sakit saat aku tau kau ke hotel dengannya di bandingkan saat aku menerima undangan pernikahannya yang ia tulis namanya bersama gadis itu. Sakit Ra, demi Tuhan, kau sahabatku.”
Suasana kafe kian ramai. Tapi tidak ada yang peduli pada dua orang cewek di sudut kafe yang terlihat lusuh seusai bekerja.
“Dengar Sif, aku tidak bermaksud begitu.”
“Aku tau.” terkadang seteguk kopi selalu berhasil meredakan amarahku. Itu sebabnya kita sering meminum kopi seusai kerja karena demikianlah cara menghapus semua letih dan beban seharian kita. Termasuk meredakan emosi di setiap pembicaraan kita.
“Sifa aku hanya ingin menolong. Aku punya rencana.”
“Rencana apa?”
Kau tersenyum, menatap jalanan, kembali menatapku dan berkata.
“Aku akan membuatnya bercerai bersama istrinya. Lalu kau nikahi dia.”
“Kau gila Lara?”
“Maksudmu briliant?”
Kau, senyumanmu dan rencanamu membuatku takut. Seolah ada kalimat ‘kau pikir aku tidak bisa’ yang tenggelam di kedalaman matamu.
“Jangan Ra. Biarkan dia hidup bahagia.”
“Lalu kapan, kau bisa melupakan dia dan hidup bahagia?!” kini kau marah padaku.
Aku menghembuskan nafas panjang. Kepada Lara, tidak mungkin kukatakan bahwa aku bahagia sebab dia mengenal seluruh hidupku. Hatiku, pikiranku, semuanya diketahuinya. Bahagiaku, sedihku diketahuinya juga. Dan aku pun demikian, aku mengetahui setiap hidupnya. Seperti kukatakan tadi, kami adalah dua orang sahabat yang telah lama bersama, mudah bagi kami untuk mengetahui apakah salah satu diantara kami berbohong atau tidak.
“Bagaimana Sifa? Kau setujukan? Aku akan menolongmu, sebagai sahabat, aku tidak suka melihatmu menderita. Kau pelihara seluruh mimpi-mimpimu bahkan setelah kau tau bahwa Tian telah menikah. Mengapa kau harus selemah ini? Aku akan membalas semua sakit hatimu dan mengembalikan Tian padamu.”
“Tapi kenapa Ra? Kau akan di cap negatif.”
“Lalu kenapa? Hei Sifa, kau lupa? Bukankah sejak dulu orang-orang selalu memiliki kesan negatif terhadap aku? Bukankah sejak dulu aku menjadi ‘anak jahat’ saat kau mendapat gelar ‘anak baik’ dari semua orang? Ah, kamu terlalu ragukan aku. Percayalah. Kau dan Roy pasti bisa bersama. Toh Roy juga, tidak mencintai istrinya.”
Kalimat terakhirmu membuat aku membatalkan tegukan terakhir dari segelas kopi yang nyaris kosong ini.
“Dari mana kau tau?”
Kau tertawa. Telunjukmu mengitari mulut gelasmu.” Kalau dia mencintai istrinya. Bukankah seharusnya dia tidak mengajakku ke hotel?”
Aku terdiam dan memikirkan berbagai kemungkinan untuk pertanyaan itu.
“Jangan jatuh cinta padanya Ra!!!” itu adalah tanda persetujuan sekaligus peringatan untuk kau.
Kau menganguk. Dan cangkir kita pun telah kosong. Pulang adalah apa yang memang harus kita lakukan. Tanpa membuat janji pun kita sama-sama tau besok, besok dan besoknya lagi kita akan bertemu di tempat ini, di jam yang sama, di sudut yang sama, letih yang sama, dan pembicaraanyan berbeda. Entah apa lagi kedepannya, mungkin tentang perkembangan misimu yang menghancurkan rumah tangga Roy. Mungkin tentang sebuah kebetulan yang mempertemukan kita dengan seorang pria mapan, atau mungkin tentang rekan kerja kita yang bertingkah lebay di depan bos kita, atau mungkin kita hanya terdiam. Ya, terkadang, kita lebih baik diam, bukan karena kita kehabisan topik (mana ada perempuan yang kehabisan gosip) tapi karena sama-sama lelah dengan kehidupan dan kerja kita, sehingga kita hanya mampu meneguk kopi.
********
Gerro Marrio
Segelas kopi. Senja. Dia.
19 menit berlalu. Dan kau belum menenempati kursi di hadapanku. Masih bersama aroma kopi yang sama, tapi tanpa kau atmosfir di sini berbeda.
“Kau selalu menunggu seperti ini?”
Suara itu.
Dia duduk di hadapanku, terlihat cantik, ya dia memang cantik.
Segelas kopi diantarkan padanya. Tanpa berkedip, aku menatapnya. Dia melakukan yang sama padaku. Menatapku, tanpa berkedip.
“Kenapa kau hanya duduk di sini?”
Aku membuang pandangku. Beralih dari wajahnya yang nampak cantik, baik sekaligus terluka. Aku memandang jalanan. Ternyata ini juga bisa membantu saat kita tidak ingin menjawab sebuah pertanyaan, apa lagi jika jawabannya harus melibatkan kejujuran yang tidak kita inginkan. Dulu kau sering melakukannya, kini aku mengerti.
“Kau selalu seperti ini? Hanya menanti?” dia tertawa padaku dan mungkin kebodohanku.
“Kau berdandan secantik ini hanya untuk duduk di sini?” dia bertanya lagi. Padahal dia juga berdandan cantik dan duduk di sini.
“Jangan kebanyakan minum kopi. Lipstikmu bisa rusak.” Dia memperingatkanku setelah meneguk kopinya tanpa hati-hati. Kini gelasnya kosong. Dan ia masih tetap cantik.
Kita lalu terdiam. Lama. Aku memang sedang tidak ingin membicarakan sesuatu senja ini. Tidak juga meminum kopi yang kini tidak berasap lagi. Aromanya pun terasa asing.
Seperti juga dia. Dan kau. Asing.
Tapi dibalik perasaan asing itu, aku dan dia punya banyak kesamaan yang berbeda dengan kau.
Aku dan dia sama-sama perempuan baik yang sedang terluka (karena kau). Aku dan dia sama-sama duduk dengan dandanan yang cantik di sudut cafe dan tidak dipedulikan orang-orang. Aku dan dia sama-sama memiliki dua undangan. Undangan pernikahan. Pernikahan kau dan pria yang sama-sama kami cintai. Mantan kekasihku dan mantan suaminya akan menjadi suamimu.
Aku dan dia, tanpa kesepakatan apa pun, sama-sama duduk dan memesan segelas kopi. Dia mungkin ingin berbagi. Dia mungkin ingin protes tentang kau, dia mungkin ingin berteriak di hadapanku, dia mungkin ingin menangis, tapi aku tidak mengijinkannya melakukan apa pun yang dia inginkan. Di hadapanku dia hanya boleh diam. Sebab apa pun yang dia ingin lakukan adalah apa yang juga ingin kulakukan.
“Ayo kita pergi.” Ajakku.
“Sudah terlambat.”
“Daripada tidak sama sekali. Dia sahabatku, aku harus memberikan ucapan selamat padanya.”
“Dia suamiku, aku tidak akan sanggup melihatnya bersama sahabatmu itu.”
Aku melangkah pergi, dan ternyata dia mengikutiku.
Hei Lara sahabatku, lihat kami, dua orang perempuan yang akan berjalan menujumu, lalu tersenyum dan berkata “Selamat untuk pernikahanmu.” Lalu aku akan tersenyum pada pria di sampingmu dan berkata lagi “Selamat untuk pernikahanmu”. Jangan khawatir Lara, kau tahukan, aku pernah menampakkan wajah munafik yang sama ketika pernikahan pria ini terjadi dengan wanita cantik di sampingku ini. Itu sebabnya, dengan percaya diri aku akan tersenyum padamu dan seharusnya kau tahu, ini adalah senyum paling munafik yang kuberikan untukmu, Lara sahabatku.
Asrama Stella Maris, Januari 2014
sumber ilustrasi: google
Belum ada tanggapan.