Selama beberapa hari menjelang paskah, Aku sering bertanya kepada pengunjung berbeda tentang anjingku yang hilang, seekor anjing yang selalu menungguku di teras seperti patung singa, matanya menatapku dengan indah, ketika dia menyongsongku dia melangkah dengan malas dan anggun. Aku telah terikat pada piaraan itu hampir lima tahun sudah, maka dengan suatu cara, Aku ingin semua orang melihat sosokku sebagai orang yang peka dan sensistif yang sedang malang dan benar-benar sial setelah kehilangan anjing itu.
Kebetulan, di dekat rumahku, setelah berjalan kira-kira 20 langkah maka ada sebuah kedai 24 jam dengan pengunjung bermacam-macam orang. Pada hari pertama setelah anjingku hilang, aku pergi bertanya kepada mereka:
“Kamu melihat seekor anjing betina kurus lewat di dekat sini?” Maka ada yang menjawab ya, ada yang menjawab tidak. Kepada semua pengunjung dengan dua jawaban itu aku bertanya lagi,
“Seekor anjing kurus dengan tiga atau empat anak mengikutinya, kamu melihatnya?” Seseorang menjawab dia melihatnya; seekor anjing abu-abu kurus dengan tiga anak. “Sejenis anjing sakit yang telah tiga hari tidak diberi makan.” Kata orang itu, matanya menatapku sekilas dengan ekspresi sinis seakan-akan memang akulah orang yang bertanggung jawab untuk memberi makan anjing semacam itu. Tetapi itu bukan anjingku, lagipula warnanya sebenarnya hitam legam.
Setelahnya Aku pulang ke rumah, mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Kunyalakan pemancar air di dinding dan mulai bernyanyi-nyanyi, menggosok tubuhku perlahan sambil merasakan sensasi kenikmatan yang timbul dari gesekan tangan terhadap bagian tubuhku. Aku mencium wangi tubuhku sendiri seperti kerasukan sambil berdiri di depan cermin melihat segala daging yang menempel pada kerangka laki-lakiku yang bebas. Entah kenapa, aku merasa mulai tampan. Hari paskah sudah dekat, dan memikirkannya aku merasakan kebangkitan baru dalam diriku. Aku makan siang berupa brownis yang manis dengan beberapa potong ayam goreng, menikmati sepotong demi sepotong hingga tertidur dengan amat damai.
Esok harinya, Aku menanyakan pertanyaan yang sama kepada orang berbeda di kedai yang sama.
“Baru saja lewat,” jawab orang itu. “Dengan tiga atau empat anak, bukan?”
“Kamu melihat seekor anjing dengan tiga atau empat anak? Apa warnanya hitam?” Aku lanjut bertanya. Dia sedikit mengerutkan kening sebelum menjawab, “Saya lupa warnanya apa, tetapi hanya itu anjing dewasa yang lewat. Satu-satunya.”
Aku pergi memesan kopi kepada pelayan, seorang pemuda yang sering melihat aku dan anjingku lewat di depan kedai, tetapi kepadanya tidak kutanyakan pertanyaan tentang anjing itu. Jika kutanyakan kepadanya, aku pasti beresiko mendapatkan jawaban yang buruk yang akan mengganggu hari-hariku. Ketika meneguk kopi dengan rasa vanilla yang lembut, pada siang hari yang kelihatan amat cerah itu, aku bertanya sekali lagi kepada seseorang di depanku, lalu orang itu meneruskan pertanyaanku kepada teman di samping, selebihnya orang lain yang kebetulan mendengarnya mengatakan ada banyak anjing yang berkeliaran saat ini.
“Bagaimana kamu bisa kehilangan anjingmu?” Tanya satu dari mereka.
“Hilang begitu saja. Mungkin dia melihat seorang pria melintas di depan rumah kami ketika aku tidak ada, dia pasti mengira itu aku. Mungkin bau tubuh kami sama, aku dan pria itu, sehingga anjingku bingung lalu mengikutinya.”
Mereka segera tertawa dan mengomentariku;
“Oh, bodoh sekali anjingmu.”
“Anjing-anjing memang tidak bisa membedakan tuannya dengan benar.”
“Hanya sedikit anjing yang benar-benar mengenal bau tuannya. Barangkali ada orang lain yang menggunakan parfum yang sama denganmu.”
Aku tertawa memikirkan kemungkinan wangi parfum yang sama itu, tetapi aku tidak mengomentari lagi. Setelah yakin yang mereka lihat itu bukan anjingku, Aku kembali lagi ke rumah untuk membereskan hal-hal yang tidak diperlukan lagi. Di atas mangkuk makannya masih tersisa beberapa butir makanan yang tidak dia habiskan dan aku mencucinya hingga bersih. Kupindahkan kandang kotornya ke tengah siraman matahari dan menyemprotkan air supaya segala kutu dan kotoran yang melekat pada jeruji-jeruji kendang terkikis hingga kilat. Aku mengocok pembersih lantai di dalam ember berisi air hangat dan mulai membilas lantai, dinding dan meja tempat dimana si anjing pernah meninggalkan jejaknya.
Di siang hari, tidak ada lagi kenangan yang tersisa dari anjingku yang hilang.
Aku merebahkan badan serta menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mungkin anjing itu sudah pergi terlalu jauh dan tersesat, apalagi sekarang sedang musim panas. Lagipula dia hanyalah seekor anjing, dia mesti kelelahan dan kehausan. Aku berharap seseorang telah menemukan lalu memeliharanya karena, bagaimanapun, aku tidak mau membayangkan dia mati dalam kesengsaraan dan kesepian. Rahasianya adalah Aku sebenarnya sudah tidak ingin memiliki anjing itu. Warnanya hitam dan kelaminnya jantan dan tidak ada anak tiga atau empat ekor. Aku bertanya kepada orang-orang selama beberapa hari ini agar aku tidak pernah menemukan anjing itu lagi, dan para pengunjung yang tidak tahu apa-apa itu berpikir aku sangat mencintai anjing hitamku yang jantan sampai-sampai begitu cemas mencarinya.
Sejujurnya, aku ingin memelihara kucing dari dulu. Kucing yang lucu tentu saja, dengan warna putih polos dan telinga layu dan sepasang mata indah. Itu sebabnya aku mengusir anjing itu dari rumah. Dia adalah seekor anjing jantan gemuk yang kurawat dan kumandikan dengan baik. Dia tumbuh besar sempurna. Dia melahap makanan hingga kenyang lalu duduk di lantai berjam-jam seperti patung singa. Dia tidak makan tikus, tidak mengejar ayam tetangga dan tidak berbuat curang kepadaku. Dia begitu baik hati namun menurutku dia terlalu malas dan kelewat sopan untuk mahkluk sekelas anjing.
Jika aku mengajaknya jalan sewaktu-waktu, dia membuat gadis-gadis kecil memeluknya dengan lembut di pinggir jalan, dia menjadi penyebab kenapa anjing lain yang berpapasan dengan kami menjadi tidak penting lagi berada di dunia ini. Sesekali bila aku melihat seekor anjing menyambut girang kepada tuannya yang baru pulang dengan mencakar-cakar tanah dan menyalak ribut, aku berpaling kepada anjing jantanku yang hitam legam sambil mengkerutkan kening. Bagiku, dia terlihat sangat membosankan karena sudah bersikap seperti manusia dengan sifat malasnya dan perilaku sopannya yang kelewatan.
Jadi, suatu hari aku mengusirnya dengan cara apa pun untuk mahkluk sekelas anjing. Lantas dia pergi dengan tenang sepanjang jalan sudirman, belok di pertigaan lalu hilang. Dengan perasaan cemas, selama beberapa hari setelah itu aku pergi ke kedai di pertigaan itu untuk bertanya ke orang-orang. Aku bertanya ke orang-orang berbeda dengan susunan pertanyaan beraneka bentuk, tetapi dengan satu tujuan supaya mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat anjing hitam jantanku.
Kini sudah hampir seminggu aku pergi bertanya, jawaban dari mereka amat memuaskan. Kemudian pada hari terakhir ketika aku yakin anjing itu sudah hilang selamanya, entah telah ditemukan dan dirawat oleh pih a klain atau tidak, dengan ringan hati aku pergi lagi ke kedai di dekat situ. Tetapi dua malam berturut-turut sebelum itu, aku membeli beberapa kaleng bir untuk diriku sendiri dengan dua bungkus rokok lalu merayakan kebebasanku seorang diri. Cairan bir yang pahit di tenggorokan adalah semacam guyuran air di toilet yang menghapus semua bayangan tentang hari-hariku bersama si anjing hitam jantan, asap rokok yang mengepul adalah gaya hidup tanpa anjing yang akan kujalani. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa besok aku akan membeli seekor kucing yang seharusnya kulakukan dari dulu. Pagi hari tadi, dengan sedikit pusing, aku mandi dan bernyanyi-nyanyi lagi, menjelajahi tubuhku sendiri hingga tidak mampu kutolak kenikmatan yang tiada tara saat menyentuh bagian yang sensitif; seolah-olah seorang kekasihlah yang tengah membuaiku.
Pukul 09.15 aku pergi ke kedai yang sama dan bertanya kepada seorang pengunjung wanita berbeda, seorang nona yang sedang sendirian.
“Apa kamu melihat anjingku, Nona?”
Wanita itu menatapku dengan mata jernih yang seolah-olah seumur hidup baru itulah sepasang mata perempuan pernah menatapku dengan cara yang bisa mengubah putus asa seorang pria menjadi denyut harapan. Aku tidak akan bercerita tentang kehidupan asmaraku, tetapi ketika melihat sesosok wanita dengan adonan yang nyaris sempurna membuatku membayangkan bagaimana jika dia rela memberikan nomor teleponnya lalu mengunjungi rumahku di 20 langkah dari sini.
“Seekor anjing?” dia bertanya dengan bibir berkedut.
“Betul. Aku sedang mencari seekor anjing yang mungkin berkeliaran di sekitar.”
“Ya. Saya melihatnya barusan. Mungkin itu anjingmu atau bukan, dia sedang lewat ke sana tepat ketika kau masuk kedai ini,” jawabnya antusias sambil menunjuk arah dari mana aku datang.
“Seekor anjing betina dengan tiga atau empat anak?” Aku bertanya lagi tanpa benar-benar peduli pada pertanyaanku sendiri dan jawaban darinya. Kini aku membayangkan wanita itu memintaku duduk, memesan segelas kopi untukku, dan mengeluhkan kepadaku segala kebosanan rutinitas hariannya sehingga aku mendapati sebuah celah untuk masuk ke dalam kehidupannya.
“Ooo.” Kini wanita itu tersenyum penuh penyesalan. Matanya yang berbinar-binar tadi perlahan-lahan padam. Lalu dia menggeleng. “Maafkan saya. Tadi saya melihat anjing orang lain,” katanya. Tiba-tiba aku mulai was-was. Aku mendengar dering mengerikan di dalam kepalaku sehingga aku sedikit kaku sekarang.
“Tapi apa rupa anjing itu?”
Dengan masih tersenyum penuh penyesalan dia memberitahuku; seekor anjing hitam yang tampak sehat dan sempurna.
“Kamu yakin itu bukan anjing abu-abu, Nona?” tanyaku dengan tidak berdaya.
“Bukan, itu tadi anjing hitam yang tampak mempesona. Seekor anjing tampan yang bisa membuat orang jatuh hati dalam sekejap. Dia pasti milik seseorang yang mencintainya dengan sepenuh hati, yang rela membagi kasih dengannya siang dan malam.” Dia berbicara seolah-olah bukan denganku tetapi dengan seorang pria yang menyayangi seekor anjing. “Maafkan saya karena salah memberimu informasi,” tutupnya dengan syahdu.
Maka aku kembali ke rumah. Seluruh kegembiraanku padam. Di teras kutemukan dia sedang duduk seperti patung singa, matanya menatapku dengan indah, ketika dia menyongsongku dia melangkah dengan malas dan anggun. Dia mengendus sepatuku sejenak lalu menjilat tanganku; untuk mahkluk sekelas anjing dia tampak terlalu sopan.
…………………*
Ilustrasi: google
Belum ada tanggapan.