“Malam tak menjadi gelap jika mentari tak pernah pergi, mendung tak akan kelam jika hujan tak perlu lama menanti, aku tak akan merindu jika kau ada di sini”
Barisan syair yang tertulis tipis-tipis pada secarik kertas abu-abu. Murni, wanita muda berparas ayu, sepasang mata sayu yang dipagar bulu lentik teduh, lesung pipi kiri dan setitik tahi lalat di atas bibir mungil merah jambu. Mengukirkan nada rindunya pada bait-bait lirik pilu. Jati, pria bijaksana yang menjadi alasan penantian tak berujungnya. Tiga tahun lalu, pria itu mengucap janji di pinggir kali belakang desa, seberang hutan kayu putih dan bukit jingga. Pemuda desa, berpendidikan. Rambutnya klimis oleh minyak urang aring, tatapan tegas namun senyum mempesona, alis mata tebal, hidung mancung lancip dan kaca mata oval mempertegas wibawanya.
Entah karena tugas atau hal lain, Jati pergi tanpa kabar dan biwara, nyaris wanita yang menunggunya lenyap tanpa harapan. Kalau bukan karena janji itu, tak mungkin ia mau bertahan selama ini. Segala asa yang ia pertaruhkan untuk sang arjuna, semakin pudar oleh masa yang berlalu tanpa mau menantinya meski sekejap saja. Rasanya ingin ia menyusul kemana lentera hatinya itu pergi, namun apa daya, tahu pun tidak dimana Jati berada.
Sejak fajar hingga menjelang senja, tiga tahun berlalu dan Murni masih setia. Pelabuhan kecil sebagai saksi dan rekan penantian. Entah bila kapan berlabuh dan singgah, hanya seraut wajah yang selalu ingin ia sambut senyumnya. Namun, mungkin masih terlalu dini berharap sebuah kedatangan, sementara ia bahkan tak tahu kenapa Jati harus pergi. Mungkinkah karena dirinya? Atau yang lain?
Murni sendiri tak berani untuk bertanya pada Wak Jali, ayah dari pria yang dicintainya. Hanya sekali setelah sepekan Jati menghilang, ia bertanya. Namun baik orang tua itu pun tak tahu kemana anaknya pergi. Jati hanya meninggalkan secarik kertas merah jambu untuk Murni. Tak banyak, dua baris kalimat yang dirasa dalam oleh Murni, namun ia tak tahu apa maksudnya.
“ jika hujan telah reda, lihatlah mentari yang datang untuk menyaksikan keindahanmu. Hingga saat itu tiba, tunggulah aku bahkan hingga ujung penatmu.”
Itulah isi surat merah jambu yang kini setiap saat tak lepas dari genggaman Murni, ia tak tahu benar apa maksudnya, yang jelas ia hanya tahu pria itu ingin agar ia menantinya. Entah sampai kapan, ia akan tetap setia.
Semilir angin senja di pelabuhan perlahan menyapa Murni, rambut hitam lurus sebahunya melambai-lambai bagai tirai malam yang merayu. Ia tak juga beranjak, meski hampir gelap ia masih ingin duduk di sana, hanya duduk saja. Ia khawatir, kalau-kalau ia berbalik atau pulang, sebuah kapal akan menepi, dan ia melewatkan moment untuk menyambut Jati dengan romantis. Tapi nampaknya kekhawatiranya senja itu sama saja dengan waktu-waktu yang telah lalu. Ia hanya sekedar menanti, tanpa tahu yang dinanti kapan kembali, atau akankah ia kembali. Akhirnya ia putuskan untuk pergi, dan kembali lagi esok hari menanti sosok yang sama.
“kau sudah dewasa..”
Kata lelaki paruh baya dengan keriput di sebagian besar kulitnya, cangkir seng bermotif hijau putih dengan teh panas yang asapnya masih mengepul, ia jerat dengan jari-jari tangan kiri, sementara tangan yang lain menggunakan dua jari untuk menjepit dan menyumpit empis yang telah separo terbakar.
“mau sampai kapan kau begini, lihat abahmu yang sudah renta, apa kau tak punya keinginan untuk memberi aku cucu..?”
Kata lelaki tua itu melanjutkan
“ tidak abah, saya masih akan tetap menunggu Kang Jati..?”
“sampai kapan..?!”
“ entahlah Abah, saya sungguh mencintainya, saya tidak mau men..”
“cukup..!”
“saya tidak ingin menikah dengan yang lain Abah..”
“sudah hentikan, selalu saja kau begitu. Lelaki itu tak pernah mengabarimu bukan..?”
“ memang Abah, tapi..”
“ tapi apa lagi, sudah jelas ia tak menghiraukanmu lagi. Untuk apa kau habiskan masamu hanya untuk pria yang tidak jelas..!”
“ tapi saya tetap percaya, ia akan kembali, ia akan meminang saya saat ia telah kembali Abah..”
“ omong kosong, kau hanya berhayal Murni, bangunlah jangan terus berharap pada impian kosong, kau hanya akan menua sebagai penunggu pelabuhan itu..”
Murni diam, matanya basah. Sesuatu di dadanya terasa bergejolak. Bukan, ini tak mungkin sebuah keraguan, ia tak ingin berhenti. Tak boleh.
Hari-hari berikutnya, Murni tetap datang ke pelabuhan, meski hanya sekedar menyapu pandang ke sepanjang samudra dan pelabuhan yang masih bisa tampak padanya. Lalu pergi segera karena tak yakin akan suatu kedatangan. Atau duduk termenung dengan secarik kertas merah jambu, sejak fajar hingga mentari kembali pulang ke peraduan.
Tak ada yang lain, Murni hanya berharap penantiannya itu tak sia-sia. Meski jika akhirnya tak sesuai dengan asanya selama ini, harus ada alasan yang bertanggung jawab mengapa ia harus dan tetap mau menanti hingga waktu yang tak ia ketahui. Kata-kata Abahnya hari itu sempat mengusik relung hati yang selama ini begitu teguh, namun rapuh karena tindakan yang ambigu. Ia tak yakin, apakah Abahnya benar, atau mungkin hanya karena abahnya tak sabar. Ya, tak sabar tentu saja. Karena orang tua itu tak sedang jatuh cinta.
Suatu pagi di penghujung masa dimana padi telah menguning, dan para pencari nafkah tetap tak bergeming dari rutinitas perbudakan diri, oleh diri mereka sendiri. Seperti biasa, perempuan muda berparas ayu dan sederhana itu kembali duduk, di antara tali temali perahu dan jaring-jaring bekas pada sisi paling tinggi dan paling dekat dengan tempat perahu maupun kapal berhenti. Ia melihat beberapa perahu ikan telah menepi, memuntahkan beratus kilo makhluk laut yang segera diserbu oleh pedagang maupun pengepul TPI. Namun ia tak beranjak dari tempatnya duduk, bukan ikan atau gurita yang ia cari. Murni sedang menunggu kalau-kalau kekasihnya itu kembali.
Tiba-tiba suara kecil dari belakang gabus-gabus tempat ikan yang ditumpuk sejajar mengagetkannya
“ mbak Murni ya..?”
Seorang bocah kecil, kurus dengan rambut merah karena matahari dan kulit gosong khas pesisir. Menyapa Murni dengan senyum kaku yang agak dipaksakan.
“ iya, adik siapa..?”
“emm anu mbak, ada titipan untuk mbak..”
“titipan,. Titipan apa..?”
“ini mbak..?”
Bocah itu menyerahkan secarik kertas berwarna ungu dengan bintik-bintik kelap-kelip seperti bintang di pinggirnya.
“dari siapa ini dik..?”
“eh anu Mbak.. Kemarin ada seorang lelaki yang datang kesini dan menanyakan tentang perempuan bernama Murni yang menunggu di pelabuhan..”
“lalu..?”
“saya tidak kenal Mbak, tapi saya ingat kalau Mbak selalu datang kemari setiap hari, jadi saya berfikir mungkin Mbak yang dimaksudnya..”
Kata bocah itu polos, sambil memilin-milin sisi bawah kaos kumal. Seakan sedang mengingat.
“pri..pria..kapan ia datang? Mengapa aku tak bertemu dengannya, aku kemarin di sini jika kau melihatku..?!”
Murni gelisah dan kecewa, mungkinkah itu Jati, tapi ia tak pernah melewatkan sehari pun untuk menunggu di tempat ini, mungkinkah ia lalai karena merenung? Ataukah Jati datang pada malam hari? Fikiran Murni kacau, ia hanya ingin menangis kencang setelah bocah ini pergi.
“ iya, saya juga melihat Mbak kesini, tapi kemarin Mbak hanya sebentar datang, lalu pergi lagi..”
Kata bocah itu pelan, memang benar kemarin Murni tak lama berada di pelabuhan itu karena jenuh menunggu.
“ ia turun kapal tak lama setelah mbak pergi, saya melihatnya menemui seseorang dan mengambil sesuatu seperti kopor kecil dari orang itu, saat bertemu saya ia hanya bertanya tentang Mbak, dan berpesan untuk menyampaikan kertas itu kepada Mbak Murni..”
Murni tak mengerti, meski ia mencoba untuk memahami kata-kata bocah itu. Fikirannya telah mampat. Jati kembali, namun tak menemui dirinya. Jati menemui seseorang, tapi siapa? Penantianya selama tiga tahun ini menjadi sia-sia, ia tak bertemu dengan Jati, atau bahkan melihatnya naik kapal lagi.
Murni tak berhenti menangis, entah berapa lama ia terisak. Bocah kecil itu sudah pergi. Hanya secarik kertas ungu yang kini masih direngkuhnya erat, ia belum sanggup membacanya, tak tahu apa yang kira-kira ditulis oleh pria itu. Mungkinkah surat perpisahan, ataukah Jati mungkin sudah menikah di tempat lain?
Tidak, itu tak mungkin. Ia tahu benar bagaimana Jati, ia tak mungkin mengingkari janjinya. Surat ungu itu, perlahan ia buka. Barisan tulisan rapi yang mengingatkannya pada seorang pria mempesona.
“ Murni, maaf aku tak sempat menemuimu. Maaf aku pergi tanpa berpamitan padamu, bahkan saat sebentar aku singgah di sini. Jika kau membaca surat ini, mungkin aku telah sampai pada tempat tujuanku kembali. Hari ini aku datang untuk mengambil beberapa surat penting, aku berharap untuk menemuimu, namun waktuku begitu singkat. Bapak bercerita jika kau selalu menungguku di pelabuhan selama ini, tapi hari ini aku tak melihatmu meski aku berkeliling di semua sudut pelabuhan. Aku tak tahu harus bagaimana, aku hanya berusaha menyapamu lewat tulisan ini. Meski aku ragu akankah surat ini sampai kepadamu. Murni, aku tak lupa akan janjiku. Aku pasti kembali, tunggulah aku sebentar lagi dan kita akan menikah jika waktunya telah tiba. Maafkan aku, tak sempat mengabarimu selama ini, percayalah hatiku selalu merindukanmu, bagai rumpun-rumpun yang telah berakar pada relung- relung hatiku,memenuhi dada dan akalku. Tunggulah aku kembali, bersabarlah sejenak lagi, aku akan pulang membawakan masa depan indah untuk kita berdua..”
Murni terpaku, air matanya tak berhenti mengalir. Rindu yang pilu menyiksa di sela-sela isak perihnya. Ia menyesal, kenapa ia tak bersabar sejenak kemarin? Kenapa ia begutu terburu-buru pergi? Dipandangnya tulisan itu berulang-ulang. Dibacanya kembali sampai ia hafal kata-kata indahnya. Bersama surat itu ada selembar foto, seorang pria tampan berkacamata duduk di antara barisan buku dan pena.
Jati, pria tampan dalam foto. Di balik foto itu tertulis
“ Pasca Sarjana Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 25 September 2016”
Murni tak tahu apa maksudnya, ia hanya menduga mungkin itu alasan Jati pergi selama ini. Ia tak mau ambil pusing, Murni hanya meyakini satu hal. Jati pasti kembali, dan ia akan terus menanti dengan rumpun rindu yang ia tahu bukan miliknya sendiri kini. Seseorang di sana juga menyemai rumpun itu, hingga tiba waktunya untuk bersama kembali.
Belum ada tanggapan.