Gurauan dalam bahasa Ta* yang tak kumengerti kembali terdengar malam ini. Gemericik tetes hujan masih terdengar lambat-lambat di samping kamarku. Ruangan berukuran 3×3 m2 ini dicat warna hijau dengan padanan jendela dan korden berwarna jingga. Jendela kamarku menghadap rumah-rumah panggung berdinding papan dan beratap seng, -ada juga yang daun rumbia. Bangunan sekolah dasar terlihat jelas di seberang jalan, berdiri kokoh dengan atap seng, berdinding permanen bercat hijau dan jingga. Inilah tempatku mengabdi selama satu tahun ke depan.
Aku bertugas di kabupaten Morowali Utara, tepatnya di sebuah desa dengan mayoritas penduduk berasal dari suku Wana-desa Tirongan Atas. Kehidupanku di sini sama seperti daerah 3T lainnya, sulitnya akses transportasi, tidak ada listrik selama 24 jam penuh, tidak ada buku serta fasilitas penunjang pembelajaran. Dukungan orang tua terhadap pendidikan anaknya juga sangat kurang, terlebih lagi jika dukungan tersebut dalam hal mengeluarkan dana-meskipun untuk sekolah anaknya. Namun, dalam tulisan ini aku tak akan membahas tentang segala kekurangan dan kendala di daerah 3T. Bagiku, segala keadaan di daerah ini hampir sebelas duabelas dengan kondisi desaku di pedalaman pesisir selatan Jawa Timur.
Aku lebih tertarik menceritakan seorang anak yang unik, yang sangat menyayangiku. Sebut saja namanya Liani, seorang gadis kelas IV SD yang tak pernah lelah tersenyum. Pertama kali aku melihatnya dia sedang berdiri malu-malu di belakang pintu ruang guru, mencoba menelisik siapa gerangan yang datang ke sekolah mereka- dengan senyum tentunya.
“Hei hei siapa itu?” bisik bisik suara itu terdengar lamat-lamat di telingaku.
“ Iya siapa itu e? Putih, cantiknya!” bisik yang lain.
“ Guru baru e, mungkin dorang baru masuk hari ini,” suara lain menimpali.
“ Hei apa kalian bikin di sana? cepat masuk kelas!” teriak seorang guru bertubuh tambun dengan jambang dan jenggot di wajahnya.
Suara teriakan itu membuyarkan percakapan asyik sekelompok siswa yang sedang mengintai di balik pintu. Mereka berlari dengan cepat menuju kelas, terpotang panting seperti telah ditiup angin ribut. Ruang guru kembali hening, aku kembali melanjutkan perkenalanku bersama kepala sekolah dan staff guru.
Aku diberikan tugas untuk mengajar matematika mulai kelas III hingga kelas VI karena guru-guru di sekolah ini merasa kesulitan dalam mengajarkannya. Hari pertamaku sebagai guru SM-3T diharuskan mengajar tanpa persiapan apapun. Hari itu hari Senin, jadwal mata pelajaran matematika untuk kelas IV.
Kutatap satu persatu anggota kelas ini, ada 6 orang siswa di sana. Tak susah untuk menghafalkan wajah dan nama mereka, ada Fachri, Dede, Ame, Rachma, Niati dan Liani. Tatapan penuh tanda tanya memenuhi wajah mereka, kemudian saling menoleh dan menatap satu sama lain. Aku langsung memperkenalkan diri dengan seramah mungkin, mencoba menarik hati mereka.
Satu diantara mereka, Liani menatapku dengan senyum merekah di wajahnya, “Bu guru, dari mana kita datang?” tanyanya penuh antusias.
Aku sejenak terdiam mencerna kata-kata yang ia tanyakan. Mungkin maksudnya bu guru datang dari mana ?
Tak lama aku menjawab “Bu guru datang dari Jawa, Jawa Timur. Satu tahun ke depan bu guru akan menjadi salah satu guru kalian di sekolah ini.”
Mereka mengangguk-anggukkan kelapa seolah mengerti. Liani kembali tersenyum, kemudian berbisik dengan teman satu bangkunya, Rachma.
Hari demi hari berlalu begitu cepat, anak-anakku di sini cukup kesulitan dalam memahami setiap mata pelajaran. Buku di sekolah ini sangatlah terbatas, hanya ada satu buku pelajaran untuk setiap mata pelajaran dan itupun merupakan buku pegangan guru. Para siswa hanya mencatat saja apa yang disampaikan guru setiap harinya. Hal ini berbeda dengan Liani, dia anak yang rajin dan cukup pintar untuk memahami setiap materi pelajaran, terutama matematika-mata pelajaran yang kuajarkan.
Liani akhirnya terpilih untuk mewakili sekolah ini dalam PORSENI SD tingkat kecamatan dalam bidang lomba matematika. Aku sebagai guru pembimbingnya setiap sore membimbing Liani dan beberapa siswa lain dalam bidang IPA, puisi dan pidato. Masing-masing dari mereka sangat bersemangat untuk belajar dan berlatih, terutama si gadis murah senyum itu.
Setiap pukul 14.30 WITA anak-anak yang terpilih mewakili sekolah dalam PORSENI SD selalu datang ke rumah untuk sesi latihan.
“ Bu guru, hari ini belajar apa?” tanya Liani penuh semangat.
“ Kita belajar matematika Liani, kamu sudah bawa bukumu?”
“ Sudah bu guru, nanti sebentar setelah matematika kita senam e?”jawabnya lagi dengan penuh semangat.
“ Iya bu guru, senam bu guru,” seru beberapa anak yang lain.
Aku pun akhirnya mengiyakan keinginan mereka. Setelah selesai kegiatan latihan untuk PORSENI mereka selalu senam bersama, sebagai refreshing. Liani sangat senang dengan sesi latihan ini, dia selalu datang paling awal dengan senyum mengembang di wajahnya. Anak ini tak pernah tidak tersenyum setiap kali melihatku, katanya dia sangat menyukai bu guru.
“Ini bu guru, buat bu guru buka puasa sebentar.” Ucapnya tersengal-sengal setelah berlari dari gerbang sekolah.
Satu tas karung besar berisi jambu dan durian diserahkan Liani kepadaku. Anak ini masih berpeluh keringat di wajahnya, mungkin setelah turun dari kebun tak jauh dari desa ini. Sungguh aku sangat terharu dengan pemberian ini, bagaimana mungkin anak seusia kelas IV SD sudah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Pasti orang tua Liani sangat bangga terhadap dirinya, bahkan aku sebagai gurunya pun merasa bangga.
Liani, masih dengan keriangannya setiap hari terus menunjukkan perkembangan yang baik dalam pelajaran matematika. Aku optimis dia akan mampu memberikan yang terbaik dalam bidang lomba yang dia ikuti tersebut. Latihan dan pemantapan materi selama hampir lebih dari satu bulan cukup sebagai bekalnya berkompetisi dengan ratusan anak lain di kecamatan ini.
Menjelang satu minggu sebelum perlombaan situasi yang sedikit janggal terjadi. Liani sudah tak sesering biasanya datang untuk belajar. Aku maklumi, mungkin dia sedang lelah atau bosan karena lebih dari satu bulan belajar intensif matematika. Namun, semakin mendekati hari H Liani tak pernah lagi datang ke rumah tinggalku untuk belajar. Kalau ditanya ketika di sekolah dia tak pernah menjawab, hanya tersenyum kemudian menunduk dan tersenyum lagi untuk kemudian pergi menghindar dari pertanyaan guru-guru.
“Liani kenapa? Kenapa akhir-akhir ini jarang ikut belajar?” tanyaku menyelidik.
“Tiada bu guru, saya hanya sedang bantu jaga adik di rumah.” jawabnya pendek sambil tersenyum.
Aku masih belum puas dengan jawabannya. Kucoba cari tahu dari beberapa orang tentang anak ini. Sampai suatu pagi di kantin aku secara tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu-ibu guru dan ibu kantin tentang pertengkaran orang tua Rivan yang tak lain adalah orang tua Liani. Pertengkaran itu berujung hingga salah satu orang tua hendak membawa pindah anak-anaknya.
Tak hanya itu, bagai daun yang berguguran, Liani yang diharap-harapkan mampu membawa kemenangan dalam bidang matematika ternyata tak mampu masuk dalam jajaran 3 besar. Liani tampak menyesal menatapku, juga teman-temannya yang seakan tak percaya dan menyalahkan Liani. Aku berusaha menghiburnya, bahwa tak masalah apapun hasilnya yang penting adalah proses dan usaha yang kita lakukan sudah maksimal. Ini mungkin hanya waktu yang belum berpihak pada Liani.
Kupikir berbagai permasalahan yang menimpa anak kelas IV SD itu akan sangat buruk berdampak pada perkembangan psikologisnya, namun ternyata anak itu masih saja tersenyum lebar dalam kesehariannya. Aku bahkan sempat mendengar dari teman-temannya bahwa ketika kedua orangtuanya bertengkar, dengan senyum tersungging di wajah dia keluar dari rumah untuk bermain dengan teman-temannya.
Tak pernah terlihat raut wajah yang sendu apalagi sedih. Dia justru tetap riang seperti biasanya, menyapaku dan guru-guru lain dengan senyum lebar merekah seperti bunga matahari. Dibalik semua permasalahan yang menerpa keluarganya, gadis kecil itu masih mencoba untuk terus tersenyum. Senyum yang bahkan akan sulit merekah di bibir siapapun yang mengalami hal serupa-broken home.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, hingga saat kepulanganku semakin mendekat. Anak-anak disekolah mulai menahanku untuk jangan pergi menginggalkan mereka.
“Bu guru, bu guru jangan pergi, kami sayang bu guru”
“Bu guru jangan pergi, tunggu kami lulus kuliah e”
“Bu guru jangan pergi, nanti siapa yang mengajari kami?”
Suara rengekan anak-anakku terus saja terdengar menjelang kepulanganku, terlebih lagi Liani. Anak itu hampir setiap sore datang ke rumah tinggalku- untuk melihat bu guru katanya. Tak jarang dia juga membawakan buah-buahan untukku. Katanya, dia akan sering datang supaya tidak lupa wajahnya bu guru kalau nanti bu guru sudah pulang ke Jawa. Aku tersentuh.
Tibalah hari berakhirnya masa penugasanku di Morowali Utara. Pagi itu belasan anak didikku sudah berkumpul di rumah untuk melihatku sebelum berangkat naik kapal kayu. Mereka mebawakan berbagai kenang-kenangan dan juga surat. Sebagian besar dari mereka menangis sejadi-jadinya ketika aku berpamitan. Berbeda dengan Liani, dia tidak menangis, dia tersenyum sambil berkata kelak akan menyusulku ke Jawa-untuk kuliah. Aku mengiyakan keinginannya, meng-aamiin-i, dan berharap kelak ia akan benar-benar datang ke Jawa.
Aku bergegas masuk ke dalam mobil, mataku berkaca-kaca. Kulambaikan tanganku, meninggalkan semua tangis yang saling bersahut-sahutan, meninggalkan setangkai bunga matahari yang tersenyum menahan isi hatinya.
***
Mobilku melewati tikungan tajam, wajah mereka tak lagi terlihat.
“Sampai Jumpa.” Aku berucap lirih, menurunkan tangan yang kulambai-kan.
Belum ada tanggapan.