-Pagi baginya tidak lebih dari sepertiga langkah,
sepertiga langkah lagi diberikannya kepada siang,
lalu sepertiga terakhir untuk pencariannya akan “kebebasan” .-
…
Ia tak pernah tahu mengapa “kebebasan” menjadi buruan para kawan-kawannya yang mengaku sebagai kutu buku. Ia selalu mengamati dari kejauhan maupun dari kedekatan, sebenarnya apa yang membuat mereka betul-betul mati-matian meneriakkan suara pekikan tersebut. “Kebebasan..!”
Sambil berjalan perlahan, dengan langkah kecil diselimuti pikiran menghantui, ia masih tetap saja merasa aneh ditengah-tengah kawan-kawannya yang ia anggap aneh. “aku yang aneh atau mereka yang aneh ? mengapa kita berbeda?” batinnya. Tak terasa langkah-langkah kecilnya telah menghantarkan kedua matanya tepat dihadapan sebuah toko burung dengan berbagai macam jenis. Toko itu bernama Loving Bird. Ia amati dengan keseluruhan hampir semua burung di tempat itu tersandera, entah dengan kurungan atau pun dengan sebuah rantai mengkilap mengikat di salah satu kakiknya, sebut saja burung itu burung kakak tua.
“ah sudahlah” burung-burung itu nyaman dengan keadaannya” pikirnya.
Lelah mengamati membuatnya memutuskan untuk segera beranjak. 10 menit kemudian sampailah ia di tempat ia tinggal, kamar kost. Cukup luas dan nyaman. Cukuplah untuk menampung seseorang pemikir miskin seperti dirinya.
Keesokan harinya. Setibanya di kelas, lagi-lagi ia masih saja mendengar ungkapan menyedihkan seperti hari kemarin ketika perkuliahan pada jam terakhir, tepatnya pukul 14.00 siang.
“Kebebasan, kebebasan, kebebasan…” kawan-kawannya meneriakkan dengan lantang dan sangat yakin bahwa kebebasan itu luar biasa dan sangatlah mewah.
“ini pembodohan kawan, saat ini kita sedang dalam proses dimatikan. Dikurung, bebal dan mati secara perlahan. Sadarlah kawan” orasi oleh seorang kawannya menggemparkan seisi ruangan kelas.
“Selamat siang anak-anak, kita akan memulai pelajaran pada siang menjelang sore ini” ucap ibu dosen yang baru saja memasuki ruang kelas. Sontak kelas menjadi hening hening dengan kehadiran ibu dosen tersebut. Termasuk kata “kebebasan” yang sudah semakin mengecil menyatu dalam keheningan.
Lagi-lagi isi kepala si pemikir miskin enggan untuk tidak bergejolak. Perkuliahan saat itu tidak diperdulikan olehnya pendengarannya seolah terhenti oleh imajinasi karena fokusnya bukan pada ucapan ibu dosen. “kebebasan”. Lagi-lagi ia mulai mencoba menelusuri istilah itu.
“Aku menagih kebebasan, aku tidak mau mati, tolong jangan bodohi aku” tiba-tiba kalimat itu terlontar dengan nada yang cukup keras dari mulut hitamnya merasuki telinga-telinga kawan-kawan dan ibu dosen. Tidak berselang lama ia berdiri dari kursi duduknya dan kemudian berlari sambil melambaikan tangan dan keluar dari ruangan tersebut. Ia telah membuat semuanya ternganga satu set dengan pertanyaan “apakah ia mulai tidak waras”.
Ia tak mempedulikan apa yang terjadi di dalam kelas, yang ada di benaknya ia hanya ingin “kebebasan” ia merasa mulai menemukan apa yang akhhir-akhir ini membuatnya selalu bertanya dengan dahi berkerut dan membuat kedua bola matanya terlihat lesu karena jam tidurnya selalu terganggu.
Di tepian danau kecil ia mulai mencari sesuatu. Ia amati sekitarnya. Ke sudut kanan, kiri, bawah, dan akhirnya ia temukan di atas. Sekawanan burung sedang terbang bersama, tanpa ikatan rantai dan juga tanpa kurungan besi.
Ke arah burung-burung itu ia berteriak sekencang ia bisa. “Kebebasan, kebebasan, kebebasan.. terbanglah dan ambillah” lima kali ia mengulang teriakannya.
Kemudian, senja pun tiba. Suara adzan memaksa ia untuk segera beranjak menuju ke rumah ibadah. Ia lupa bahwa semestinya dirinyalah yang mengumandangkan “kebebasan”. “Kebebasan maha besar, mari menuju kebebasan” ia menjawab seruan di dalam hatinya. Sekarang fikirannya telah tenang.
BACA JUGA:
- Neoliberalisme dan Kebebasan Yang Seperti Apa?
- Pembebasan Pendidikan a la Paulo Freire
- Tantangan Dunia Pendidikan Kita – Membebaskan Makhluk Automaton
Belum ada tanggapan.