Kemana Langkahku

Aku masih duduk terenung. Di bawah kehijauan pohon-pohon ini, aku menyendiri. Tempat favoritku ketika merindu sejukkan pikiran dan hati. Entah apa orang lain pernah merasakan kedamaian tempat ini atau tidak, aku merasa benar-benar menghirup nafas sampai ke dalam paru-paru, menyebar ke seluruh tubuhku. Di lereng bukit ini memang pemandangan sangat menakjubkan. Tapi aku belum menemukan jawabannya. Tentang tujuan hidupku.

“Toni, kalau sudah dewasa nanti kamu mau jadi apa?”, Riki bertanya padaku saat jam istirahat di sekolah tadi. Aku mengerutkan keningku. Aku sudah SMA, tapi kenapa aku belum punya cita-cita yang jelas.

“Entahlah, Rik”, kutatap mata Riki, “semoga aja jadi orang sukses”.

“Amin.. tapi sukses ngapain nih? Kan harus jelas juga, sukses jadi bupati? Apa sukses jadi dokter? Apa yang lain?”, pertanyaan yang semakin rumit.

Apa yang aku inginkan di kehidupan dewasaku kelak? Aku tak habis pikir tentang masa depanku ini. Tapi kalau aku tak punya tujuan, aku luntang-lantung hidupku. Ayo berpikir. Dewasa nanti aku bakalan punya keluarga. Istri dan anakku kelak harus aku nafkahi. Uang yang cukup berkeluarga. Aku harus bekerja mencari penghasilan. Pekerjaan apa sekarang? Ayahku guru, Ibuku penjahit. Kupikir-pikir lagi. Pekerjaan yang paling mulia adalah dokter. Oke! Aku akan jadikan dokter sebagai cita-citaku.

* * *

Langit mulai gelap bergemuruh. Terkadang disertai kilat-kilat menyala, menakuti setiap orang di bawahnya. Ketika itu aku pulang bersama impian masa depanku. Dengan tekad kuat, aku akan menjadi dokter. Di depan toko baju, aku bertemu Dian. Teman sekolahku.

“Hey, Dian”, sapaku, “beli baju baru yah?”.

Dian tersenyum, “Ah iya nih, kamu mau pulang kan Ton? Bareng yuk”. Kami pun pulang berdua, kebetulan rumah kami searah.

“Kamu udah ngerjain PR matematika?”.

“Belum. Kamu udah?”.

“Udah dong”, jawabku tersenyum.

“Waah, paling juga minta bantuan ayahmu lagi kan?”, Waduh, ketahuan. Dian tahu ayahku guru.

“Hehe..”, aku cuma bisa nyengir.

“Enak yah, ayahmu selalu ada di rumah”, tiba-tiba Dian menunduk lesu. Seperti ada kekecewaan yang terjadi. Tapi aku kan tidak salah bicara.

Oiya, ayahnya Dian kan dokter dan sekarang sedang ada tugas di luar kota. Pasti Dian kesepian ayahnya jarang di rumah. Hmm. Benar juga. Kalau dewasa nanti aku jadi dokter, pasti sibuk banget. Waktuku tersita banyak cuma untuk bekerja. Aku kan harus punya waktu buat keluargaku. Bukan cuma keluarga. Aku juga harus punya waktu buat kerabat dan saudaraku, tetangga-tetanggaku, dan sahabat-sahabatku.

* * *

Sugguh membingungkan. Sampai rumah aku masih memikirkan cita-citaku. Tujuan hidupku. Hidup seperti apa yang akan aku jalani. Sebentar. Biar aku urutkan. Aku harus punya penghasilan untuk kebutuhan keluargaku, tapi aku juga harus punya banyak waktu luang untuk bermasyarakat. Aha! Jadi bos aja. Aku tinggal merekrut orang untuk bekerja dan aku yang mengomando. Sedemikian rupa. Aku bisa berpenghasilan sekaligus punya waktu luang banyak.

“Toni..”, Ibu datang, “lagi ngapain kamu?”.

“Ah Ibu, lagi mikir sesuatu. Eh, Ibu pengen aku jadi apa dewasa nanti?”.

Ibu tersenyum, “Ya terserah kamu nak”.

“Aku pengen punya kerjaan yang banyak waktu luangnya buat keluarga dan orang lain. Setelah mikir-mikir, aku jadi bos aja ya Bu? Kan enak tuh jadi juragan, hidup santai tapi duit pasti. Bisa bermasyarakat tapi nafkah keluarga lancar”.

“Ton.. Ton.. Semua pekerjaan itu bagus. Yang penting kamu jangan lupa beribadah, mengaji, dan menyambung silaturahmi. Hidup di dunia itu cuma sebentar kan? Tapi kamu tahu ada orang yang terkenal dari zaman ke zaman seakan dia hidup sepanjang zaman. Misal Nabi Muhammad SAW terkenal dengan ajaran islam di seluruh dunia dari dulu sampai sekarang bahkan selamanya, ilmuan yang mencetuskan berbagai ilmu, atau di negara kita ada Soekarno, namanya hidup sepanjang masa. Nah, orang seperti itu yang hidupnya tidak sia-sia. Mau jadi apapun kamu nanti, kamu harus jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, kalau kamu bisa berkarya, berkaryalah agar kemanfaatan itu kekal bahkan sesudah kamu mati nantinya”, dengan jelas Ibu menasehatiku.

Senyum lebarku sebagai tanda terbukanya jalan pikiranku.

3 tanggapan ke Kemana Langkahku

  1. Al-Andalusi 27 Desember 2014 pada 15:20 #

    😀 😀 😀

    • Al-Andalusi 27 Desember 2014 pada 15:24 #

      It’s good opus…

    • algebra 29 Desember 2014 pada 23:00 #

      arigatou gozaimasu

Tinggalkan Balasan