Oleh Budiawan Dwi Santoso
Buku berjudul Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya (2014) ini penting dibaca. Dengan membaca buku ini, kita menjadi mahfum bahwa kretek bukan sekadar tembakau kering yang sudah dirajang, dilinting, lalu dihisap, yang menurut publik dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi perokoknya.
Urusan kretek merupakan urusan yang berkaitan dengan sejarah, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Dengan mempelajari pengetahuan kretek, pembaca akan disodorkan sejarah pergerakan, revolusi, dan sejarah ekonomi-sosial, yang membentuk Indonesia.
Pembaca bisa menilik peristiwa sejarah, tanggal 3 Juni 1953. Pada tanggal itulah, ada sejarah yang menentukan harga diri bangsa dan menautkan hubungan antara luar negeri, tepatnya Inggris dengan negeri kita.
Sejarah tersebut bermula dari peristiwa yang dialami Ir. Soekarno dengan Haji Agus Salim. Soekarno memberikan tugas pada Haji Agus salim, tak terkecuali Sri Paku Alam dan Duta Besar Republik Indonesia di Inggris untuk mewakili Presiden Republik Indonesia menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth II. Dalam upacara penobatan itulah, terdapat secuil potret kisah yang menarik dan barangkali telah terlupakan kita, yakni rokok dan tokoh Haji Agus salim.
Haji Agus Salim menghisap rokok, seperti halnya para tamu dan pejabat yang diundang. Namun, yang membedakan Haji Agus Salim dengan rokok para tamu adalah Agus Salim menghisap rokok kretek. Ini yang juga membuat bau rokoknya berbeda dengan bau rokok para tamu. Sampai-sampai, saat ia berhadapan dengan Pangeran Duke of Endiburgh, suami Ratu Elizabeth, si Pangeran bertanya kepada para hadirin, “Dari manakah bau yang tidak sedap itu datangnya?”
Maka, Haji Agus Salim menjawabnya, “Yang Mulia, bau yang tidak sedap itu adalah bau rokok kretek yang sedang saya hisap yang dibuat dari tembakau dan cengkih. Boleh saja Yang Mulia tidak menyukainya. Tapi justru bau inilah yang menarik minat pelaut-pelaut Eropa datang ke negeri kami tiga abad yang lalu.”
Jawaban dari Agus Salim di atas, justru membuat kita—tak terkecuali mereka yang bersama dan berada dalam acara—menjadi sadar akan sejarah pangan, sejarah Indonesia pada tempo dulu. Ini juga menjadi jawaban satire yang mampu ‘menonjok’ sebuah bangsa dan negara lain—dalam hal ini direpresentasikan lewat Pangeran Duke of Endiburgh. Pasalnya, jawaban Agus Salim tepat mengenai sasaran, yang mengakibatkan Pangeran tersebut tak dapat berkutik lagi.
Kisah dapat ditilik lewat buku otobiografi Haji Agus Salim maupun pada buku ini, sebenarnya bukan sekadar menjadi buku sejarah atau pengingat generasi muda pada tokoh pahlawan nasional saja. Lebih dari itu, potret kisah tersebut memberi tafsir dan perspektif pada kita bahwa barang sekecil apapun—atau lebih tepatnya sebatang rokok—bisa menjadi modal alat perlawanan terhadap siapa pun, tanpa harus mengorbankan nyawa dan menghabiskan harta benda.
Adapun penjelasan relasi antara kretek dan nasionalisme dalam buku ini bermula dari realitas sejarah Indonesia pada masa kolonial. Dimana, perekonomian Indonesia pada saat itu dimonopoli oleh pihak kolonial. Baru pada tahun 1930, terjadilah depresi ekonomi di Eropa sehingga pemerintah kolonial Hindia Belanda turut terkena imbasnya. Peristiwa tersebut bersamaan dengan terbentuk dan berkembangnya pergerakan nasional bentukan mahasiswa bumiputra.
Mereka sadar bahwa untuk menggerakkan revolusi tidak hanya lewat ranah politik, tetapi juga dalam ranah ekonomi, salah satunya mendirikan pabrik kretek yang dikelola oleh kaum bumiputra. Praktik ekonomi-politik ini, memberikan sumbangsih dalam perlawanan kaum bumiputra dengan pihak kolonial, terutama secara materi.
Tidak hanya itu, buku ini juga memaparkan tentang sejarah kretek setelah masa kemerdekaan, masa Orde Baru, dan masa kini. Suguhan kretek dalam pandangan sejarah ini membawa pemahaman dan kesadaran bagi kita (pembaca) lebih lanjut tentang terbentuknya industri kretek, pendirinya siapa saja, lalu penyebarannya, dan bagaimana kebijakan tata niaga cengkih dari pemerintah pada pengusaha kretek maupun kontribusinya terhadap bangsa Indonesia, tak terkecuali, budaya merokok kretek (ngudud), yang menurut Aprinus Salam, memiliki potensi sebagai heritage atau warisan budaya dan bisa menjadi salah satu penanda identitas Indonesia.
Lebih lanjut, dengan mengetahui kontribusi industri kretek Indonesia, seperti mereka mengadakan gerakan pembagian dan penanaman 1 juta lebih bibit tanaman; pemberian beasiswa olahraga; dan beasiswa pendidikan pada ribuan beswan di pelbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, akan menjadikan kita semakin mahfum bahwa industri kretek memberi efek domino bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat Indonesia sampai kini.
Dari kemahfuman inilah, yang akan membangkitkan sikap kritis, optimis, dan memiliki pandangan komprehensif terhadap kretek, di balik segala kontroversi dan dinamikanya. Oleh sebab itulah, kenapa buku kretek ini penting dibaca bagi siapa saja.
Belum ada tanggapan.