helen-keller

Helen Keller: Menerobos Keterbatasan

Apa jadinya jika kegelapan abadi adalah sahabat karib Anda? Apalagi jika ditambah dunia hening tanpa suara harus jadi semesta untuk Anda tinggali? Dua pertanyaan inilah yang menjadi pokok cerita buku, “Aku Buta dan Tuli Sejak Bayi”. Sebuah tuturan pengalaman nyata karya Helen Keller yang tersaji dengan gaya sederhana dan penuh perasaan.

Helen Keller adalah seorang perempuan yang lahir pada 27 Juni 1880 di Tuscumbia, sebuah kota kecil di barat laut Alabama, Amerika Serikat. Awalnya, dia lahir normal seperti bayi pada umumnya. Tepat saat ia berusia 19 bulan, sebuah penyakit menghinggapinya. Itu membuat penglihatan dan pendengarannya tiba-tiba raib. Sejak itu, dunia Helen menjadi gelap, tanpa suara. Ia terhempas dalam mimpi abadi. Tak mampu lagi dibedakannya apakah sedang terlelap atau terjaga.

Lewat tulisan tangannya, Helen bercerita bagaimana dia menjalani keseharian. Alam memang selalu adil. Dia mengakomodasi setiap kebutuhan manusia. “Bila mata cacat, sehingga tak dapat lagi menyaksikan keindahan wajah pagi,” kata Helen, “indera peraba akan menjadi lebih kuat dan peka.” (hlm. 47).

Sehingga, tak heran jika tangan menjadi organ vital bagi Helen. Tangan berperan sebagai mata agar dia bisa merasakan keindahan dunia. Dengan nada optimis, Helen mengatakan, “…dengan tangan kuraih dan kugenggam segala yang dapat kutemukan pada tiga dunia: fisik, intelektual, dan spiritual. (hlm. 35)” Tangan menjadi jembatan bagi Helen untuk memahami dunia luar. Lewat tangannya, dia bisa mengenali orang, merasakan emosinya, bahkan membaca karakter seseorang.

“Kebutaan tidak membatasi visi mentalku (hlm. 125).” Sepenggal kalimat ini cukup sebagai tanda sikap optimis Helen pada kehidupan. Di tengah keterbatasan, dia tidak mau menyerah. Malah, segudang prestasi berhasil diukirnya.  Dia menjadi mahasiswa buta-tuli pertama yang diterima di Radcliffe College pada 1900. Dia pun berhasil meraih gelar diploma pada usia 24 tahun. Masih ada sederet prestasi yang membuat kita tercengang. Bahkan, manusia dengan panca indera lengkap pun belum tentu bisa menyamai prestasinya.

Persis inilah yang membuat buku ini terasa begitu spesial. Dia mengajarkan sebuah prinsip maha penting dalam menjalani kehidupan. Kita tidak boleh menyerah pada segala kekurangan yang ada. Alih-alih meratapi segala keterbatasan, Helen jadi inspirator bagaimana menerabas itu semua dan mentransformasinya jadi hidup lebih produktif dan berfaedah.

Bagian yang paling menarik adalah seruan Helen agar kita lebih kreatif serta penuh imajinasi dalam mengakali segala kekurangan. Dia mengatakan perbedaan utama mereka yang buta dan tidak, ada pada imajinasi dan keberanian untuk mencari pengetahuan yang melampaui indera (hlm. 85). Imajinasi menjadi penting karena, menurutnya, itulah elemen dasar pembangun dunia. Bukankah fisikawan masyhur, Albert Einstein, pernah berujar bahwa imajinasi lebih hebat dari ilmu pasti?

helen-keller

Judul : Aku Buta dan Tuli Sejak Bayi
Serial : –
Penulis : Helen Keller
Genre : non-fiksi
Penerbit : Kayla Pustaka, Jakarta
Cetakan : Cetakan Pertama, 2010
Format : Cetak
Halaman : 180
Sumber : Koleksi Pribadi

Jika diperbolehkan menyarani, Helen sebaiknya mengurangi kepastian-kepastian epistemologinya dalam memahami realitas. Misalnya, dia dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa secara filosofis, pikiran non-materi inilah yang merupakan dunia nyata (hlm. 128). Dalam hal ini, dia terjebak dalam semangat romantisme abad 18. Era yang sangat menekankan penilaian berdasarkan emosi terhadap segala sesuatu.

Pendapat ini diperkuat dengan pernyataannya bahwa, “Ketajaman penglihatan kita tidak bergantung pada kemampuan mata, tetapi pada kemampuan kita merasakan (hlm. 95).” Dunia, bagi Helen, adalah cerminan mental permanen (hlm. 117). Sehingga untuk bisa melihat luasnya semesta, manusia harus masuk dalam wilayah penglihatan batin (hlm. 118). Tentu saja posisi ini masih sangat terbuka untuk diperdebatkan.

Namun, kekurangan ini, sebenarnya, bisa dimaklumi mengingat keterbatasan Helen sendiri. Rasa kagum dan hormat pada sosoknya tidak serta-merta berkurang begitu saja. Dia tetap menjadi pribadi yang patut diteladani, khususnya, dalam sikapnya terhadap kehidupan.

Buku ini layak dibaca karena selain mengajarkan optimisme, dia pun menunjukkan tentang sisi lain kehidupan. Hidup memang tak melulu bicara tentang logika dan kerumitannya. Helen, setidaknya, memperlihatkan bahwa perasaan pun merupakan anasir penting dalam memahami realitas. Lewat tuturannya, Helen menjelaskan bahwa ada kala dimana hanya perasaan yang bisa menjangkau ceruk-ceruk kehidupan yang tak bisa dipahami logika. Yah, misalkan saja dunia Helen yang bisu tanpa cahaya.

Gaya bercerita yang sederhana membuat buku ini renyah untuk dinikmati. Kalimat disajikan dengan efektif sehingga memudahkan pembaca untuk mengerti maksud penulis. Contoh-contoh yang digunakan pun simpel sekaligus menjamin pembaca tidak akan mengerutkan kening kala menyusuri halaman demi halaman dari buku.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan