media-dan-politik

Relasi Media dan Politik di era Kebebasan Pers

            Tumbangnya 32 tahun rezim otoritarianisme membawa Indonesia menuju terbukanya kran demokratisasi di segala lini kehidupan politik. Tak terkecuali dalam konteks kehidupan pers. Lahirnya UU No. 44 tahun 1999 telah meligitimasi kebebasan tersebut secara konstitusional. Kematian SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers), senjata utama rezim Soeharto untuk mengontrol pers, ramai-ramai dirayakan.

Lebih lagi, reformasi 1998 menyimpan satu poin agenda penting yang kemudian menjadi pembahasan dalam buku ini, yakni soal terwujudnya kebebasan pers. Buku “Media dan Politik” merupakan karya berbasis riset yang tidak hanya menggagas kebebasan pers tetapi juga berbicara secara khusus relasi oposisional pers atau media massa terhadap pemerintahan. Begitu Salvatore Simarmata mencoba mengurai dengan gamblang dengan diperkuat data-data lapangan untuk membahas hal tersebut.

            Pengertian umum yang kita ketahui soal pers yakni sebagai media penyampaikan informasi ruang publik secara objektif (cover both side), akurat, independen, dan proporsional. Hal tersebut secara normatif dan etis sebenarnya sudah tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dengan tujuan untuk menjamin kemerdekaan pers serta menjamin hak publik mendapatkan kebenaran informasi. Namun, bagaimana jika pers atau lebih khusus dalam buku ini disebut media massa tentang perannya jika dihadapkan dengan politik elit dalam hal ini kekuasaan yang sarat kepentingan(?)

            Salvatore Simarmata mencoba mengkaji dengan jeli dan mendalam mengenai posisi pers dalam konteks demokrasi, sebab pers merupakan pilar keempat demokrasi. Salah satu fungsi demokrasi pers tersebut adalah menjalankan fungsi watchdog terhadap kekuasaan[1]. Namun yang menjadi permasalahan selanjutnya apakah media dapat independen untuk menjalankan fungsi kritiknya, atau malah sebaliknya, menjadi alat propaganda elit politik saja? Mengingat dengan fungsi demikian, membuat pers dekat dengan struktur politik kekuasaan.

Politik Oposisi Media

            Kajian tentang relasi media dan politik tetap menarik dan penting dalam era demokrasi seperti sekarang ini. Keterlibatan pers secara bebas aktif merupakan konsekuensi logis adanya sistem demokrasi. Secara konseptual, kebebasan ini merupakan resultansi dari hak kebebasan berekspresi yang diproteksi dalam konstitusi Negara. Salvatore memposisikan fungsi pers sebagai the fourth estate atau watchdog dalam proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan inilah yang digunakan untuk menjadi monitor of power yang berdampak pada penyehatan Negara.

            Media melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap proses politik yang dianggap perlu diketahui oleh masyarakat. Peran inilah yang diharapkan dijalankan oleh media guna memajukan demokrasi [2]. Banyaknya penyelewengan kekuasaan, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), pelanggaran HAM, mafia peradilan, dll kemudian perlu untuk masyarakat ketahui melalui pers.

            Ketika elit kekuasaan ada penyalahgunaan wewenang dan tidak berpihak pada masyarakat, maka tugas pers untuk “menggonggong” penguasa. Sikap inilah yang selanjutnya akan membentuk opini publik sekaligus penyadaran politik bagi masyarakat sipil itu sendiri.

            Ada dua hal penting dalam buku ini bagi media ketika akan menjalankan fungsi watchdog-nya; pertama, media harus berani melakukan kritik terhadap para pemerintahan dan pejabat politik lainnya; kedua, sikap politik tersebut dilakukan sebagai bentuk tindakan independen atau otonom. Karena sampai pada hari ini banyak terjadi pers hanya dijadikan sebagai alat propaganda elit politik. Semua bisa kita lihat ketika beberapa waktu lalu banyak sekali isu nasional yang diberitakan dan banyak pula pemberitaan media yang memiliki tendensi politik praktis.

            Tentu pers mempunyai sikap politik tersendiri pada koridor-koridor tertentu diluar struktur politik kekuasaan. Hal inilah yang dipandang sebagai posisi pers dihadapan elit pemerintahan di Negara demokrasi.

Realitas Media Hari ini

Buku buah penelitian milik Salvatore ini memaparkan secara objektif dengan metodologi ilmiah bagaimana seharusnya posisi pers secara ideal berperan di tengah arus demokratisasi politik di Indonesia dengan mengambil sampel 3 media massa utama saat itu[3]; Kompas, Media Indonesia, dan Republika. Pemilihan latar historis itu bukan tanpa alasan. Munculnya beberapa kasus besar seperti cicak vs buaya, Bank Century, mafia pajak, gurita Cikeas, dan lain sebagainya menjadikan pemerintah mendapat sorotan tajam pers di Indonesia.

Kondisi yang demikian sebenarnya merupakan ujian integritas bagi pers. Fungsi kritis menjadi vital untuk mejaga demokrasi tetap “sehat”, independensi sangat penting untuk berjarak dengan “intervensi”. Maka pandangan yang otonom-lah seharusnya pers memposisikan diri. Otonom disini didefinisikan sebagai sikap kritis dan independen yang dilakukan secara pro-aktif, bukan reaktif dengan mengadopsi pandangan dalam struktur politik tertentu. Informasi harus terbebas dari kontrol otoritas.

Salvatore berpandangan bahwa media di Indonesia hari ini bercorak libertarian. Dimana pers telah menikmati udara kebebasan, baik dalam regulasi maupun praktek jurnalistiknya. Dalam prakteknya, khususnya di Barat, prinsip libertarian itu mencapai titik jenuh yang justru menghapus peran populis dari media itu sendiri. Kebebasan yang tadinya untuk maksud mulia berubah pada pemenuhan hasrat-hasrat privat para pemilik media yang bermuara pada komersialisasi dasn komodifikasi. Sifat demokratis dari pers sebagai penyebar informasi untuk pengambilan keputusan politik mulai tergeser oleh kepentingan kapital[4]

Ini menjadi persoalan sekaligus paradoks tak usai. Kondisi tersebut seolah menjadi distorsi yang umum dijumpai di Indonesia. Sehingga pada akhirnya tak sedikit media yang menggadaikan integritasnya karena didominasi oleh kepentingan komersial dan komoditas politik, membuat fungsi idealnya termarginalisasi.

Bagaimanapun juga buku ini masih cukup relevan untuk dijadikan sebagai tinjauan kacamata akademis untuk melihat realitas media hari ini. Walaupun era sudah berbeda dengan latar historis penelitian penulis buku.

Menjamurnya new media di era digital hari ini menjadikan setiap orang semakin bebas memberikan informasi apapun ke ruang publik. Hingga munculnya media-media alternatif pengganti media konvensional. Membuat tantangan baru yang semakin kompleks-pun hadir, lebih dari yang dipaparkan oleh buku ini.

 


[1] Salvatore Simarmata, Media dan Politik: Sikap Pers terhadap Pemerintahan Koalisi di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hal. 3

[2] Ibid

[3] Yakni saat penelitian dalam buku ini dilakukan (masa pemerintahan Presiden SBY periode kedua) 

[4] Salvatore Simarmata, Media dan Politik: Sikap Pers terhadap Pemerintahan Koalisi di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hal. 90-91

media-politikJudul               : Media dan Politik: Sikap Pers terhadap Pemerintah Koalisi di Indonesia

Pengarang       : Salvatore Simarmata

Penerbit           : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tebal Buku      : xxvi + 258 halaman; 14,5 x 21 cm

Tahun Terbit    : Agustus 2014

No. ISBN        : 978-979-461-895-0

 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan