Merpati Yang Hilang

Tiba-tiba aku memiliki perasaan yang amat kuat untuk bertanya kepadamu, “Kau pernah melihat merpati? Bahkan di dalam mimpimu sekalipun?”

Maksudku adalah bila kau sedang duduk di depan benteng Vredeburg pada sabtu sore sekitar jam lima, di antara sesak manusia dan macet kendaraan dan lantas berpikir mengenai merpati. Pemikiranmu membuat tubuh dan jiwamu bergetar, sehingga ada selintas kalimat terceplos ke dalam sanubarimu, “Ya ampun, sudah lama sekali aku tidak melihat merpati. Kali terakhir adalah di kelas 5 SD. Tiga belas tahun yang lalu!”

Dulu merpati tentu ada di mana-mana; di atap rumah dan di tempat biasa kau duduk bertemu kekasih SMA – mu. Sesekali kau bahkan pernah melemparinya dengan sekerat roti saat kawanan merpati sementara berjemur di dekat kolam sambil mematuk-matuk bumi dengan paruh imut mereka. Lalu merpati menghilang begitu saja. Seperti ada satu tangan raksasa mengumpulkan mereka semua pada sebuah malam sepi lalu raib bersama. Tidak ada yang bakal tahu kapan mereka mulai hilang. Hanya hilang begitu saja. Kau tidak akan menemukan bekas kandangnya di siku-siku atap rumah atau dahan pohon. Bulu dan kotorannya ikut tergusur pergi.

Kau tahu, dulu merpati sering mengantar surat. Seorang gadis mengikat gulungan kertas di salah satu kaki merpati itu lalu menyuruhnya terbang beberapa kilometer menuju rumah tertentu, lalu terbang pulang dengan surat balasan, biasanya. Itu sebabnya ada pesawat bernama merpati, merpati pos dan lain sebagainya.

Mungkin ponsel dan internet yang pada akhirnya menyisihkan mereka. Ketika orang-orang berhenti menulis surat dan tidak memerlukan mereka, para merpati terbang pergi. Tapi, bukankah seharusnya mereka tetap merasa bebas di kota ini? Sambil mengepakan sayap turun dari puncak-puncak gedung pada pagi-pagi atau sore hari?

Sekelompok wanita datang kepadaku, tiga orang dari mereka membawa sekumpulan tangkai bunga untuk dijual, yang nantinya dana akan disumbangan kepada korban gunung Merapi, hampir bersamaan menawarkan bunga itu kepadaku. Tetapi yang terjadi adalah aku nyaris bertanya kepada mereka tentang merpati yang hilang. Mereka pasti tidak pernah berpikir mengenai merpati; seolah-olah tahun-tahun itu tidak pernah ada. Melihat mereka Aku merasa sedang duduk di pinggir jalan di kota asing, dengan orang-orang yang tidak kukenal yang tidak menyimpan memori tentang merpati di kepala mereka. Bahkan dalam mimpi-mimpi mereka yang sulit, tidak ada satu pun yang melihat merpati. Ibaratnya pada tahun 1998, merpati itu adalah sekelompok orang yang diculik dan tidak pernah dicari lagi.

Namun, kalau dipikir-pikir, aku baik-baik saja tanpa perlu melihat merpati bukan? Toh aku tidak mungkin melakukan hal gila hanya untuk sebuah kesempatan kecil demi melihat merpati yang hilang itu.

***

Tetapi aku berkata padamu, seekor merpati telah datang kepadaku, pada subuh pagi tadi di warung mie pelangi tempat setiap hari dari pagi hingga malam aku memasak dan menunggu pelanggan.

Mula-mula, seorang wanita, entah tahu nomorku dari siapa meneleponku pada jam 23.55 malam sebelumnya. Saat itu aku telah menutup warung. Kubuatkan secangkir kopi hitam lalu duduk menuliskan beberapa catatan penting. Biasanya, Aku menulis tentang pemasukan hari itu atau beberapa barang yang sudah setengah habis dan perlu dibeli lagi sebelum hari minggu. Selain itu, aku selalu menuliskan catatan mengenai untung-rugi; apa untungnya menjual rokok secara eceran ketimbang menjualnya per bungkus, apa ruginya kalau aku bangun lebih cepat lalu tidur lebih larut, apa untungnya menjalani hidup dengan cara ini dan apa ruginya kalau nanti aku memilih mengakhiri hidup dengan cara itu.

Ponselku masih tergeletak di atas lemari perkakas saat nada deringnya membuatku was-was. Aku jarang mendapat telepon tengah malam dari seseorang, dan ketika hal itu terjadi deringannya memicu alarm dalam kepalaku bahwa hal buruk akan kudengar dari dalam telepon itu.

“Halo?” aku berdiri di samping lemari perkakas, menekan sebelah tanganku ke dinding. Seseorang di ujung telepon sementara membersihkan tenggorokannya kemudian berbicara kepadaku.

“Maaf kalau terpaksa saya mengganggumu.” Katanya.

“Tidak apa-apa, aku sudah selesai kerja.” Jawabku tanpa berpikir.

“Saya sedang dalam perjalanan tetapi tidak ada restoran yang buka pada jam begini.”

Aku mencoba menebak arah pembicaraannya dan kudapati asumsiku bahwa wanita itu pastilah seseorang yang mengenalku sehingga dia tahu kalau aku biasa membuatkan mie pelangi untuk orang-orang. Kupikir dia akan memintaku membuatkan semangkuk mie saat dia tiba nanti.

“Kamu pasti tidak mengenalku. Kita sama-sama tidak saling mengenalkan, jadi maafkan aku jika aku meneleponmu selarut ini.”

“Kalau begitu, anda siapa?”

“Saya meneleponmu karena hanya nomor ini yang saya punya dalam handphone. Siang tadi saya pergi ke toko barang bekas untuk mencari ponsel murah. Penjualnya menawari ponsel ini dengan harga murah jadi saya ambil. Ternyata ada satu nomor yang tertinggal oleh pemilik sebelumnya jadi saya meneleponmu.”

“Aneh.”

“Tidak aneh jika kau pernah menjual ponsel bekasmu.” Sahut wanita itu. Suaranya sangat jernih, seperti bukan keluar dari dalam ponsel namun mengalir tenang dari kepalaku menuju telinga. Sangat dekat.

“Begitulah. Seingatku, aku belum pernah menjual ponsel bekas.” Aku kembali ke meja, menutup catatanku kemudian pergi ke kursi dekat jendela. Wanita di seberang belum berbicara sesuatu lagi. Aku menyangka dia telah menyadari bahwa kebohongannya terbongkar dan telah memutuskan untuk menutup telepon. Namun sedetik berikutnya dia berbicara lagi.

“Omong-omong, bagaimana tahun barumu?”

Sekarang tanggal tiga belas bulan januari 2012, aroma tahun baru mulai lindap perlahan.

“Aku pergi ke toko yang menjual resep masakan, lalu menemukan sebuah resep membuat soto dengan kuah air kelapa. Namun aku malah membeli resep baru membuat mie pelangi.” Sahutku antara berbohong dan tidak. Aku berbohong sebab aku tidak pergi ke toko penjual resep sementara resep baru membuat mie pelangi kubaca dari Koran kira-kira bulan oktober tahun lalu.

Seekor lalat terbang mengambang di atas meja dekatku.

“Bagaimana denganmu?”

Terdengar bunyi kasak-kusuk, mungkin dia sedang berbaring di atas kasur dan tidak bisa tidur sehingga hanya bolak-balik dari telungkup ke posisi menyamping.

“Tiap kali tahun baru saya tidak merayakannya. Alih-alih merayakannya dengan bersenang-senang, saya memilih untuk bersedih. Tiap kali tahun baru adalah sebuah lilin yang padam.” Katanya.

“Sebuah lilin yang padam.” Gumamku.

“Ya, betul tidak?”

Aku mengangguk dalam keheningan.

“Jika kau sudah tua nanti, kau akan tahu bagaimana rasanya. Sekarang mungkin kau masih senang merayakan tahun baru, seolah-olah sebuah lilin kehidupan ditambahkan ke atas kue ulang tahunmu. Baru setelah kau sudah tua, kau akan merasa bahwa setiap tahun baru dan setiap ulang tahunmu adalah satu tahun yang akan berkurang. Kau seperti sedang berjalan menuju akhir.”

Sementara Aku menyimak wanita itu, kata-katanya membentuk bayangan di kepalaku; sebuah lorong dengan lilin yang padam satu per satu.

“Bagaimana mungkin kau tidak bersedih untuk kehilangan satu tahun dari hidupmu?”

“Ya, aku mengerti.” Kataku.

“Jadi, kau takut menjadi tua atau takut mati?”

“Kedua-duanya.”

“Saya tidak takut mati. Hanya usia tualah yang membuatmu disepelekan, lumpuh, dan keriput. Kematian tidak menawarimu hal-hal semengerikan itu. Menjadi tua, saya merasa ibaratnya sepotong lilin yang membakar dirinya sendirinya hingga tetes terakhir. Sebelum mati oleh cairannya sendiri.” Jelasnya.

“Berapa usiamu sekarang?”

“Saya lupa. Maaf, saya tidak bisa memberitahumu.”

Aku menekan pengait jendela hingga terlepas kemudian menggesernya perlahan hingga setengah terbuka. Bau malam menggelayut dalam udara yang setipis sutra, aku seakan dapat melihat wajah wanita itu samar-samar di balik tiang listrik. Cahaya lampu jalan yang kekuningan membentuk potongan wajah dari ingatanku; wajah mantan pacarku, wajah ibuku lalu wajah seorang wanita yang muncul begitu saja. Bergantian mirip bagian awal dari sebuah film.

“Kau pasti sudah ngantuk.”

“Sejujurnya iya.”

“Sebenarnya saya sedang dalam perjalanan mencari seseorang yang masih memelihara merpati.”

“Oh, kau ingin membeli sejumlah merpati..”

“Bukan. Saya berhenti di warung-warung yang buka sepanjang malam. Ketika pelayan datang padaku, aku bertanya ‘pernahkah kau melihat merpati?’ dan pelayan itu hanya memberiku buku menu sambil tersenyum.”

“Kau bepergian hanya untuk mencari merpati?”

“Tidak juga. Hm, percayakah kau, kalau sebenarnya merpati bisa tinggal di dalam tanah?”

“Apa?”

“Aku pernah melihat seekor merpati menggali lubang pada sebuah lahan sawah kosong pada musim panas di kebun ayahku, menggali seperti ayam jantan dengan kakinya, lalu ketika lubang sudah sedikit dalam dia masuk ke dalamnya. Mulanya aku berpikir dia sedang mencari cacing atau kalau sedikit sinting merpati itu pasti hendak bertelur.”

“Lalu apa yang terjadi sesudah itu?”

“Waktu itu saya masih kecil. Saya dipanggil ibu sebelum melihat kejadian apa selanjutnya. Tetapi keesokan harinya, saya pergi melihat lubang itu dan ternyata tanah telah tertutup di atasnya. Saya tidak berusaha menggali, hanya melihatnya sekilas dan melewatinya begitu saja. Baru kemudian, suatu hari, kira-kira setengah tahun kemudian, saya sedang berjalan-jalan dengan saudara saya ketika kami menyadari sebuah lubang sedang terbuka dari dalam…”

“Apa?”

“Kau pernah melihat tanah yang retak pada musim panas?”

“Pernah. Seperti kulit kayu yang terkelupas.”

“Nah, tanah itu retak di beberapa bagian, saya dan saudara saya memeriksanya lalu kami menemukan tumpukan bulu burung.”

“Mungkin binatang lain telah memakan burung itu, hingga menyisakan bulu-bulunya.”

“Tidak. Itu memang tempat istirahat si merpati, selama setengah tahun dia tinggal di dalam tanah, membuat kasur dari bulunya sendiri dan memakan belatung serta cacing yang lewat di sekitarnya.”

“Sulit dipercaya.”

“Iya memang, lagipula saat itu kami masih tujuh atau delapan tahun. Masih sangat kecil untuk membedakan apa itu kenyataan atau hanya bayangan dalam kepala.”

“Sekarang sudah subuh maaf kalau aku harus istirahat…”

“Oh, baiklah. Sampai jumpa lagi. Saya hanya menelepon untuk memberitahumu soal merpati itu. Jangan pikirkan tentang ponsel bekas itu.”

“Iya, itu pasti kesalahan.”

“Mungkin saja. Sampai jumpa kapan-kapan.”

Nah itu dia. Merpati itu muncul dalam benakku tepat ketika telepon dari wanita itu tidak bersuara lagi. Sepetak kecil tanah terkuak kemudian muncul puncak kepala seekor merpati dari dalamnya, mirip kecambah kacang polong yang baru tumbuh. Sebelum aku menyadari apakah aku sedang bermimpi atau bukan, bentuk merpati itu telah utuh. Paruh hingga pelipur mata berwarna merah, dadanya kelabu, sayapnya percampuran antara kelabu terang dan gelap, sementara kaki hingga jejari pun merah. Aku melihat kepada merpati aneh itu dan dia balik menatapku; benar-benar menatapku, bung! Seolah-olah dia hendak bertanya;

“Apakah aku mengenalmu?”

“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

Pertanyaan yang sama yang seharusnya kuberikan kepada wanita itu.

*****

Jadi, begitulah mengapa Aku bertanya tentang merpati. Di tengah sesak manusia dan macet kendaraan; aku melihat ke depan kepada bangunan tua peninggalan kolonial Belanda, mencari-cari sesosok merpati saja, kalau kebetulan tersesat dan ada.

Jika saja saat ini aku berbicara kepada seseorang di sekitar sini tentang Merpati dia bisa jadi terkejut lalu bilang;

“Benar juga, sudah lama sekali aku tidak melihat merpati. Astaga, aku baru sadar sekarang!”

Saat pikiranku mulai tenang, aku berharap bisa kembali ke kamar dan tidur dengan damai. Jika beruntung, aku akan terbangun dan menyadari bahwa ini semua hanyalah sepotong mimpi yang hanya perlu diingat sebentar kemudian dilupakan selama mungkin. Namun, dalam perjalanan pulang itu, tiba-tiba jantungku seakan naik ke tenggorokan hingga membuatku sesak napas, lututku bergetar dan seolah sebuah pertanda bahwa dalam hitungan detik aku akan lumpuh seperti patung, karena di atap rumah yang tercabik dan usang di pinggir jembatan sayidan, yang tampak jelas dari balik jendela busway, dua ekor merpati sedang bertengger. Seekor berwarna hitam dengan bulu-bulu merinding sementara paruhnya sedang membersihkan kutu dari badannya, dan seekor berwarna putih dengan kaki merah menyala. Burung-burung itu terpapar sinar matahari sore dan seekor yang putih itu terlihat sedang melamunkan sesuatu. Di bawah sinar matahari sore kedua merpati tersebut tampak bagaikan lukisan yang sengaja dibuat kelabu dan suram.

Perasaanku sunyi dengan sendirinya sementara jantungku turun kembali ke tempatnya. Senyum ganjil melesak dari bibirku, lalu ada keinginan yang sangat kuat dalam diriku untuk memberitahumu agar kau tidak perlu mengingat ceritaku tentang merpati yang hilang.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan