cerita-misteri-muya

Terungkapnya Rahasia Mulya

“Apa kabar Ayu, sudah lama tidak bertemu?” Tanya seorang perempuan yang entah dari mana datangnya tiba-tiba duduk di sebelah kiri Ayu. Ayu tersentak, sebab dia sadar benar bahwa dari tadi di bangku kereta tempat dia berada  itu tidak ada seorang pun yang menemaninya, kecuali seorang nenek tua yang sejak setengah jam lalu telah turun di stasiun Cikuda Pateuh.

“Oooo…”

“Tidak usah kaget, tadi aku duduk di belakang kursi keretamu. Sebelah sini!” Jelas perempuan yang mengenakan baju putih berpadu padan dengan rok putih dengan sedikit renda di sisinya.

Ayu melirik ke arah bangku belakang, nampak kosong. Perasaan dari tadi pun di sana tak ada siapa-siapa, terkecuali mereka yang berada di bangku-bangku yang hampir merapat ke pintu gerbong belakang.

“Tapi di sana tadi tak ada siapa-siapa? Tanya Ayu dengan sedikit rasa merinding.

“Kamu tidak menyadarinya, mungkin kamu merasa ngantuk hinggga kamu tidak menyadari kalau dari tadi aku duduk di belakangmu.”

Ayu tak menjawab apapun, dia hanya menggeleng pelan.

“Apa kamu mau ke Stasiun Bandung? Kebetulan sama. Sudah lama ya kita tidak beretemu. Kamu sudah tampak lebih dewasa, ya karena sekarang kamu sudah menjadi mahasiswa.” Jelas perempuan berambut sebahu itu. Mendengar perkataan perempuan itu, Ayu semakin kaget dan takut tentunya. Siapa dia? Bagaimana dia tahu tentanngnya? Bukankah Ayu tidak pernah bertemu dengan wanita itu?

“Ka…mu…siapa?” Ayu mencoba memberanikan diri bertanya, meski sedikit gemetar.

“Haha.. Ayu..Ayu…apa kamu sudah lupa? Aku ini teman kecilmu. Ternyata benar, setelah sekian lama tidak bertemu kamu sudah banyak berubah ya?” Terlihat perempuan yang di depan Ayu tertawa geli. Sesekali dia mengibas-ngibas rambutnya ke belakang.

“Coba kamu lihat dengan sekasama, masih ingat gak? Kalau tidak ingat berarti kamu pikun, Yu!”

Kemudian Ayu menuruti permintaaan perempuan misterius tersebut, dari atas ke bawah Ayu mengamati keberadaannya, barangkali Ayu dapat menemukan sesuatu yang dikenalinya.

“Tidak, aku tidak mengenalimu.” Jelas Ayu dengan nada yakin.

“Cobalah kamu perhatikan aku, aku ini temanmu. Dulu kita sering bermain bersama, bahkan hingga larut malam. Kita berdua sering bermain putri-putrian, kamu jadi putri salju sedang aku jadi putri kerajaan. Tanpa sepengetahuan Mamamu, kita kerap keluar pada senja hari hanya demi bermain di kebun belakang sekolah, kebun yang menurut kita dianggap surga. Kamu suka merengek nangis jika aku pulang ke rumah karena telah larut malam dan meninggalkanmu sendirian di kamar. Kamu ingat semua itu, Yu?”

Meski telah dijelaskan panjang lebar, namun Ayu tak mampu mengingat apapun tentang perempuan yang mengaku sebagai sahabat kecilnya itu.

“Aku mengingat semua sahabat-sahabat kecilku, tapi tidak dengan kamu. Kamu salah orang kali.”

“Tidak…kamu saja yang lupa. Padahal aku sangat merindukan kamu, Ayu. Tolong ingat-ingat lagi!” Perempuan itu memegangi tangan Ayu, bahkan dia hampir memeluk Ayu. Ayu pun merasa ada yang aneh dengan orang itu, dia segera bangkit hendak meninggalkan tempat duduknya.

“Ayu..tunggu..!” Tangan Ayu semakin digenggam erat oleh perempuan aneh itu.

“Kamu salah orang, aku memang Ayu tapi aku sama sekali tidak mengenalmu.” Ayu merasa takut, dia berusaha berlari menjauhi wanita aneh tersebut.

“Dasar orang gila!” Bisik Ayu dalam hatinya.

“Sungguh teganya kamu Ayu, kamu bilang aku orang gila! Aku ini teman kecilmu!”

Kaget bukan kepalang Ayu mendengar perkataan itu. Bagaimana bisa perempuan aneh itu mengetahui kata hatinya. Siapa dia? Siapa Dia? Siapa Dia? Ayu semakin takut, perlahan dia menoleh ke belakang. Tampaklah perempuan tersebut sedang menangis, wajahnya tertelungkup ke tempat sandaran kursi kereta.

Sebenarnya Ayu ingin segera berpindah tempat ke gerbong lain, tapi ada perasaan yang mengganjal hatinya tatkala melihat perempuan tersebut menangis. Bagaimana kalau benar itu adalah teman semasa kecilnya, mungkin saja kali ini Ayu sedang dilanda penyakit pikun. Tapi masa iya sih, tapi..akhirnya Ayu kembali mendekati perempuan tersebut.

“Maafkan aku, tapi kamu siapa?  Siapa namamu? Mungkin saja aku bisa mengingatnya.”

Perempuan yang menangis itu perlahan mengangkat wajahnya. Tampak sisa air matanya masih tergenang di pipi. Separuh wajahnya tertutup helaian rambut yang berantakan. Dia tampak sesenggukan. Sebegitu sakit hatinyakah perempuan itu oleh perlakuan Ayu?

“Yu..aku Mulya..temanmu.”

“Mulya? Mulya yang mana? Meski sudah disebutkan namanya, ternyata Ayu masih belum mengingat apapun.

Belum juga ingat, Yu? Baiklah, sekarang perhatikan mataku dengan seksama, kamu pasti akan mengingat semuanya.”

Perlahan pandangan Ayu menerobos kornea mata Mulya, untuk sekian detik Ayu hanya termenung, terpaku. Lalu…terbukalah semua fikiran Ayu, tiba-tiba memorinya kembali menguak kisah 15 tahun lalu tepat ketika usianya tujuh tahun.

Kala itu pertemuannya dengan Mulya terjadi di belakang sekolah. Ayu yang sedang berjalan sendiri sehabis dari toilet yang letaknya berada dibelakang kelasnya dihadang Mulya yang yang menenteng satu baskom kecil jajanan. Ayu merasa iba, karena Mulya terlihat sangat lusuh. Ayu pun membeli beberapa jajanan milik Mulya seharga lima ratusan. Mulya mengaku sebagai keponakan Pak Sapon {penjaga sekolah} yang telah kehilangan orang tuanya. Dia diambil oleh Pak Sapon untuk di sekolahkan namun Mulya menolak. Dia lebih suka berjualan dan uangnya akan ditabung buat membeli baju . Meski tidak sekolah Mulya mengaku sudah pandai menulis, membaca dan berhitung sejak dia berumur lima tahun. Walaupun keluarga Mulya orang miskin, tapi orang tuanya dikatakan sangat cerdas. Selain mengajarinya pelajaran sekolah, sejak kecil Mulya pun dididik berdagang oleh ibunya. Dan sekarang, setelah dia tinggal bersama Pak Sapon, Mulya memilih berdagang.

Persahabatan Mulya dan Ayu perlahan terjalin seiring seringnya mereka bertemu. Tapi selama bersahabat dengan Mulya, belum pernah sekalipun Ayu diajak main ke rumah Pak Sapon tempat dimana Mulya tinggal. Ayu pun tidak pernah bertanya pada Pak Sapon apa benar Mulya adalah keponakannya? Yang Ayu ingat bahwa Mulya selalu menghindari bercakap lama-lama dengan Mamanya Ayu. Mulya bilang bahwa dia malu. Mulya selalu membawa Ayu ke kebun belakang sekolah, yang pada waktu itu tampak begitu indah dengan banyak bunga warna-warni. Namun anehnya, setelah Mulya hilang begitu saja tanpa kabar kebun itu tampak begitu kotor dengan tumbuhan liar dimana-mana. “Mungkin sudah tidak di urus lagi sama Pak Sapon”. Fikir Ayu waktu itu.

“Mulya..iya aku ingat. Ini kamu?” Teriak Ayu seraya mendaratkan pelukan ke tubuh Mulya.

“Maaf..maafin aku, Mul! Aku tidak ingat sedikit pun. Wajah kamu sangat beda, kamu sekarang cantik banget. Seperti bidadari. Apa kamu operasai plastik?” Kata Ayu dengan wajah sumringah karena telah dapat mengingat sahabat kecilnya itu.

“Memang aku orang Korea suka merubah wajah? Sekarang aku sudah kerja, jadi aku bisa merawat diri. Aku sangat kangen sama kamu,Yu.”

“Iya makasih lo selalu ingat aku, padahal aku tak pernah ingat kamu. Maaf lo..! O ya sekarang kerja dimana?”

“Aku punya rumah makan, punya sendiri. Ada beberapa karyawan juga.”

“Wow, ternyata kamu memang benar-benar berbakat jadi pengusaha. Dulu kamu suka berdagang, dan sekarang sudah punya restoran. Bisa memperkerjakan orang lagi.”

“Itu semua hasil kerja kerasku. Restoranku ada di Bandung. Kalau keretanya sudah sampai, kita makan-makan dulu di tempatku.” Ajak Mulya dengan senyum yang terus ditebar.

“Tapi…sebenarnya kamu habis dari mana, Mul? Kok bisa naik kereta dari Cicalengka?”

“Dari tempat saudara, kemarin habis dari pantai dari kampungku dulu. Habis nyekar ke makam orang tua.”

“Kamu memang anak baik, Mul! Meski sudah lama berada di kota kamu masih ingat dengan makam orang tuamu di kampung. O…ya kabar pamanmu Pak Sapon sekolah itu gimana? Masih suka ketemu?” Tanya Ayu tiba-tiba teringat Pak Sapon yang dulu diakui Mulya sebagai pamannya.

“Pak Sapon…aku..ak…ah aku dah lama gak ketemu. Entah dimana dia sekarang.” Jelas Mulya tampak sedikit susah untuk menjawab.

“Lah, ko bisa? Diakan yang ngurus kamu. Memangnya sejak ke kota kamu tidak pernah mengunjungi Pak Sapon?” Ayu bertanya lagi penuh keheranan.

“Namanya juga orang tua, kadang pindah sana pindah sini dibawa anaknya tanpa memberi tahu kabar sama aku. Terakhir aku ke sana dia sudah tidak tinggal di situ lagi. Eh, pas aku ke tempat sekolahmu dulu, aku sengaja berjalan-jalan ke kebun belakang sekolah. Jadi ingat waktu kecil ya suka main di sana. Dan ternyata batu besar yang dulu kita suka naiki itu masih utuh loh, bersyukur tidak ada yang merusak. Senang hatiku.”

“Kamu antusias banget ya lihat kebun dan batu itu, kalau aku sih malah gak pernah ingat.” Timpal Ayu dengan wajah datar.

“Iyalah, Yu! Aku pasti selalu ingat, kan itu adalah tempat as…” Tiba-tiba Mulya menutup mulutnya, dia seperti hendak keceplosan berbicara.

“Kenapa, Mul? Kok gak diteruskan, ada rahasia ya..hayo..!”

“Tidak! Bukan apa-apa.Kelihatannya udah sampai stasiun, turun yuk!” Ajak Mulya sedikit menarik tangan Ayu.

Setelah turun dari kereta, Mulya dan Ayu di jemput oleh seorang sopir pribadi.

“Wah, kamu benar-benar sukses.” Ayu memuji Mulya yang kini telah menjadi orang kaya. Lihat saja mobil yang dibawa sopir pribadinya itu, begitu kinclong dan mewah.

Ayu pun disambut dengan banyak hidangan di meja restoran milik Mulya. Semua enak dan lezat. Ayu melihat restoran itu sangat ramai, tapi sayang semua pegawainya tampak kaku. Tidak ada ada yang tersenyum tatkala melayani pelanggan, apalagi bercanda sesama teman. Daftar menu restoran tersebut hampir semuanya menyajikan  olahan daging, mulai daging ayam hingga daging kerbau dan kuda. Ada beberapa menu sayuran, tapi tidak banyak.

“Bagaimana, Yu?”

“Wah, aku sangat senang bisa makan di tempatmu, Mul! Makasih ya.”

Mulya mengangguk seraya tersenyum.

“Jujur hari ini aku sangat bahagia bisa bertemu kamu kembali. Sebenarnya sudah sejak dulu aku ingin menemuimu, tapi waktunya yang tepat adalah sekarang. Semoga kamu tidak lupa akan wajahku ini.” Ucap Mulya dengan keceriaan yang tak pernah hilang dari wajahnya.

“Tidak mungkinlah aku lupa sama kamu. Dari kecil ke dewasa orang bisa mengalami metarmofosa wajah, tapi kalau udah dewasa seperti ini rasanya itu sulit terjadi. Baiklah kita berfoto dulu berdua!” Ajak Ayu seraya mengeluarkan hp androidnya.

“Jangan..jangan…! Mulya tiba-tiba menolak.

“Tapi…”

“Aku punya banyak koleksi foto yang sudah di cetak, kamu simpan saja ini!” Rupanya Mulya sudah menyiapkan sebuah foto dirinya yang telah dicetak. Foto itu diserahkan sebagai kenang-kenangan untuk Ayu. Dalam foto itu tampak Mulya sangat cantik. Dia berdandan seperti putri kerajaan. Entah di studio mana dia berfoto, tapi semua yang tampak dalam foto itu tampak bukan sebagai editan, tampak nyata. Ada istana kerajaan dengan kebun dan taman yang indah, sungguh menakjubkan. Ya, mungkin saking cerdasnya sang fotografer sehingga pandangan pun terkecoh.

“Dari dulu kamu sukanya jadi puteri ya?” Tanya Ayu dengan pandangan yang masih belum terlepas dari fotonya Mulya.

Mulya mengangguk dan tersenuym.

“Yu..aku mau nitip pesan buat kamu barangkali setelah hari ini kita tidak bertemu lagi. Aku ingin kamu tetap berkunjung ke tempat ini meskipun aku sudah tidak tinggal di sini lagi.”

“Kok kamu ngomong gitu, Mul? Aku pasti akan ke sini kalau ada waktu luang. Lagian tempat ini cukup dekat dengan kampusku. Aku bisa naik angkot.” Ayu merasa kaget mendengar pesan dari Mulya tersebut.

“Sebenarnya aku harus pergi. Aku harus ke luar kota dan menetap di suatu tempat. Aku sudah mulai tidak nyaman, di sini sudah mulai ramai. Separuh dari restoranku ini akan dijadikan jalan raya saat pelebaran nanti. Aku merasa terganggu. Pokoknya kalau masih ada sisa pelebaran jalan, sesekali kamu harus datang ke tempatku ini.”

“Baiklah, Mul! Aku faham. Mungkin kamu ingin punya rumah yang tenang seperti di kampung kan?”

Mulya tidak menjawab, dia hanya mengangguk.

Setelah hampir satu jam berada di restoran Mulya, Ayu pun pamit pulang. Dia menolak diantar oleh sopirnya Mulya dan lebih memilih naik taksi.

Cukup lama Ayu berdiri di pinggir jalan menunggu taksi yang lewat, tapi tak kunjung mendapatkanya. Akhirnya Ayu memesan taksi online. Selang beberapa lama taksi online yang dipesannya pun datang.

Ayu masuk ke dalam taksi tersebut. Tanpa disadarinya beberapa kali sang sopir melirik ke arah Ayu. Wajahnya berkerut seperti keheranan. Ayu yang mulai menyadari itu bertanya, “Ada apa, Pak? Ada yang aneh ya?”

“Neng dari mana?”

“Dari restoran teman saya.”

“Restoran? Restoran mana Neng?”

“Lah itu…!” Ayu mengarahkan telunjuknya ke arah restoran milik Mulya. Namun seketika itu juga  Ayu merasa kaget luar biasa ketika dia tak dapat melihat restoran milik Mulya lagi. Semuanya lenyap. Tidak ada restoran, para karyawan apalagi jalanan ramai seperti yang Ayu lihat beberpa jam lalu. Semua sepi, hanya pohon-pohon besar dan satu buah batu besar .

“Pak..Pak Sopir…saya …saya dimana? Saya tadi di restoran teman saya.” Ayu ketakutan, dia seketika mendekati Pak Sopir.

“Walah Neng..sepertinya Neng dikerjain makhluk ghaib.”

“Tidak, Pak! Mulya teman kecil saya dan kita baru bertemu lagi hari ini.”

“Banyak makhluk lain yang kadang ingin berteman dengan kita sejak kecil. Biasanya mereka berdiam di batu-batu. Mungkin Neng adalah salah satu yang disukainya sejak Neng kecil. Atau mungkin dia kembali menemui Neng karena ingin menyampaikan suatu pesan.” Jelas Pak Sopir. Ayu pun terdiam, sementara keringat basah memenuhi tubuhnya.

“Mungkin saja, Pak! Yang saya ingat bahwa Mulya akan pergi dari tempat ini karena merasa terganggu. Katanya tempat ini mau dijadikan jalan.”

“Ya, itu pesannya. Ya, sudah mending kita pergi dari sini tempatnya kurang baik.”

Mobil yang ditumpangi Ayu segera menembus keramaian kota. Ditengah perjalanan dia teringat akan foto yang diberikan Mulya. Perlahan dia membuka dompetnya. Dalam ingatannya bahwa Mulya memberikan foto dengan dandanan bidadari yang sangat rupawan. Dengan hati berdebar Ayu memberanikan diri menatap foto tersebut..dan alangkah  kagetnya ternyata gambaran bidadari menawan itu berubah menjadi lembaran kosong putih tanpa apapun, kecuali sebuah kalimat, “terima kasih telah menjadi sahabatku dari kecil. Jika aku rindu aku akan menemuimu lagi”. Membaca itu,  Ayu pun pingsan….! Sungguh tidak disangka, bahwa selama ini Ayu bersahabat dengan Mulya dari dunia maya. Benar-benar maya!

 

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan