“Apa kau kira, ular di atas bukit itu benar-benar ular?” kata Wak Dar lekas-lekas. “Itu bukan sembarang ular, Har. Itu sudah ada sejak mbahmu lahir,” sambungnya lagi.
“Biarkan Pardi yang mengurus ular itu, Wak. Sekarang saya butuh uang buat operasi ibu.”
“Tak bisa. Bukit ini tak bisa dijual. Apa kau mau, ular itu mengganggu kita?”
“Dengarkan dulu, Wak. Penyakit ibu kian parah. Sudilah kiranya Wak Darma memberi saya izin untuk menjualnya. Toh, saya tidak menjual bukit. Hanya pasir yang ada di sini. Apalagi, si Tarhem berkenan membeli dengan harga yang jauh lebih mahal.”
“Sama saja, Har. Menjual pasir atau bahkan menjual bukit, itu artinya kau lancang. Berani melawan wasiat leluhurmu. Sudah. Tak usah kau temui aku lagi. Sampai di alam kuburpun, aku tak sudi memberimu izin menjual tanah ini.”
Bukan tak mau menghormati Wak Darma dan beberapa orang tua yang melarangku menjual tanah di bukit Juk Tuah. Hanya saja, aku benar-benar butuh biaya untuk operasi usus buntu yang diderita ibu. Sudah hampir dua minggu ibu dirawat di klinik. Dan harus segera dirujuk ke rumah sakit yang jauh lebih lengkap. Sayangnya, aku tak punya uang sepeserpun. Hartaku satu-satunya, hanya bukit di belakang rumah ini.
Aku sendiri tak pernah melihat ular yang diyakini sebagai penunggu bukit Juk Tuah itu. Hanya beberapa orang saja yang berhasil melihat wujudnya yang besar. Konon, setiap malam Jum’at Kliwon, akan muncul di atas bukit.
Aku tak permasalahkan apakah ular itu benar-benar binatang atau penunggu bukit. Kendati sering mengundang kehebohan. Kardin misalnya. Sehari sebelum hari raya kurban, ia melihat ular tadi tengah mengintai kambing yang digembalanya ke atas bukit. Sontak Kardin lari tunggang-lalang meninggalkan kambing-kambingnya.
“Bagaimana kalau kita membuktikan sendiri,” ujar Jasen, makelar tanah yang mengenalkanku pada Tarhem.
“Maksudmu, kita yang pergi menemui ular itu?”
Jasen mengangguk. “Selama ini, ular itu hanya tersebar lewat gosip. Cerita yang digilir dari satu mulut ke mulut yang lain. Coba kau ingat, siapa yang benar-benar melihat ular itu? Wak Dar sendiri belum pernah melihat. Toh, yang diberatkan Wak Dar karena ada ular, mereka melarangmu menjual pasir di sini.”
Usulan Jasen tak serta merta kuturuti. Bagaimanapun juga, menghormati para petuah di kampung harus kulakukan.
“Besok aku bawa orang sekaligus si Pardi sang pawang.”
Jasen berlalu. Membiarkanku berdiri mematung melihat puncak bukit. Ya, di ujung sanalah ada makam Juk Tuah. Biasanya, setiap kamis petang, orang-orang akan berziarah. Konon, beliau seorang pembabat kampung. Bertempat tinggal dan meninggal di ujung bukit sana.
***
“Kau sudah gila, Har. Mencari ular itu, sama saja mencari mati,” tegur Kardin.
“Aku tak punya cara lagi, Din. Untuk membuktikan apakah ular itu benar-benar ada, aku harus melihatnya sendiri.”
“Kalau benar-benar ada?”
“Pardi akan menangkapnya, lalu dipindah ke Alas Kedawung.”
“Wak Darma pasti akan murka, Har. Orang-orang di sini akan mengutukmu.”
“Lebih baik aku dicaci maki karena ular daripada aku dicaci tak bisa merawat ibu.”
“Berarti kau akan benar-benar menjual pasir di bukit ini?”
“Jangan khawatir. Tarhem tak akan mengeruk habis.”
“Lalu, Juk Tuah?”
“Makam Juk Tuah sendiri, akan kupindah di dekat kangai. Sudah kuurus semua.”
Kardin mengggeleng pelan.
“Apa yang akan kau lakukan, Har?”
Tiba-tiba Wak Darma berdiri dengan muka geram. Belum pernah kulihat tatapan menyeramkan ini sebelumnya.
“Tak seorangpun yang boleh menjual bukit ini apalagi memindah makam Juk Tuah.”
“Saya butuh uang, Wak. Kalau Wak Darma atau yang lain bisa memberikan uang untuk operasi ibu, saya akan membatalkan perjanjian ini.”
“Kurang ajar kau. Bisa-bisanya melawan leluhur,” Wak Darma bergerak maju. Menggenggam kerah baju.
“Saya tak bermaksud membangkang, Wak. Tapi ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ibu.”
Wak Darma tetap tak melepas cengkeraman. Aku tak lagi takut menatap mata tajamnya. Orang-orang yang menyertai Wak Darma, meringis ketakutan melihat pertikaian di bawah bukit ini.
“Apa-apa yang bakal terjadi, biar saya yang menanggungnya, Wak.”
Wak Darma melepaskan cengkeraman. Pergi ke arah kerumunan orang-orang. Lalu pamit pulang. Orang-orang sendiri bertahan di dekat rumah. Menunggu kabar tentang keberadaan ular. Jasen dan Kardin sudah mendahului mendaki bukit.
Jalanan di bukit dipenuhi semak belukar. Pardi yang berada di depanku terlihat menyiramkan air kembang tujuh macam yang sudah didoakan.
“Ular itu memiliki aroma seperti asap, Har. Kalau kau mencium bau asap, tetapi tidak ada api, itu artinya ada ular di dekatmu.”
Pardi kembali memercikkan api di sekeliling pepohon. “Kalau digigit ular, makanlah ekornya sebagai penawar racun. Agar bisa di bekas gigitan, tak menyebar ke seluruh tubuhmu,” imbuh Pardi lagi.
“Ularnya ada di sini! Ularnya ada di sini!” tiba-tiba Kardin berteriak keras. Aku dan Pardi berlari cepat ke atas bukit. Setibanya di sana, terlihat kepala ular menjulang di atas pohon mahoni. Sementara tubuhnya yang besar dan panjang, melilit ke batang pohon.
“Ular ini harus mati,” ujar Jasen sambil membuka karung goni.
“Apa yang kau lakukan? Biarkan Pardi yang menangkapnya,” tegurku melihat Jasen memegang sebotol minyak.
“Pardi sendiri tak mampu, Har. Apa kau sudah gila menangkap ular sebesar ini. Kalau bukan ular sungguhan, kita yang bakal mati.”
“Tak bisa! Sesuai kesepakatan kalau ular itu benar-benar ada, kita hanya memindahkan ular itu. Bukan membunuhnya.”
“Sudahlah, Har. Ikuti saja. Aku hanya bisa menangkap ular kecil. Bukan ular semacam ini,” Pardi yang semula menatap, kini mendekat. “Ini memang bukan ular sungguhan, Har. Dia benar-benar penunggu bukit ini.”
“Kurang ajar! Jadi kalian sengaja mempermainkanku hanya demi tanah ini.”
Jasen tertawa lalu berlari ke arah pohon mahoni dan menyiram batang pohon lalu membakarnya. Ular bersisik besar yang terlihat tertidur itu tiba-tiba bangun. Jasen dan Pardi sudah berlari ke bawah. Kardin menarik lenganku yang berdiri mematung. Terlihat api membesar lalu membakar tubuh ular perlahan-lahan. Tubuhnya menggeliat menyelinap ke sela reranting. Sementara Kardin sibuk menarik tubuhku.
Aku sendiri tak tega melihat ular itu terbakar. Tubuhnya terus bergerak tak karuan. Raut muka ular itu seakan meminta belas kasih. Kedua matanya menatap lekat ke arahku seolah mempertanyakan kesalahan yang diperbuat. Tiba-tiba, seonggok api yang membara itu, terlihat tak membakar ular tetapi sedang membakar seorang perempuan. Ya, kedua mata itu. Mata seorang perempuan yang lama kukenal. Sepasang mata yang tak asing. Sepasang mata teduh yang selalu melindungi tubuhku dari amukan bapak saat mabuk. Kedua bola mata yang tak pernah bosan menyuruhku lari saat bapak mengamuk meminta uang untuk berjudi. Ya, kedua mata itu mirip mata ibu. Mata ibu yang yang tak pernah berhenti meringis sakit meski bapak sudah lama ditangkap polisi.
sumber ilustrasi: pixabay.com
Belum ada tanggapan.