Armadi terkejut bukan main, matanya seakan tak berkedip. Dia tidak percaya dengan apa yang telah didapatinya di tempat itu. Beberapa jam yang lalu sang majikan memintanya mengantar ke sebuah tempat yang sama sekali asing bagi Armadi. Namun berkat arahan si majikan Armadi sampai juga membawa mobilnya di tempat tujuan. Armadi di titipi pesan oleh majikan untuk berdiam saja di mobil sampai urusannya selesai. Armadi tidak tahu apa yang dilakukan majikan prianya itu. Sebagai sopir dia hanya mengikuti perintah Tuan.
Armadi memang pegawai baru, baru seminggu ini dia menjadi sopir di rumah Pak Rahmat, pemilik perusahaan minuman segar yang sangat sukses. Selama ini Armadi hanya diminta mengantarnya ke kantor, tapi untuk malam Minggu ini Armadi mendapat jadwal lembur mengantar si bos ke sebuah tempat. Tempat yang menimbulkan fikiran yang enggak-enggak di otak Armadi. Tempat yang kemudian Armadi yakini sebagai tempat paling kotor yang pernah ia kunjungi. Bagaimana tidak, dari dalam mobil Armadi melihat banyak wanita seksi dengan dandanan menor mondar-mandir di tempat itu. Para hidung belang tak sungkan menenteng botol miras dengan tingkahnya yang setengah gila bahkan sangat gila. Dan Pak Rahmat, beberapa saat sempat berbincang dengan para pria gila itu, kemudian lenyap begitu saja. Namun Armadi dapat melihat sekilas bahwa Pak Rahmat sempat digandeng mesra seorang wanita menuju sebuah warung di sisi kiri tempatnya memarkir mobil. Armadi berulang kali mengucap istighfar, dia serasa sedang berada di neraka. Tapi kemudian kejutan lain datang dari tempat itu, sebuah pemandangan yang membuatnya terbelalak hadir di depan mata tanpa diduga. Armadi merasa ini mimpi paling buruk dalam hidupnya. Antara percaya dan tidak, kali ini dia melihat Kara berada di tempat itu. Dan lebih buruk lagi, Kara sedang asyik bergelayut manja di pangkuan seorang pria yang Armadi kenali, Pak Rahmat.
Rupanya Pak Rahmat baru saja keluar dari dalam warung, dia membawa seorang wanita cantik yang bernama Kara. Sungguh dari awal Armadi tidak menyadari kalau wanita yang menggandeng hangat Pak Rahmat masuk ke dalam warung tadi adalah istrinya sendiri. Mungkin saja Armadi tidak ngeuh akan hal itu, karena dalam otaknya tidak pernah sedikitpun terlintas bahwa wanita yang selama ini dicintainya akan menjalani pekerjaan yang hina dina.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Armadi hanya membisu di dalam mobil dengan debar jantung yang tak karuan. Ingin rasanya dia mendatangi dua insan yang gila itu lalu menampar dan menendang mereka, tapi Armadi rupanya masih bisa berfikir jernih. Kali ini dia akan mendiamkannya, hingga saat pulang nanti sebuah langkah akan dia tempuh untuk mendidik istrinya. Bukan Armadi tidak terbakar cemburu melihat tangan lembut istrinya mengayun-ngayun mesra jambang beruban Pak Rahmat, bahkan sesekali dia menyaksikan istrinya bersandar di bahu lelaki tua itu dengan banyak lembaran uang yang dikipas-kipaskannya. Tapi Armadi yang terkenal sabar itu telah tahu bagaimana caranya untuk memberi pelajaran kepada seorang makmum yang dia imami.
“Ayo kita pulang!” Ajak Pak Rahmat. Armadi yang sudah menunggu lama pun kemudian memacu mobilnya. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan di antara mereka. Armadi yang biasa hangat terhadap si bos, kini berubah menjadi manusia bisu yang mahal dengan bahasa. Pak Rahmat pun demikian, entah dia merasa tidak enak karena telah mengajak sopir barunya ke tempat kotor, dia yang biasanya ceriwis pun kini menjadi manusia yang sibuk dengan HP.
“Sekarang kamu boleh pulang, ini uang lemburmu!” Kata Pak Rahmat seraya menyerahkan beberapa lembar uang.
Armadi hanya mengangguk pelan, dia segera keluar dari gerbang rumah Pak Rahmat dan bergegas ke arah jalan raya menumpang sebuah angkot.
**************************
“Istriku, duduklah! Aku ingin berbicara.” Kata Armadi pada satu sore.
“Ada apa, Mas? Sebentar, biar kusiapkan teh hangat untukmu.” Seperti biasa pula Kara tak bersikap aneh di rumah, dia masih bisa mengimbangi kelembutan Armadi.
“Ini tehnya mas. Aku sengaja membuatkanmu agak panas. Katanya kamu masuk angin hingga sudah dua hari tidak masuk kerja?”
“Ya, aku sedikit masuk angin. Terima kasih tehnya. Kamu sendiri tidak ada acara?” Tanya Armadi dengan ujung mata melirik ke arah wajah istrinya yang penuh tipu.
“Aku ini mana pernah punya acara. Dari dulu selalu ada di rumah. Kamu kerja ya aku menunggu hingga kamu pulang. Aku sudah berjanji akan menjadi istri yang baik.” Jelas Kara dengan wajah polos seakan tidak sedang berdusta.
“Ya..ya..aku percaya itu. O ya, aku sampai lupa mengenalkan majikanku yang baru. Aku belum sempat memberi tahumu kan?” Ucap Armadi berusaha tenang.
“Mas ini lupa ya. Mas kan sudah pernah bilang kalau nama majikan Mas itu namanya Pak Rahmat. Dia pemilik perusahaan minuman segar. Betul toh? ”
Mendengar penjelasan Kara sejenak Armadi terdiam. Kenapa Kara bersikap biasa saja mendengar nama Pak Rahmat. Bahkan dia tahu profesi Pak Rahmat. Apa mungkin malam itu Armadi salah lihat kalau wanita yang bersama Pak Rahmat itu bukanlah Kara, melainkan perempuan lain yang mirip dengannya?
“Ya…ya….betul Pak Rahmat pemilik perusahaan minuman segar. Maksud Mas begini…anu…euhhhh….apa..apa..kamu tahu wajahnya gitu?” Perkataan Armadi sedikit kikuk, mungkin dia pun takut terjebak dalam prasangka buruk terhadap istrinya.
“Tidak!” Kara menggeleng. Lalu Armadi segera membuka galeri ponselnya. Dia segera memperlihatkan gambar Pak Rahmat pada Kara.
“Ini majikan Mas, sudah tua tapi sangat baik terhadap karyawan.” Bagaimana menurutmu, apa dia masih terlihat ganteng dan menarik?”
Melihat gambar Pak Rahmat seketika Kara terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan suaminya, dadanya terlihat berpacu tak menentu. Ada keringat dingin yang perlahan membasahi keningnya. Ada rasa tidak percaya dan juga takut, takut kalau Armadi mengetahui segalanya. Segalanya tentang dia dan seseorang yang Armadi sebut sebagai Pak Rahmat.
“Istriku….hey…!”
“Oh…mas…iya.. apa?” Kara terlihat gelagapan. Wajahnya pucat,
“Ada apa? Kenapa kaget? Apa kamu mengenalinya?”
“Aku…aku…ya..ya..aku kaget, Mas!” Sejenak Kara terdiam, dia menarik nafas berusaha menenangkan diri sendiri. Dia berusaha mencari-cari jawaban yang pas agar tidak dicurigai.
“Aku kaget karena memang aku mengenal foto ini. Tapi setahuku ini bukan Pak Rahmat. Ini Pak Wardhana, dia pun bukan pemilik perusahaan minuman segar melainkan pemilik sebuah showroom mobil.” Jelas Kara dengan ketenangan yang sudah didapatinya. Kara memang tidak berdusta, selama berkencan dengan pria tua itu, dia hanya mengenalinya sebagai Pak Wardhana pemilik sebuah showroom, sebuah identitas yang mungkin dibuat secara palsu untuk membohongi Kara. Maka sungguh di luar dugaannya, jika Pak Rahmat yang diceritakan suaminya itu tak lain dan tak bukan adalah Pak Wardhana.
“Sejak kapan kamu megenal Pak Wardhana?”
“Sejak aku belum menikah denganmu. Dia adalah pelanggan setiaku saat menjadi SPG.”
“SPG? Bukankah kamu tidak pernah menjadi SPG. Setahuku kamu dulu hanya kuliah?”
“Begini Mas…dulu…aku nyambi jadi SPG rokok. Pak Wardhana ini sering membeli rokok-rokokku untuk dibagikan ke karyawannya.”
“Tapi orang tuamu cukup berada, buat apa jadi SPG?”
“Aku hanya ingin mandiri saja, Mas! Lagian Mas kenapa tiba-tiba nanyain itu?”
“Tidak, heran saja kenapa orang yang sama bisa punya dua nama? Apa sekarang masih suka bertemu?”
“Tidak sama sekali. Sejak menikah dengan Mas aku tak pernah bertemu dengannya.”
Lengkap sudah kebohongan yang dibuat Kara, dia pandai bermain peran. Sedang di sisi lain kesabaran Armadi diuji. Sebagai seorang imam inilah saatnya menunjukan bagaimana seharusnya bersikap dengan bijaksana dan tegas.
“Begini, istriku! Biar kuceritakan sebuah kisah. Ada seorang pria yang sangat mencintai bidadarinya. Namun pada satu waktu, si pria melihat bidadari tersebut sedang berduaan dengan pria lain. Meski pria merasa marah, tapi dia tidak melakukan apapun. Dia hanya berdiam dan memandangi pemandangan tak mengenakan itu dari jauh. Apa kamu tahu, kenapa pria itu tidak memarahi bidadari yang telah berdusta itu?” Tanya Armadi seraya membelai lembut rambut Kara. Kara tidak menjawab, dia hanya menggeleng.
“Karena si pria ingin menyelamatkan bidadarinya dari perbuatan tercela. Jika dia bersikap kasar, bukan tidak mungkin bidadarinya malah lari, pergi, dan semakin terpuruk dalam perbuatan salah.” Lanjut Armadi, sebentar dia menyeruput teh buatan Kara yang hampir dingin.
“Kenapa Mas berkisah seperti ini?” Tanya Kara mulai merasa tidak enak mendengar kisah yang dirasa sedang menyindir dirinya.
“Karena Mas juga sangat sayang sama kamu.” Timpal Armadi dengan suara yang sangat lembut.
Kara segera menatap wajah Armadi dengan segala keterkejutannya. “Apa Mas sedang bercerita tentangku?”
“Jika kamu merasa, Kara! Malam Minggu yang lalu Mas melihat semuanya di tempat itu. Mas yakin yang bergelayut manja di pangkuan Pak Rahmat adalah kau. Berbicaralah, istriku! Kita berumah tangga tidak untuk saling berdusta. Tanggung jawabku besar untuk mendidikmu. Selepas orang tuamu pergi diambil yang Kuasa dan mereka meng-amanahkanmu padaku, maka sejak itu pula hingga akhir hayat nanti aku yang berkewajiban meluruskanmu jika kau salah. Kau tahu, Kara! Seperti apa masa lalumu yang kau sembunyikan dariku aku tidak pernah perduli, bagiku yang terpenting adalah bagaimana menempamu menjadi calon bidadari syurga. Memang tidaklah mudah bagiku melihat kenyataan bahwa kau selama ini berdusta dariku, tapi semakin aku sabar mendidikmu maka kuyakin Tuhan semakin sayang kepadaku. Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki, sebab sebanyak apapun uang yang kau dapat dari jalan yang hina dina malah akan menjadi petaka bagimu. Kara…jika aku tak sayang padamu maka tidak akan pernah kutoleh lagi wajahmu. Jangankan membelaimu seperti ini, mungkin jika kuikuti nafsu amarahku sudah kubuang jauh kau dari hadapanku. Kembalilah ke jalan Tuhan, tidaklah perlu diam-diam lagi menyelinap keluar rumah di saat suamimu ini pergi kerja. Apalagi tempat yang kau datangi begitu hitamnya.”
Kara yang dari tadi menunduk malu dan takut tak mampu berkutik. Tidak disangka, betapa besarnya hati Armadi menerima kesalahan dirinya yang begitu besar. Sebuah kesalahan yang bertahun-tahun dia sembunyikan. Dan pada saat itu terlintaslah segala masa lalunya yang bergelut dengan dunia kelam nan hina. Sebuah masa lalu yang dimulainya sejak dia menjadi seorang mahasiswi.
Terbayanglah wajah kedua orang tuanya yang telah tiada, wajah-wajah yang selalu percaya padanya bahwa selama ini dia berkuliah dengan benar dan berada di jalan yang benar. Satu kesalahan Kara waktu itu adalah dengan menganggap bahwa pekerjaan itu dijalani hanya demi hidup mandiri tak bergantung pada orang tua yang kaya raya. Kara bosan disebut anak Mami dan Papi oleh teman-temannya. Kara merasa bekerja seperti itu sangat mudah. Pundi-pundi rupiah cepat menggunung tanpa harus menunggu satu bulan gajian. Dan ketika Kara berada di titik terendah hidupnya tatkala harta warisan orang tuanya habis tak berbekas oleh karena kesalahan Kara ikut investasi bodong, datanglah Armadi. Armadi adalah sopir pribadi orang tua Kara semasa hidup. Jauh sebelum meninggal, kedua orang tuanya memberi wasiat agar Armadi mau menikahi Kara jika suatu saat mereka telah tiada. Kara pun tak mampu menolak wasiat itu sebab dia sangat cinta terhadap orang tuanya. Lebih dari itu Armadi adalah pemuda sholeh dengan wajah yang rupawan. Maka kepada Armadi Kara menyerahkan seluruh hidupnya, namun karena Armadi hanya seorang buruh diam-diam Kara kembali menceburkan diri ke jalan yang salah.
Air mata Kara perlahan tumpah. Dia merasa sangat berdosa. Sebuah dosa yang dia rasa akan sulit dibersihkan dengan cara apapun. Lebih dari itu, ada rasa malu yang tak berkesudahan terhadap Armadi. Kara tak mampu mengangkat wajahnya di hadapan suaminya itu. Dia merasa sangat hina. Lalu diam-diam dalam hatinya dia merasa tak sepadan degan Armadi. Armadi hanya pantas mendapatkan wanita sholehah, bukan wanita sepertinya. Kara merasa bahwa wanita kotor sepertinya tak pantas dipuja-puji oleh siapapun, apalagi oleh Armadi yang begitu alim. Dan Dalam relung hati terdalamnya Kara berucap, “aku ingin ganti suami!”. Saking merasa malu dan bersalah, sampai-sampai Kara berfikir untuk berganti suami. Sebuah keinginan yang mustahil terwujudkan.
Belum ada tanggapan.