Kala itu Bagdad bukanlah kota dengan reruntuhan bangunan yang hancur dihantam rudal. Tanah gersang di jantung negara Irak itu pernah menopang dunia 1001 malam yang dikenal sebagai kota paling metropolitan di dunia. Taman-taman indah, bangunan-bangunan cantik dengan arsitektur mengagumkan, serta gemerlap lampu kota yang betebaran dimana-mana menjadi mahkota yang menepis kesuraman hamparan luas padang pasir. Dibalik mahkota itu, tersimpan berlian yang menjadi pusat daya tarik dunia. Berlian itu adalah Baitul Hikmah, kiblat peradaban dunia. Baitul Hikmah adalah tempat para pemikir muslim terbaik dilahirkan dan menjadi kunci kemajuan Islam d puncak keemasannya.
Saya sedih karena hanya mampu merasakan keindahan Baitul Hikmah melaui rangkaian huruf-huruf yang tertulis di buku sejarah kebudayaan Islam (SKI). Gambaran baitul hikmah hanya terbayang dengan sangat terbatas dalam benak kepala saat menyimak penjelasan ustadz di Madrasah Aliyah. Gambaran baitul hikmah sangat mencuri perhatian saya dan seolah melempar batin saya ke hamparan padang pasir sehingga hati terasa begitu haus akan pengetahuan lebih banyak mengenai baitul hikmah.
Beruntung sekali saya menemukan beberapa literatur sejarah Islam klasik salah satunya adalah buku Capital Cities of Arab Islam, karya Philip K. Hitti. Sepanjang informasi yang saya peroleh, Baitul Hikmah didirikan pada 813-833 M oleh Harun ar-Rasyid, khalifah Abbasiyah, dan mencapai puncaknya saat dipimpin oleh putranya, Khalifah Al-Ma’mun. Baitul Hikmah berarti rumah kebijaksanaan. Sesuai dengan namanya, Baitul Hikmah adalah salah satu lembaga keilmuan yang paling terkenal di negeri 1001 malam yang kemudian dijadikan perguruan tinggi oleh Khalifah Al-Ma’mun. putra mahkota Harun Ar-Rasyid tersebut juga membangun perpustakaan terbesar dengan koleksi buku bacaan yang sangat lengkap. Perpustakaan baitul hikmah juga difaslitasi dengan ruang-ruang untuk para pakar berdiskusi. Bahkan, baitul hikmah memiliki ruang khusus untuk mengobservasi bintang.
Panasnya padang pasir kota Baghdad tidak hanya memanggang tengorokan, namun juga membuat umat Muslim sangat haus akan ilmu pengetahuan. Pemuasan dahaga ilmu disikapi oleh Khalifah Al-Ma’mun dengan serius dengan membiayai penerjemahan karya-karya klasik dari berbagai peradaban seperti Yunani, India dan Persia. Al-Ma’mun juga mendanai program riset dan menjamin kehidupan para intelektual.
Penerjemahan, pengkajian, maupun kritisi karya dari berbagai peradaban diselenggarakan di Baitul Hikmah. Karya-karya yang diterjemahka meliputi filsafat, sastra, ilmu naqli, dan ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan fisika. Baghdad pun berubah menjadi oase sejuk bagi penimba ilmu dari berbagai bangsa di dunia dalam sekejab. Baitul Hikmah menjadi pertemuan peradaban barat dan timur bahkan mampu memelihara dan memajukannya saat Yunani dan Eropa megalami kehancuran peradaban. Puncak masa keemasan Islam turut melahirkan orang-orang besar seperti Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Bairuni, dan Ibnu Khaldun. Peradaban dunia berhutang kepada pemikir-pemikir Islam tersebut.
Zakat dan Peradaban
Puncak keemasan Islam sayangnya hancur di bawah penaklukan Hulagu Khan, anak Genghis Khan, dan tentara Mongol. Konon sungai Tigris hingga berwarna hitam dan merah oleh darah para filsuf Islam beserta tinta buku-buku mereka yang luntur. Hanya sebagian kecil buku terselamatkan yang kemudian diadopsi oleh bangsa Eropa dan dimanfaatkan untuk kemajuan peradaban mereka. Lelehan tinta di sungai Trigis yang dahulu memuat kalimat-kalimat hikmah kini hanya menyusun rangkaian kalimat-kalimat kenangan di lembaran buku sejarah kebudayaan Islam. Namun darah para pemikir Islam yang tertumpah dan memerahkan sungai Trigis tetap mengalir dalam jantung kaum muslim yang tak lelah membangun kembali peradaban ilmunya.
Saya adalah salah satu muslim yang menjaga darah pemikir Islam dalam hati. Dada bergejolak ingin membangun kembali peradaban Islam serta memajukan bangsa sebagai pusat peradaban dunia, namun saya hanya orang dengan segala keterbatasan di hadapan cita-cita besar tesebut. Rasa putus asa sering muncul mengingat seolah mustahil dapat membangun kembali sejarah emas Islam di tengah banyaknya problematika yang menghadang seperti intoleransi, radikalisme, maupun pendidikan dan kesejahteraan hidup umat yang rendah. Rasa pesimisme ini terus menggaung di kepala hingga akhirnya ada secercah harapan saat bertemu dengan program Festival Literasi Zakat dan Wakaf pada laman bimasislam.kemenag.go.id dan literasizakatwakaf.com. Program festival ini diadakan oleh Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam Kementrian Agama RI mengajak masyarakat untuk membangun gagasan mengenai pengelolaan zakat dan wakaf. Bagi saya, literasi adalah langkah maju, sebuah ciri peradaban, yang selaras dengan semangat Baitul Hikmah. Sebab itu, program ini saya dukung.
Menulis tentang zakat dan wakaf mengingatkan saya pada kebijakan pengelolaan dana Baitul Maal pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-Ma’mun. Seperti yang kita ketahui, dana Baitul Maal diperoleh dari zakat, wakaf, serta sumber pendapatan lainya seperti ghanimah kharj, dan fa’i. berbeda dengan kalifah As-Saffah yang membelanjakan dana Baitul Maal untuk memperkuat militer, Harun Ar-Rasyid dan Al-Mak’mun mengalokasikan dana Baitul Maal untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan riset ilmiah, disamping untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Ide pengelolaan dan zakat dan wakaf untuk pengembangan ilmu pengetahuan ini membuat saya optimis akan kemungkinan besar membangun kembali kemajuan peradaban Islam dan bangsa Indonesia melalui zakat dan wakaf. Lantas bagaimanakah perkembangan pengelolaan dana zakat saat ini di bangsa kita?
Kampung Zakat dan Embrio Baitul Hikmah Era Milenial
Salah satu hal yang mendukung opimisme saya adalah program Kampung Zakat yang digerakan oleh pemerintah melalui Ditjen Bimas Islam. Pada laman bimasislam.kemenag.go.id disebutkan bahwa program Kampung Zakat adalah program ungulan Ditjen Bimas Islam. Program ini diharapkan mampu mendorong sinergisitas antara pemerintah selaku pemangku kebijakan dengan stakeholder zakat selaku pemangku kepentingan. Sasaran program Kampung Zakat adalah desa di wilayah tertinggal, mengacu pada peraturan presiden no. 131 tahun 2015 tentang penetapan daerah tertinggal. Terdapat 7 lokasi yang akan dijalankan program Kampung Zakat meliputi kabupaten Lebak (Banten), kabupaten Seluma (Bengkulu), kabupaten Belu (Nusa Tenggara Timur), kabupaten Lombok (Nusa tengggara barat) dan kabupaten Raja Ampat (Papua Barat)
Program Kampung Zakat telah dijalankan sejak tahun 2018 dan dilaksanakan dalam kurun waktu 3 tahun sesuai dengan fase yang disusun oleh pemerintah yakni mulai dari fase peletakan mindset, fase intervensi program, dan terakhir fase kemandirian. Dana zakat digunakan untuk mengembangkan 5 sektor di desa tertinggal meliputi sektor ekonomi, pendidikan, dakwah, kesehatan serta infrastruktur dan sosial. Program Kampung Zakat juga turut melibatkan BAZNAZ dari tingkat kabupaten hinga nasional. Melalui program ini diharapkan masyarakat di desa tertinggal mampu menjadi sejahtera dan mandiri dengan pengelolaan dana zakat yang tepat.
Melihat beberapa desa dengan program Kampung Zakat yang telah mulai berjalan, seolah saya akan melihat kelahiran Baitul Hikmah di desa-desa tertinggal. Saya membayangkan anak-anak desa yang terbatas akses, ekonomi, dan mobilitas sosialnya mampu menjadi pemikir-pemikir Islam yang hebat seperti Ibnu Sina maupun Ibnu Khaldun. Kebangkitan peradaban Islam yang muncul dari desa-desa nusantara akan menjadi sejarah yang sangat mengagumkan. Sebab itu, saya berharap dana zakat dan wakaf dapat dimaksimalkan dalam memajukan pendidikan generasi baru, memfasilitasi peningkatan budaya literasi, pengembangan riset teknologi tepat guna, dan pembangunan perpustakaan desa. Peningkatan budaya literasi akan menghalau meluasnya radikalisme dan intoleransi sebab masyarakat menjadi cerdas, dan memliki pemahaman keagamaan yang benar sesuai dengan harapan Kementrian Agama Republik Indonesia.
Harapan saya, Ditjen Bimas Islam, selaku pemangku kebijakan, dapat menjadi Harun Ar-Rasyid maupun Al-Ma’mun baru di era milenial dan yakinlah, dalam waktu dekat, bangsa dan umat Islam Indonesia akan segera menjadi mercusuar dunia!
Belum ada tanggapan.