cerpen-anti-korupsi-membuat-lpj-fiktif

Antara Aku, LPJ Piktif, dan Penculikan

Kegiatan rehabilitasi ruang kelas terasa begitu cepat. Target yang seharusnya memanfaatkan waktu sembilan puluh hari, hanya digarap dalam kurun dua minggu. Sungguh membuat otakku pusing tujuh keliling.

Masih terngiang ucapan sang pendakwah dalam media daring, “barang siapa suka membuat laporan pertanggung jawaban piktif, dia akan disimpan dalam neraka paling bawah”. Bulu kudukku otomatis berdiri seolah ingin lari dari akarnya.

Tidak hanya ucapan pendakwah: orang tua, saudara, sahabat karib pun suka menasihatiku tentang bidang kerjaku yang rentan dengan godaan setan. Aku sendiri sedang merencanakan untuk pindah kerja ke tempat lain. Ya, mutasi pegawai.

Awalnya kukira bakal ada tempat yang aman, nyaman, dan penuh ketenangan di negeri ini. Setelah kulakukan survey: Sekolah A masih kental dengan pungutan liar penerimaan peserta didik baru; sekolah B masih sering memungut uang ujian; sekolah C tak jauh berbeda, masih doyan memanipulasi kegiatan study tour demi kepentingan saku sekelompok orang. Semua survey tersebut kulakukan dengan cara pendekatan terhadap rekan-rekan di sekolah tersebut. Dengan teknik obrolan ringan diselingi sebatang rokok dan secangkir kopi, dalam nuansa perhelaan waktu rapat dinas, atau dalam pertemuan tak sengaja di sebuah hotel tempat kami mengikuti acara bimbingan teknis.

“Apa yang harus kulakukan?”

“Kemana aku harus melangkah?”

“Bagaimana tanggung jawabku terhadap anak dan istri?”

“Apalagi tanggung jawab sama Tuhan?”

Bertubi-tubi pertanyaan tersebut sering hinggap-tanpa diundang dan diketahui- di batang pikiranku. Mengenai pertanyaan yang ke-4, selalu saja datang terlambat. Memang, kuakui segala urusan yang berhubungan dengan Tuhan selalu disimpan di bagian belakang.

“Akhirat itu datangnya nanti”

“Sekarang Lu ada di dunia”

“Yang Lu butuhin adalah uang, mobil, rumah, dan perhiasan dunia lainnya”

“Nanti juga-kalau sudah pensiun- Lu akan punya kesempatan untuk taubat”.

Kali ini, aku tak mau menudingkan bisikan itu pada setan. Kasihan, terlalu banyak manusia yang menuding setan penyebab hal negatif. Sedangkan manusia, seolah cuci tangan, dan tetap menjadi mahluk paling suci.

“Bang, beras sudah habis!”

Terasa ada tangan yang melingkar di pundak kananku. Namun, dalam keadaan setengah sadar-antara berpikir, merenung, atau juga ujungnya terbang dalam lamunan-aku melihat istri tercinta sudah duduk disebelah kiri-di teras depan tempat aku membuai segala mimpi dengan sebatang rokok dan segelas kopi.

“Ada apa Neng?”

“Ih, Si Abang. Stok beras kita sudah habis”

“Lho, kok cepat amat habisnya? Padahal dua hari yang lalu kita nyetok 2 kilogram”

Sebuah ucapan yang refleks meluncur begitu saja, memang otakku sudah begitu tumpul. Mungkin terlalu banyak dicurahkan untuk membuat LPJ Piktif.

Sudah bisa kutebak ucapan selanjutnya adalah, “Abang harusnya bisa mengantisipasi semua ini. Kejadian kayak gini sudah berapa kali berulang dalam kehidupan kita: beras habis, gas habis, listrik habis”.

Aku hanya tersenyum, kemudian kuletakkan jari telunjuk di bibir mungilnya yang sedang bernyanyi indah.

Kurogoh dompet di saku. Kuambil selembar merah yang kesepian dalam himpitan kartu pengenal, SIM, dan identitas lainnya. Bagaikan dewa judi yang mengambil kartu As di depan meja kemenangan.

***

“Pak Roby, silahkan duduk”

Pagi ini kepala sekolah tempatku bekerja tampak berseri-seri; seolah menang undian ratusan juta ; atau bagaikan pengantin yang terbangun setelah malam pertama.

“Kopi hitam Pak!” Sahut Mang Dahlan sembari meletakannya di meja.

Batinku menjerit. Lebih baik menjadi Mang Dahlan, bisa melaksanakan tugas tanpa beban: makan enak; tidur pulas; bahkan sesekali terbayang gelak tawanya yang lepas.

“Pak Roby, kok malah melongo. Itu kopinya diminum dong ! Nanti keburu dingin”

“Oh iya bu, terima kasih”

Kucicipi kopi hitam itu. Namun, kali ini tak terasa enak seperti biasanya. Serasa kurang gula di pangkal lidah; tapi diujung lidah terasa amat manis. Sungguh kopi yang aneh. Atau mungkin, perasaanku yang sedang aneh bin galau.

“Begini Pak Roby. Tugas ibu merealisasikan bantuan rehabilitasi ruang kelas sudah beres tanpa ekses. Sekarang, ibu meminta Pak Roby untuk segera merampungkan laporan pertanggung jawabannya.”

“Tapi bu, jika kita melihat Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Time Schedule untuk kegiatan ini, pengerjaannya belum sesuai prosedur.”

“Nah, Pak Roby itu belum berpengalaman. Begini, Ibu sebagai kepala sekolah selalu ingin melaksanakan pembangunan di sekolah kita ini secara merata. Kalaupun ada sisa dari anggaran rehab tersebut, ibu akan alokasikan untuk pemeliharaan ruang kelas yang lainnya.”

Dengan nada lantang Kepala Sekolah menjelaskan segala argumen busuknya kepadaku: sesekali dia memeragakan tangannya bagaikan pengamat ekonomi atau politik di negeri ini yang sering muncul di layar TV.

Virus lamunan yang kemarin ada di benaku-waktu duduk di teras depan rumah-kembali hinggap di otak kanan. Batinku ricuh dengan segala pertanyaan, sanggahan, bahkan gunjingan terhadap pimpinan di sekolah ini.

Mungkin saja besok lusa dia akan daftar dalam rotasi pegawai di lingkungan dinas pendidikan kabupaten ini, atau kasak-kusuk mencari celah untuk promosi jabatan. Tapi, dari rumor yang kudengar dia baru saja membeli mobil mewah seharga lima ratus juta.

Sedangkan aku – yang ditugasi membuat LPJ Piktif; dengan imbalan yang seuifrit–akan terus menanggung beban moral yang tiada habisnya.

“Ibu akan membeli, …”

“Mobil” , cetusku.

Dasar mulut ember, sialan, bagaimana mungkin aku bisa ucapkan itu. Aku menggerutu sendiri dalam hati.

“Pak Roby, bapak jangan asal tuduh. Bapak ini hanya PNS golongan rendahan. Berani sekali menuduhku akan menyelewengkan dana rehab untuk membeli mobil. Ini keterlaluan.”

Telunjuk kepala sekolah kali ini ada tepat di depan jidatku. Seolah memilih salah satu mataku untuk dicongkel. Dengan tangan tangan kiri di pinggang, dia nyerococos memuntahkan amarah.

“Maaf bu, maksud saya: kita harus mengalokasikan dana tersebut untuk biaya transport mobil. Soalnya sekolah kita terletak di daerah terpencil sangat jauh dari kota, sehingga transport mobil harus menjadi perhatian utama.”

Kali ini refleks silat lidahku agak mengena. Bagaikan jurus pamungkas yang suka dikeluarkan pendekar ketika posisi terseret dalam duel.

“Oh itu ya maksudnya?”

“Tidak ada pikiran negatif tentang Ibu?”

Dia mulai meredakan amarah dan suaranya.

“Oh tentu tidak bu. Saya sangat menghargai ibu sebagai pimpinan yang penuh dedikasi dan loyalitas.”

Sambil menghela napas-merasa sedikit rileks- aku bersandar di kursi sambil menengadah ke langit-langit. Mungkin cicak yang sedang menguping di balik foto presiden mentertawakanku. Hanya buntutnya yang terlihat digoyang-goyangkan.

“Jadi kesimpulannya, Pak Roby siap merampungkan LPJ untuk kegiatan rehab kelas sekolah kita?”

“Selamat Bu! Selamat Membiayai transport mobil! dan selamat tinggal!”

Kujabat tangan pimpinanku dengan penuh percaya diri. Lalu, kuletakan map merah yang berisi surat perintah tugas dan surat keputusan bertugas di tempat baru.

Ya, Kedua berkas dalam map merah itu, kudapatkan tadi pagi di kantor dinas pendidikan kabupaten. Sempat kutanyakan pada staf dinas pendidikan kabupaten tentang alasan dari semua ini. Tapi, mereka malah berbisik penuh canda, “kau diculik”.

***

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan