Khazanah keilmuan Islam di masa lampau memang terasa asing bagi kita di masa kini. Meski demikian, khazanah islam itu, ketika kita baca dan renungkan maknanya, kita akan menemukan bagian kita yang ada di masa lampau. Itulah pengalaman ketika membaca Kitab Kimia Kebahagiaan karangan Al-Ghazali. Seolah ada jarak yang panjang, tak bisa begitu akrab dan intim, ia adalah bagian dari masa silam yang dihadirkan di saat sekarang yang berjarak cukup jauh. Al-Ghazali sebagaimana yang kita kenal selama ini sering disebut sebagai hujjatul-islam (yang menghidupkan agama islam) begitupun sebaliknya ada yang menuding ia yang paling bertanggungjawab kepada kemunduran islam.
Risalah kitab kebahagiaan ini adalah bentuk prosaik dari Ihya Ulumuddin dalam bahasa Persia yang sangat indah. Kitab ini adalah ringkasan dari Ihya Ulumuddin yang mahsyur itu. Sayyed Hussein Nasr memperbandingkan kitab etika islam dari Al-Ghazali ini dengan Confessions karya St.Agustinus. Buku yang pernah terbit tahun 1979 ini diterjemahkan dan dicetak ulang di tahun 2014. Dari hitungan tahun, kita bisa melihat ada tautan yang panjang, meski demikian, pihak penerjemah merasa kitab ini akan tetap relevan hingga saat ini. Lalu apa sebenarnya yang diserukan oleh Al-Ghazali dalam buku ini?
Kitab ini adalah uraian dan risalah yang disusun oleh Al-Ghazali mengenai hakikat dan makna kebahagiaan dalam kehidupan manusia ini. Al-Ghazali mencoba untuk mengajak kita bahwa kitab ini tak lain adalah mengajak manusia memalingkan muka dari dunia ini dan menghadap kepada Alloh. Secara garis besar Al-Ghazali membagi uraiannya kedalam empat bahasan. Pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Alloh, pengetahuan tentang dunia, dan pengetahuan tentang akhirat. Di dalam buku ini, Al-Ghazali lebih banyak mengurai tentang moralitas, hakikat jiwa, apa yang merusak jiwa, dan menyuburkannya. Dari itulah, jiwa yang sejatinya milik sang pencipta akan kembali dengan keadaan yang bersih. Fungsi jiwa sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali adalah pencerapan kebenaran, karena itu dalam mencercap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri (h.24). Mengenali jiwa adalah bagian dari pengenalan diri, oleh karena itu, pengenalan diri adalah awal dari pengenalan Tuhan dan hakikatnya. Bila seorang manusia sudah mengenali diri, dan hakikatnya, maka ia akan mengenali Tuhannya.
Dalam bab berikutnya, Al-Ghazali berkisah tentang hakikat mengenal Tuhan. Hakikat mengenal Tuhan tak lain adalah ketika seorang hamba memiliki perasaan cinta kepada sang pencipta. Cinta kepada Nya ditumbuhkan dan dikembangkan dengan ibadah. Ibadah dan dzikir terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu tingkat tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu badaniah (h.42). Kecintaan seorang hamba pada tuhannya bisa dilihat dari bagaimana ia memalingkan dunia. Ia tak lebih memahami dunia sebagai sebuah tempat singgah sementara yang kelak ia tinggalkan. Maka mencintai dunia secara berlebihan membuat kita tertutup tirai untuk menghadap Tuhan. Sabda Nabi Isa, as : “Pencinta dunia ini seperti seseorang yang minum air laut; makin banyak minum, makin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak terpuasi”. Pada tema pengetahuan tentang dunia dan akhirat sebenarnya sangat berkaitan. Pengetahuan tentang akhirat tak bisa direngkuh kecuali dengan iman. Pengetahuan tentang iman inilah yang membawa manusia memercayai apa yang tak bisa dijangkau dengan panca inderanya. Iman yang menuntunnya beribadah dan mengabdi pada sang Khalik. Dari iman itulah, ia percaya bahwa tiada kebaikan dan kejahatan di dunia ini yang tak mendapatkan balasan kelak di kehidupan akhiratnya.
Apa yang membuat kimia kebahagiaan masih tetap menarik dibaca di abad ini?. Tak lain adalah bagaimana bahasa prosaik Al-Ghazali yang tak mencoba menggurui tapi dengan sangat liris mengurai tentang makna dan hakikat kecintaan dan kebahagiaan bagi seorang manusia. Al-Ghazali pernah menuliskan syair yang sangat indah yang konon ditemukan dibawah bantalnya setelah kematiannya sebagaimana dikutip Sayyed Hussein nasr dalam bukunya The Garden Of Truth (2010) : Katakan kepada saudara-saudara yang melihat ketika aku mati, Dan menangis untukku,meratapiku dalam kesedihan ; “kau kira akulah mayat yang akan kau kuburkan ini? Demi Alloh,jasad ini bukanlah aku. Aku ada di dalam ruh, dan tubuhku ini, dulunya tempat tinggalku,pakaianku untuk sementara waktu.Aku memuji Alloh yang telah membebaskanku, dan menjadikan bagiku tempat tinggal di langit tinggi.Mulai sekarang aku adalah orang mati di tengah-tengah kalian,Tetapi aku telah menyongsong hidup dan melepas selubungku”. Apa yang dikatakan Al-Ghazali seolah menyiratkan bahwa hakikat tertinggi seorang manusia, sufistik tak lain adalah mengalami kematian dalam hidup.
Artinya ia memaknai hidup tak lebih dari jalan,tak lebih dari mematikan yang membuat manusia gila dan cinta kepada yang hidup. Ia menghindari kesenangan yang berlebihan, ia menghindari kecintaan kepada dunia yang terlalu dalam. Ia lebih menyibukkan dirinya kepada yang hakiki, yang asali,kepada Tuhannya. Karena itu, perilaku seorang sufi lebih tampak sebagai seorang yang zuhud dan pasrah dengan segala bentuk pengabdian dan penghindaran dari segala yang bersifat duniawiah. Ia lebih memenuhi waktunya dengan berdzikir, dan berbuat kebaikan, beribadah kepada Tuhannya. Al-Ghazali sudah menerangkan itu dalam kitab ini, kitab ini memang bagai oase ditengah segala yang modern, segala yang materialistik, inilah bacaan yang menenteramkan dan menyejukkan jiwa kita.
*)Penulis adalah Peserta Tadarus Buku BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK KARTASURA
Belum ada tanggapan.