Oleh Budiawan Dwi Santoso
Setelah selesai dibangun, Museum HAM yang berada di Aceh resmi dibuka, tepatnya pada malam 23 Maret 2011. Museum tersebut, merupakan Museum HAM pertama di Indonesia dan Asia Tenggara. Dimana, sebelum didirikan, konsep Museum HAM pernah ditolak oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Alasan mereka: “Jangan membuka lagi luka masa lalu,” tiru Reza Idria, salah seorang Komunitas Tikar Pandan (KTP) yang memiliki gagasan membangun museum tersebut.
Dan, penjelasan dari Reza kepada mereka seperti ini: “Kami bukan ingin mengungkit dendam, tapi ingin belajar dari masa lalu, agar tidak terulang lagi.” Sebab pula, bukan tugas Reza dan kawan-kawannya yang mengadili pelaku kekerasan di masa konflik, karena itu tugas negara. Reza dan kawan-kawan hanya berupaya mewujudkan sebuah rekonsiliasi setelah konflik selesai.
Hasil ini dapat diketahui lewat wawancara sekaligus esai dari Linda Christanty berjudul Berdamai Dari Bawah yang terdapat dalam buku terbarunya Seekor Burung Kecil Biru di Naha: Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi. Dimana, buku ini selain menarasikan dinamisme hubungan manusia yang terjadi akibat konflik, tragedi, dan rekonsiliasi, juga menyoroti upaya-upaya manusia bertahan dalam bahaya dan melawan praktik ketidakadilan yang mengatasnamakan apa pun: suku, ras, agama, maupun ideologi.
Jika, membaca karya-karya sebelumnya, seperti Dari Jawa Menuju Atjeh, bahkan karya fiksi, salah satunya Rahasia Selma, pembaca akan mengetahui bahwa tema yang kerap digarap Linda Christanty tentang manusia dan kemanusiaan. Seperti, yang dapat kita jumpai dalam esai yang dijadikan untuk judul buku, yakni Seekor Burung Kecil di Naha. Dimana, esai tersebut, Linda menyuguhkan tentang orang-orang hilang di masa rezim militer dan nasib jugun ianfu di Asia.
Adapun, setiap membaca esai-reportasenya, ia membawa realitas yang dijumpai sekaligus dialaminya untuk menuntun pembaca ke pokok permasalahan yang penting, tanpa harus membuat pembaca mengerutkan dahi. Dan sebaliknya, pembaca seakan diajak menjelajahi dinamisnya hubungan manusia dari pelbagai kawasan, mulai dari Asia, Eropa, hingga Amerika. Sehingga, dari hal ini, ia pada dasarnya telah memberikan pandangan kita yang luas terhadap pelbagai hal, meliputi sejarah, geografi, sosial, budaya, agama, dan politik.
Pembaca menyatakan hal tersebut, sebab, setiap esainya selalu ditautkan dan diperkaya dengan pelbagai referensi dan pengetahuannya. Seperti, dalam esai Percik Api di Timur—sebuah esai, yang sebenarnya bermula dari perjalanan Linda ke Ternate untuk memberikan pelatihan menulis anak-anak muda.
Lewat dia, letak dan kondisi geografis yang ia sambangi, justru mengingatkan terhadap sejarah daerah itu sendiri. Dimana, Ternate—tepatnya pulaunya, pernah disebut Alfred Russel Wallace, ahli taksonomi dari Inggris dalam The Malay Archipelago. Dan, ketika menyebut Pulau Ternate, maka tak bisa terlepas dari Pulau Tidore, dan Pulau Jailolo di Halmahera. Yang lebih lanjut, riwayat pulau tersebut, pada abad ke-18 dan abad ke-19 menjadi jalur lalu-lintas perdagangan rempah-rempah dunia, serta mengingatkan tentang soal sengketa yang terjadi pada 1999-2000, yang penyebab utama sengketa tersebut sebenarnya, bukan dikarenakan agama: Islam versus Kristen, tapi, hal utama dan awalnya, dikarenakan kasus tanah yang melibatkan dua suku.
Beberapa hal itu, dinarasikan Linda dengan detail, mendalam, lancar, tak ‘meloncat-loncat’, dan paling penting, humanis. Barangkali, karakter narasi seperti inilah, yang mampu membuat pembaca tergugah, dan menaruh perhatian terhadap pelbagai konflik dan tragedi yang menyelimuti setiap daerah, setiap bangsa yang disuguhkannya.
Namun, pembaca juga tak bisa mengelak, bahwa apa yang dihadirkan Linda, terkadang merupakan tautan atau benturan dengan wacana di Barat, entah itu berupa pengalaman dari teman-teman Linda dari negara-negara Barat; saat ia berkunjung ke negara itu sendiri; maupun, narasi sejarah yang bereferensi dari Barat. Tentunya, bagi pembaca yang tak terbiasa dengan esai semacam itu, bahkan tak membaca wacana yang berasal dari Barat, maka, bisa membuat pembaca kelabakan atau gagap memahami buku dari Linda Christanty ini.
Ini yang membuat pembaca menyatakan bahwa buku Seekor Burung Kecil Biru di Naha: Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi, selain mencerminkan kompleksitas dan kepekaan penulis, juga menyodorkan ambivalensi kehidupan. Dimana, ambivalensi ini terepresentasikan lewat esai Nama Saya Wanda, kisah transgender dalam masyarakat dan keluarganya; esai Continental Club, kisah penulis ketika menikmati musik dan sejarah di kota-kota selatan Amerika Serikat; esai Tentang Dua Tragedi: Masa Nazi di Jerman dan 1965, kisah pelaku kejahatan manusia di Jerman dan di Indonesia pada masa itu; apalagi esai Rumah bagi Mereka yang Tua, yang mengisahkan tentang keluarga di berbagai budaya dan nasib orang-orang jompo di kota-kota besar, dengan menautkan pengalaman hidup penulis sendiri.
Belum ada tanggapan.