Apa yang kau lihat dalam cermin?

Di kedai yang sama ketika aku bertanya ke orang-orang mengenai anjingku yang hilang, pada suatu waktu usai mengakhiri malam panjangku dengan menonton sebuah film boneka, dan karena film itu ternyata sangat mengusikku aku pun bertanya lagi kepada orang-orang;

“Kau pernah bertemu sesosok malaikat akhir-akhir ini?”

Seorang pemuda dengan malu-malu menunjuk seorang gadis yang duduk berhadapan dengannya, dan dengan tetap malu-malu pula berkata; “Dia malaikat dalam hidupku.” Aku melihat kepada gadis itu, yang tidak kehilangan satu anggota tubuh sekalipun dari ujung rambut hingga sepatu, dengan pemerah pipi di pipi dan sepuluh kuku jemarinya dicat biru mengkilat. Tetapi dari observasiku yang singkat tidak kutemukan unsur malaikat apapun dalam dirinya.

Juga kepada sepasang suami-istri yang baru saja mempunyai seorang anak aku bertanya dan mereka memberiku tawa kecil yang manis. Mereka berkata tentang anak mereka; “Lihat, matanya saja mirip malaikat.”

Tetapi, tetap saja aku tidak percaya.

Kemudian, saat aku bertanya, seorang pria bertato menggulung lengan kiri bajunya untuk menunjukan kepadaku sebuah gambar wanita bersayap yang telanjang dengan rambut terurai menutup dadanya sementara pahanya tersembunyi di antara bunga-bunga.

“Aku membayar mahal untuk lukisan malaikat ini.” Katanya.

Aku tersenyum diam-diam, menyembunyikannya di balik gelas agar tidak melukai perasaan orang itu.

Aku pergi ke belakang kedai, berdiri di depan cermin kamar WC, menatap mataku sendiri, menangkap sinar yang sama tiap kali aku hendak menertawakan sesuatu. Bagiku, hidup sering membuat orang lain tampak seperti bahan lelucon yang dikemas dengan hal-hal klise. Bukan berarti aku tidak percaya pada malaikat dan pada segala mahkluk sejenis mereka, tetapi karena orang-orang itu menunjukan kepadaku segala jenis malaikat yang hanya ada dalam angan mereka. Mereka bahkan tidak pernah tahu apakah sosok malaikat memiliki rambut yang terurai panjang, mempunyai dua bola mata atau justru hanya satu bola mata saja, dan juga belum tentu benar bahwa malaikat itu menyerupai sesosok wanita.

Aku mulai tertawa. Tawa dungu yang kupikir cerdas.

Cermin memantulkan tawaku yang menyebalkan dan nyaris tanpa akhir, hingga pada suatu saat, tawaku berhenti berdenyut. Ibaratnya, pada ruangan yang sama di dalam kamar kecil itu, seorang anak kecil sedang menertawakan kekonyolanku ketika aku berbicara seorang diri dan tertawa dengan bayanganku pada kedalaman cermin. Ketika aku tertawa pada cermin dan menyangka bahwa orang lain begitu sinting, pada detik yang sama anak kecil itu sedang menertawakan dan menyangkaku sinting karena berbicara kepada cermin. Pokoknya, dengan cara yang sama klisenya, kehidupan telah membuatku sebagai bahan lelucon yang sama kepada orang-orang.

Dan lelucon itu dimulai tanpa sengaja dari sebuah sentuhan.

Mula-mula Aku yakin dia yang memulainya, tetapi ketika sekilas aku menangkap sorot matanya yang gemetar, aku baru sadar ternyata secara tidak sadar akulah yang meletakan lututku di sebelah lututnya.

Kami sedang di dalam pesawat yang terbang ke Bali pada sebuah senin malam musim panas bulan agustus 2013 dari Jakarta. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada musim liburan ketika tiket pesawat habis terjual begitu cepat, selalu ada kemungkinan untuk berada satu pesawat dengan orang-orang tertentu yang bisa membuatmu tidak tidur tetapi memberimu mimpi. Pada musim panas itu, dalam ruangan ekonomi yang relatif murah itu, hujan turun dengan ajaib di tempat gersang dalam hatiku.

Sebelum itu, saat aku duduk menatap sebentuk truk pengangkut barang yang parkir di samping pesawat, aku tidak tahu bahwa wanita itu adalah seorang janda. Aku sibuk memperhatikan bagaimana akhirnya truk itu menjauh dari pesawat dalam keadaan kosong, lalu pesawat mulai bergerak melewatinya dan melambung tinggi sehingga aku lupa mengetahui bagaimana sosok wanita itu tiba-tiba telah duduk di sebelahku. Di sebelah wanita itu, seorang pria cukup tua sedang tidur, entah bagaimana caranya tidurnya telah lelap dengan cepat. Sesegera pesawat terbang tinggi dan pramugari menyatakan para penumpang boleh meninggalkan sabuk pengaman masing-masing, dia pun meninggalkan tempatnya dan beberapa saat berikutnya kembali dari kamar kecil sambil mendekap tas tangannya dengan sejumlah titik air melekat pada pangkal rambut di atas pelipisnya. Dia melewati pria tua itu tanpa membangunkannya, berdiri sebentar melihat ke jendela melewati puncak kepalaku kepada langit gelap kemudian duduk dengan satu tarikan napasnya yang ringan. Dalam detik-detik terakhir itulah, aku mengetahui bahwa dia adalah seorang janda.

“Darimana kau tahu dia seorang janda.” Kau pasti bertanya kepadaku demikian. Maka aku akan menjawabnya sebagai cara kerja insting, tanpa penjelasan yang memadai namun aku begitu yakin mengenai itu.

Kami duduk dengan sopan; aku di dekat jendela, dia di sebelahku, terapit di antara aku dan pria tua yang jatuh tertidur itu. Sewaktu lampu kabin akan dimatikan, sempat kuperhatikan si lelaki bergerak dalam tidurnya, membuat si janda berpaling kepadanya dengan sepotong senyum kecil yang mengerucut pada bibirnya. Seorang pramugari melewati kami kemudian berbalik lagi untuk mengingatkan agar kami bisa menyalakan lampu baca bila tidak mau tidur. Dia memberikan anggukan sekilas kepada si pramugari, menurunkan meja baca serta menyalakan lampu bacanya sendiri. Di atas meja baca diletakannya tas berwarna coklat yang kecil mungil, ketika tas itu dibentangkan dari dalamnya dia mengambil sepotong cermin dimana dia mencari wajahnya sendiri di dalam cermin itu. Ketika dilihatnya rambut hitamnya masih tergerai, dia pun menyanggulnya menggunakan semacam tusuk gigi yang tidak kutahu terbuat dari bahan apa.

Setelah usai dengan cermin, dari dalam tas si janda dikeluarkan sebuah buku harian cukup tebal dan berukuran kecil yang sekian lembar bagian depannya sudah terlihat kusut bekas pakai. Aku mengintip halaman yang dia bukakan, dan kulihat di sana, tertulis dua baris kalimat dan deretan sebelas angka. Tidak jelas bagiku adalah angka-angka itu, apakah jumlah rupiah yang dia simpan ataukah jumlah hektar tanah yang dia miliki, tetapi sangat jelas bagiku adalah deretan kalimat dan angka tersebut menyatakan jumlah warisannya sementara aku takkan mengatakan dengan detail darimana aku mengetahuinya. Wanita itu membaca dengan cepat kemudian memberi tanda centang di bagian kiri atas. Ketika dia memasukannya kembali ke dalam tas, yang mana aku lupa bagaimana ekspresi wajahnya, aku seakan yakin wanita ini bisa membuat seorang pria menjadi kaya.

Lalu dia menoleh padaku.

Wajahnya gemetar dan kelopak matanya berkedut. Sekejap tatapanku turun sehingga tampak olehku kedua lutut kami bersentuhan pada kedua sisi masing-masing. Sekelebat rasa dingin membuat kakiku gemetar di bawah keremangan cahaya, menjalar ke perutku hingga membuatnya keram, selanjutnya menembus ke dalam otakku sehingga aku sadar bahwa memang akulah yang mula-mula menyentuhnya.

Aku menyalakan lampu bacaku dengan muka merah padam. Pramugari datang lagi mendorong troli sehingga janda itu menurunkan meja di depan lelaki tua lalu menyerahkan sekotak makanan ke hadapanku. Namun yang aku harapkan dari janda itu tidak sekedar sodoran kotak makanan, setidaknya suatu pertanyaan. Bahkan satu pertanyaan basa-basi sekalipun, yang mungkin berbunyi; “Kau tidak lapar?”  supaya ada celah kecil dimana aku akhirnya mengajak dia bicara. Tentunya aku bakal menjawab dengan penuh senyum; “Aku jarang merasa lapar,” lalu melanjutkannya dengan sedikit filosofis,“Meja makan di rumahku hanya mempunyai satu buah kursi untuk diriku sediri.”

Jika dalam diri janda itu tidak ada dorongan untuk melanjutkan percakapan, aku akan membuat peruntunganku sendiri dengan bertanya;“Kau bepergian sendirian?” Dia mungkin akan berkata;“Tidak. Lelaki itulah yang memastikan kepergianku,” sambil menunjuk si pria tidur.

            “Bagaimana bisa?” aku lanjut bertanya. Dan bila keuntungan sedang berada padaku, si janda akan melebarkan senyumnya serta memutuskan untuk mengobrol denganku. Pada perjalanan udara yang singkat semacam ini, mungkin tidak banyak topik yang bisa kau ambil, tetapi untuk seseorang janda kaya yang demikian memikat, aku berharap dia akan memberitahuku tentang hubungan singkatnya dengan si pria tidur. Mungkin, dengan alasan yang hanya diketahuinya sendiri, wanita itu akan menjulurkan cerita hidupnya kepadaku. Aku mendengarkannya dengan sesekali terbatuk gugup, dan saat batuk sekalipun aku melakukannya dengan hati-hati agar lelaki tidur itu tidak terbangun dan mimpiku ini buyar pergi.

            “Kau selalu bepergian sendiri?” dia bertanya dalam benakku.

            “Ya. Selalu sendiri.”

            “Betapa sepinya.”

            Aku pun mengatakannya kepadanya bahwa aku jarang merasa sepi, kecuali kadang-kadang ketika terbangun pada tengah malam saat bantal atau selimutku terjatuh ke lantai. Maka dia bertanya; “Kehilangan yang membuatmu merasa sepi, bukan?” sambil berpikir soal bantal dan selimut yang meninggalkan tubuhku. Aku akan berkata bukan itu, tetapi rasa dinginlah yang mengingatkanku tentang kesepianku. Tangannya yang panjang dan kecil menyeberang menyentuh lenganku, dari mulutnya yang merah padam keluar kata-kata peneguhan bahwa dia juga sering merasakan halnya yang sama pada malam-malam larut.

            “Tapi kau adalah janda kaya yang tahu caranya mengusir sepi.” Kataku terus terang.

            “Tidak benar. Di dalam sini,” Dia menunjuk titik di bawah payudaranya yang kembang, “Kesunyian telah mendekam lama bagai laba-laba bunting.” Lantas kepada matanya yang hitam pekat, aku mencari kegelapan macam apa yang membentuk sawang laba-laba pada sepetak dadanya.

            Usianya pertengahan tiga puluh, pada kalungnya yang tipis dan tidak mencolok dilekatkan sekelompok mutiara mungil yang bisa membuat hidup seseorang tanpa kekurangan selama hampir sepuluh tahun. Dia juga memakai gelang berwarna perak di mana pada satu bagian terbentuk bulatan mirip jam tangan dengan ukiran namanya di tengah-tengah dari batu zamrud hijau. Lututnya sedingin batu pualam di gunung, sehalus lumpur endapan di tepi sungai. Dadanya sangat menonjol, apakah dia memiliki dua atau tiga anak aku tidak tahu. Tetapi dari dalam kepalaku terbentuk fantasi bahwa dadanya yang besar dan tenang itu, sesekali, pada saatnya akan panas membara kepada lelaki siapa yang beruntung, dan di saat lain akan meneteskan susu kepada siapa pun yang berhak menjadi anaknya.

Garis tangannya yang kuning pucat sesekali terpapar pada cahaya lampu baca hingga aku dapat melihat kulit oriental yang menempel pada tubuhnya. Dia pastilah sering berada di pantai-pantai yang bagus, dengan pasir halus dan ombak lembut, juga di tempat dimana karang-karang tumbuh subur sehingga dia dapat berdiri memandangi bayangannya sendiri di dalam lautan yang penuh terumbu serta segala jenis ikan.

Betapa dingin lutut wanita itu, aku bisa merasakannya menembus kaki celana panjangku. Tetapi akhirnya kumengerti kenapa; darah yang mengalir di dalam tubuhnya begitu jernih mirip air tanah yang keluar pada cela-cela batu. Tentunya wanita itu memiliki kebiasaan yang bagus dalam mengkonsumsi air yang jernih itu, dia pastilah mempunyai lahan yang luas dengan sumber mata air di tengahnya, dimana dia meminum langsung menggunakan kedua belah tangannya, kemudian burung-burung datang mengisi paruh mereka.

Segala tentang wanita itu, secara ringkas aku katakan bahwa dia hanya butuh seorang pria yang tepat untuk membuatnya menikmati hidup yang luar biasa, pria terpilih yang bisa mengubah kekayaannya menjadi setumpuk kebahagiaan.

            Aku tidak mengerti mengapa dia melayani si lelaki tua dengan sangat baik. Pada momen tertentu dalam pembicaraan kami aku membaca keinginan terpendam dari janda itu untuk berdiri dan berjalan sepanjang pesawat, melewati orang-orang yang duduk dan tertidur, mengusir kepenatannya dengan sebuah percakapan kepada pramugari, tetapi dari lelaki tua terpancar sesuatu mirip hawa ajaib yang mempertahan tubuh wanita itu di kursi. Lagi-lagi si pria tidur bergerak gelisah dalam tidurnya dan menimbulkan pertanyaan besar pada diriku; apakah pria tua itu sedang memperhatikanku lalu dengan leluasanya mempermainkanku dalam tidurnya. Akan sangat memalukan jika kemungkinan semacam itu ada, sehingga aku akan berhadapan dengan kenyataan bahwa pria tua itu membiarkanku mendekati si janda karena dia sebenarnya tahu aku tidak mempunyai potensi yang cukup untuk memikatnya.

            Sampai pada detik ini, aku berani bertaruh bahwa aku berharap supaya pesawat ini limbung oleh badai agar wanita itu timbul rasa paniknya lalu memegang lenganku mencari perlindungan. Aku rela nyawaku terguncang demi sepotong kemungkinan bahwa aku bisa mendapatkan lebih dari sebuah sentuhan di lututnya. Jika tangannya menyentuh lenganku, aku akan bisa membaca namanya yang terbentuk dari butiran zamrud tersebut. Dan kau tahu, satu-satunya nama yang tepat menurutku terukir di sana adalah ;”Pertiwi.” Nama yang dia bawa kemana-mana.

            Kota mulai tampak di bawah sana. Secara perlahan mimpiku mulai mencair. Dia memisahkan lututnya dari lututku sehingga sejumlah bayangan bagus yang sempat terbentuk selama perjalanan kami terhapus dengan mudah seperti lukisan pasir. Pesawat mendarat dan lelaki setengah tua itu bangun seakan-akan memang sudah saatnya dia bangun.

Di lorong yang dijaga oleh dua petugas bandara, wanita itu melewatiku tanpa menoleh, sementara lelaki tua yang mengikutinya dari belakang tengah menelepon seseorang untuk memesan kamar hotel pada tengah malam itu. Aku mendorong koperku pelan-pelan di belakang mereka, sebelum kerumunan menelannya, sesosok malaikat dalam arti apa pun yang tidak bisa kuuraikan dengan jelas telah hinggap sesaat di dalam pesawat di atas kursi sebelahku dan menitipkan pesan bahwa surga memang ada bagi setiap insan. Bahkan untuk seorang lelaki paling kesepian sekalipun pada sebuah perjalanannya yang begitu singkat.

Tepat tengah malam, aku pergi ke kedai yang sama dan duduk di samping seorang teman. Kami berbicara sebentar, entah bagaimana mula topiknya lantas aku sampai pada tahap itu, ketika aku berkata kepadanya, “Aku bertemu seorang janda kaya di dalam pesawat. Aku tidak bisa menguraikannya padamu. Tetapi bayangkan saja kau hendak pergi ke toilet lalu kau bertemu sesosok malaikat dalam cermin di sana. Seperti sedang bermimpi bukan?”

Mendengarku, temanku diam-diam tersenyum sendiri, menyembunyikannya di balik gelas karena takut membuatku tersinggung sebab dia pasti tidak percaya dan tidak punya gambaran sama sekali tentang seorang janda yang mirip malaikat, sekaya apa pun janda itu.

ilustrasi google

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan