Senja di hari minggu. Di atas balkon kamar ini, sambil menikmati teduhnya angin sore musim hujan yang tidak tentu seperti sekarang, senja belumlah pasti bisa dilihat setiap hari, dan sekarang waktu langka itu bisa kunikmati. Sendirian dan sangat tenang. Sesuai harapan, karena aku ingin mengenang sekaligus bercerita ditemani senja.
Beberapa hari ini jantungku terus mendesir, hangat dan menentramkan. Orang sekitar juga mengatakan jika aku banyak tersenyum akhir-akhir ini. Ahh, benarkah? Entahlah, yang jelas hatiku memang terasa berbunga setiap saat, kini. Aku menyebutnya Qais. Laki-laki tinggi tegap, dengan ukuran tubuh proporsional, tampan dan terlihat baik hati. Membayangkannya seperti sekarang, tidak henti membuat hatiku kegirangan. Qais adalah tentang seseorang yang kujumpai kala itu. Tepat saat senja muncul seperti sekarang, di sebuah taman bunga dekat kantor tempatku bekerja. Hanya dari kejauhan aku melihatnya , dia sedang berbincang dengan rekan sekantorku saat itu.
Senyumnya mengembang seperti matahari terbit, cerah. Cara bicaranya juga terlihat begitu renyah, seolah ingin pamer pada dunia seberapa dia adalah sosok yang asik dan menyenangkan. Pada pandangan pertama itu, aku akui, bahwa aku telah jatuh hati. Kepadanya yang belum kuketahui siapa. Kini, aku selalu menyebutnya Qais. Seperti nama tokoh pujangga di dalam kisah cinta Layla dan Majnun. Hebat nan melegenda, dan bertakdir cinta dengan putri cantik bernama Layla.
Dan aku sendiri adalah Layla.
Perjumpaan dengan Qais tidak selalu terjadi denganku. Begitu sulit bagiku untuk sekadar mengetahui keberadaannya. Dia itu menumbuhkan rindu yang bertubi setiap saat, membuatku meng–amiin–kan tiap doa demi sebuah pertemuan dengannya, dengan Qaisku yang kupuja.
Pernah sekali doa-doaku diberi pengabulan, kami tidak sengaja bersimpang di pintu masuk kantor. Tidak kusangka sebelumnya. Hari itu, jelas aku sangat ingin melihat wajah Qaisku yang bercahaya. Demi Tuhan, aku sangat ingin memandangnya dari dekat, memuja setiap inci keindahan yang ada padanya. Rasanya aku ingin berteriak senang, aku ingin memeluk tubuhnya yang harum, dan aku sangat ingin berbisik padanya bahwa, ‘aku menantikanmu’. Aku sangat menunggu pertemuan ini terjadi!
Sedetik serasa melambat saat itu, sebelum akhirnya kusadari, Qais telah berlalu. Berlalu dalam pertemuan yang membuatku tertunduk saat melewatinya. Tuhan, bukankah aku berencana untuk melihat wajahnya? Aku menyayangkan dan menyesali segala kekhilafan. Khilaf untuk sebuah kesempatan yang kutunggu , lalu membuatnya berakhir sia-sia. Sungguh menyedihkan!
Sekarang, sambil mengamati senja yang mulai menghilang disana, aku menyadari seberapa besar pesona seorang Qais. Aku telah memikirkan banyak hal hingga kini. Dialah satu-satunya lelaki yang membuatku menundukkan wajah. Seseorang yang membuat naluriku merasa malu untuk sekedar melihat senyumnya secara lancang. Dia memang Qaisku, keshalihannya membuatku menunduk sebagaimana wanita terhormat.
Aku terus tersenyum sembari menikmati desiran yang hingga kini masih sama. Aku sudah berbaring di atas ranjang dengan sejuta rasa bahagia. Bahagia untuk kehadiran Qais. Bahagia atas pertemuan kami dan bahagia untuk mimpiku di masa depan. Mimpi dimana ada Qais dalam hidupku, menemaniku, dan kami hidup bersama.
Satu dua suara gerimis mulai terdengar. Hawa dingin mulai terasa. Disaat seperti ini, membuat perasaanku semakin bergemuruh hebat. Tentang Qais, semua tentang pujaanku itu semakin membayang. Aku bertanya-tanya, orang seperti apakah dia? Pantaskah kehadirannya untukku? Perasaanku padanya terus berpacu. Semakin kencang, sekencang keiinginanku yang menggila untuk lari mengejarnya.
Aku kembali bangun, menyimpan tubuhku di depan meja rias. Kuambil selembar kertas. Aku hendak menulis untuk Qaisku. Dalam beberapa detik itu, aku telah menemukan keputusan. Tidak akan ada habisnya jika perasaan ini hanya kugilai sendiri. Kini, barisan aksara, kata demi kata terangkai mengisi baris kekosongan. Esok adalah awal pernyataanku untuknya. Untuk Qais yang kupuja. Sungguh, ini sedikit memalukan. Tapi, Qais, sebutan itu telah memberikan kekuatan harap dan membuatku siap melakukan ini. Bayang senyumnya menggetarkan seluruh saraf penghidupanku. Qais, aku menulis untuknya.
Dreethh ! drethh !
Kuletakkan pena dengan mantap, lantas meraih ponsel dan kembali berbaring. Satu pesan WhatsApp mampir di layar pemberitahuan. Ahh, kebetulan sekali. Ini pesan dari Ridwan, rekan yang kemarin berbincang dengan Qais. Sekalian saja aku bilang minta tolong padanya, pikirku. Minta tolong untuk menyampaikan salam baikku pada Qais, melalui surat ini.
***
Aku menunggu Ridwan di tempat kesepakatan kami. Pagi ini cuaca sedikit mendung, hujan semalam masih menyisakan gerimis hingga esok kini. Namun, perasaanku sungguh damai. Waktu tidak terasa detik demi detiknya. Bahkan, meski akan sangat lama, aku tidak masalah. Karena dengan begitu, akan ada cukup waktu untuk memikirkan Qais lebih banyak lagi. Memikirkan tentang pesonanya yang seolah membiusku. Ingatan dimana aku pernah menunduk karenanya waktu itu, kembali terngiang. Itulah Qais. Aku percaya, sebab keshalihannya-lah yang membuatku begitu. Sungguh, seberapa beruntung andai aku bisa hidup selamanya dengan Qais. Qais sang lelaki sholeh yang selalu kunantikan hingga kini.
Pandanganku mengedar dengan riang. Aku percaya, senyumku teruntai amat baik kali ini. Mataku terus memecah lalu-lalang di hadapan. Kertas yang sudah kulipat dengan apik termainkan diantara jemari. Kembali aku menatapnya dengan senyuman mantab. Kugenggam lipatan itu dengan kedua tangan, lantas pandanganku perlahan kembali terangkat. Di depan sana, apakah itu Qais?
Seorang laki-laki yang jelas tidak asing di kejauhan benar-benar membuatku terpana. Seketika membuat tenggorokanku serasa kering. Senyum secerah matahari terbit itu terlukis jauh dari jangkauanku. Benar, dia Qaisku, Qais yang kutunggu.
Aku tidak berpaling dari melihatnya, Qais menuntun seorang wanita muslimah. Jilbabnya yang besar dan panjang itu menjuntai hingga separuh tubuhnya yang tinggi berisi. Senyumnya sama seperti yang dimiliki Qais, indah dan mempesona. Entahlah, dadaku kian merasa sesak. Lelehan air bening dari sudut mata tidak juga berhasil kucegah. Pemandangan itu, jujur saja membuat hatiku nyeri.
Laki-laki di depan sana berusaha menjaga dan melindungi wanitanya dari gerimis yang jatuh semakin deras. Wanita itu tampak begitu ayu. Aku terharu sekaligus tersiksa. Tanpa sadar, kertas yang ada di tangan telah teremas sempurna. Surat untuk Qaisku remuk. Hancur. Sehancur perasaanku di detik ini, lalu untuk berikutnya, pasti juga setelahnya, dan untuk selamanya.
***
Salam,
Kusemogakan atas niat baik ini tersampai kepada kamu
Seorang yang kupuja, sekaligus kuhormati
Maafkan atas kelancangan yang telah mencapai atap ini
Aku hanya satu dari wanita yang telah jatuh hati
Jadikan lembaran ini sebagai upayaku tuk membatasi dosa
Dosa karena mencuri hadirmu disetiap malam dalam mimpiku
Maka, semoga kan terjadi sebuah temu dalam segala kebaikan setelah ini
Mengakhiri tulisan ini, dan untuk mengawali pertemuan kita nanti
Kepadamu, yang kusebut dalam nama sebagai pemuja;
“Assalamu’alaikum, Qais”
Dariku,
Layla
Belum ada tanggapan.