buah-segar-pendidikan

Buah Segar Pendidikan: Pencerahan tentang Sistem Pendidikan

Sudah benarkah sistem pendidikan negeri ini? Sudah benarkah para pendidik dalam melaksanakan tugas mulianya? Agaknya pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat Ngadiyo menulis kumpulan esai pendidikan dalam satu buku dengan judul Buah Segar Pendidikan.

Buku setebal 232 halaman ini berisi tentang pelbagai keluh kesah Ngadiyo dalam merenungi sistem pendidikan negeri ini. Ngadiyo, penulis buku menguak rahasia senyuman ini membagi 37 esainya ke dalam 4 tema besar, yakni 1) seni mengajar-mendidik, 2) menjadi guru yang dirindu, 3) ruang pendidikan pengajaran, dan 4) media pembelajaran. Meskipun terkesan mengkritik, esai-esai Ngadiyo sejatinya menunjukkan wujud kepedulian yang baik.

Bukankah kritikan adalah wujud perhatian? Ngadiyo peduli dengan keberlangsungan pendidikan negeri ini. Beberapa di antara kritikan Ngadiyo ditujukan untuk sekolah, guru, sekaligus siswa yang disertai sebuah saran sebagai solusi atas kekurangan-kekurangan tersebut.

Kritik untuk Sekolah

buah-segar-pendidikan

Judul: Buah Segar Pendidikan
Penulis: Ngadiyo
Penerbit: Dio Media
Cetakan: III, Juli 2018
Tebal: 232 halaman
ISBN: 978-602-60963-5-7

Dulu (sebelum kebijakan peniadaan UN gegara pandemi COVID-19) Ujian Nasional dianggap sangat ‘sakral’. Saking sakralnya, sebelum Ujian Nasional dilaksanakan perlu diadakan ritual seperti mencuci kaki ibu lalu meminum bekas air cuciannya hingga pengadaan pelatihan ESQ untuk meningkatkan kecerdasan spiritual.

Pengadaan pelatihan ESQ menjelang Ujian Nasional dikritik secara terang-terangan oleh Ngadiyo dalam esainya yang berjudul Pelatihan Motivasi Memprihatinkan (halaman 46). Menurut Ngadiyo, pelatihan ESQ adalah hal yang menggelikan karena siswa dipaksa membuat hujan air mata dengan menonton video tentang ibu hingga video orang-orang cacat. Sebenarnya sederhana saja, apa hubungan antara Ujian Nasional dan hujan air mata? Ngadiyo bahkan terang-terangan menyebutkan bahwa pelatihan ESQ jelas memberikan keuntungan besar secara finansial untuk sekolah.

Ngadiyo juga tak lupa untuk mengkritik sistem pendidikan sekolah yang tidak lebih baik dari lembaga bimbingan belajar. Kritikan ini terdapat di dalam esai dengan judul Bimbel dan Prestasi Siswa (halaman 119). Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa lembaga bimbingan belajar selalu ramai peminat ketika menjelang UN maupun menjelang seleksi masuk Perguruan Tinggi. Seolah lembaga bimbingan belajar lebih dipercaya untuk membantu siswa meraih nilai sempurna daripada pendidik di sekolah-sekolah itu sendiri.

Logika sederhananya adalah lembaga bimbingan belajar berperan sebagai pengajar, sementara sekolah hanya sekadar penyedia legitimasinya saja lewat rapor dan ijazah. Mirisnya lagi, beberapa lembaga bimbingan belajar juga kerap melakukan promosi di sekolah-sekolah hingga melakukan kerja sama keuntungan dengan pihak sekolah. Hasilnya, sekolah secara tidak langsung juga meragukan para pengajarnya dengan mewajibkan siswanya melakukan kelas tambahan di lembaga bimbingan belajar yang bersangkutan. Orang tua lebih percaya dengan bimbel dan pihak sekolah meragukan para pengajarnya, sungguh perpaduan yang sempurna.

Saran untuk Guru sekaligus Siswa

Kritikan terasa kurang paripurna jika tidak disertai dengan sebuah saran. Di balik kritikan-kritikan yang telah disebutkan, Ngadiyo juga memberikan beberapa saran untuk menanggulangi kekurangan-kekurangan tersebut. Salah satunya adalah memperbaiki metode pengajaran dengan menggunakan metode yang lebih variatif, seperti metode mengajar tutor sebaya (halaman 39).

Ada dua keuntungan dalam penerapan metode ini, yaitu mempermudah pemahaman siswa karena disampaikan dengan bahasa teman seusia dan melatih guru menjadi lebih rendah hati sebab tidak memaksakan selera mengajar dengan memukul rata gaya belajar siswanya.

Tak hanya mengenai metode pengajaran, Ngadiyo juga memberikan saran tentang cara menjadi seorang pengajar yang baik, yakni harus membaca lebih banyak buku daripada siswanya (halaman 27). Sayangnya fakta yang terjadi justru sebaliknya. Para siswa dipaksa memanggul banyak buku, sedangkan sang guru meninggalkan buku-bukunya di atas meja.

Pada akhirnya, pembelajaran tak melulu tentang buku. Seorang guru tak harus bapak dan ibu yang berpakaian rapi di sebuah gedung yang disebut sekolah. Bukankah setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru? Orang tua yang mengajari berjalan adalah seorang guru. Teman-teman yang mengajari cara bermain benteng-bentengan adalah guru. Rumah dan lapangan bermain pun dapat disebut dengan sekolah. Agaknya inilah yang dimaksud dengan sekolah merdeka.

Kekurangan Buku Buah Segar Pendidikan

Buku Buah Segar Pendidikan memang sebuah buku yang mencerahkan, namun tidak berarti tanpa kesalahan. Ditemui beberapa kesalahan yang berkaitan dengan kata-kata tak baku, salah ketik, hingga salah ketik yang memutarbalikkan makna. Sebut saja seperti kata [tersetruktur] yang seharusnya [terstruktur] di halaman 23, kata [filem] yang seharusnya [film] di halaman 27 & 190, kata [meningat] yang seharusnya [mengingat] di halaman 78, dan beberapa kesalahan yang lain.

Satu kesalahan pengetikan yang cukup fatal adalah penulisan kata frasa [duka cita] yang seharusnya [suka cita] di halaman 63, karena makna dua frasa tersebut sangat bertolak belakang. Akhir kata, buku Buah Segar Pendidikan memang tercipta sebagai wujud kepedulian dari seorang lelaki yang juga berkecimpung dalam dunia pendidikan.

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan