Bakiak Abah
Entah dari mana akan kumulai kisah ini, sepanjang hari di setiap waktuku mayoritas hanya kuhabiskan untuk termangu. Dua tahun ini aku sudah bersabar, bersabar dengan keadaan dan kegalauan yang entah juga ujungnya di mana. Gelar sarjana bukanlah sesuatu yang kemudian membuat segalanya lebih mudah, setidaknya itu yang kurasakan.
Awal September dua tahun lalu, euphoria yang menguap dalam sekejap, saat banyak kawan menjabat tangan dan mengucap selamat. Lulus dengan nilai ip 3,89 menyandang predikat cumlaude dan mahasiswa terbaik, Hafidz Amrullah, pemuda yang kukisahkan sebagai diriku. Waktu itu aku berpikir, awal yang indah untukku selanjutnya. Ya, paling tidak itu yang ada dalam anganku dua tahun lalu.
Kenyataannya Sarjana Pendidikan bukanlah suatu yang langka, sehingga sampai saat ini ijazahku masih tersimpan rapi di balik tumpukan makalah pada tepi almari tripleks di sudut kamarku. Seperti sudah enggan aku membukanya lagi, telah berpuluh kali aku mencoba untuk mendaftar kerja, berpuluh kali juga aku tidak diterima. Mau bagaimana lagi, mudah saja alasan orang-orang itu untuk tidak membiarkanku bekerja dengan mereka. Melamar ke sekolah, alasan yang kudengar tak jauh berbeda,
“Maaf mas, di sini sudah penuh, gurunya juga sudah cukup” atau…
“Maaf mas, kami sebetulnya perlu, tapi tidak mungkin menambah tenaga honorer lagi, dananya tak ada untuk membayar sampeyan, ya kalau PNS kami terima dengan senang hati.”
Sekolah lain,
“Waduh maaf mas, di sini sekolah swasta, gurunya sudah direkrut dari yayasan, jadi kami tidak bias menerima pelamar dari luar”
Atau bermacam-macam alasan lain dengan nada dan inti penolakan yang sama. Aku sudah lelah, sekarang biar saja aku begini, menghabiskan waktu dengan menyulut rokok dan bergelas-gelas kopi. Miris bukan, seorang sarjana dengan predikat mahasiswa terbaik hanya duduk di emperan rumah, kumal, patah harapan, salah siapa?
Yah, tak mungkin menyalahkan nasib. Peruntungan seseorang tak pernah sama bukan. Semakin dalam kuresapi lamunan suram ini, samar terdengar suara teplak,teplak,teplak yang sudah ku hafal sejak 23 tahun hidupku. Bakiak yang setia menemani sepasang kaki renta, sosok seorang ayah yang luar biasa, bagiku. Ia satu-satunya yang memiliki suara ini, pasti sedang prihatin juga dengan keadaanku.
“Nda keluar le?”
Suara itu, membuyarkan kilasan-kilasan episode muram yang sedang kucerna.
“Nda Bah, mau keluar kemana, saya kan ga punya kerja, kalau bekerja ya pasti saya ga Cuma di rumah ter..”
“Wis ” seru abah memotong curhatanku.
“Ayo bantu Abah, ragamu masih kuat kan, bawakan bronjong itu, kita ke ladang nyari rumput, sudah dua hari Abah tidak setor ke Pak Karwo,” kata abah sambil menunjuk bronjong, keranjang dari anyaman bambu, alat yang menemani abahku selama lebih dari separuh hidupnya untuk menghidupi anak dan istrinya.
“Ke ladang mana Bah, ini kan masih pagi..”
“Justru karena masih pagi, rumput masih seger, ayo lah..!”
Berat rasanya hengkang dari amben bambu setiaku ini, namun lebih tak enak lagi jika aku tak mengindahkan ajakan abah. Ya. Setidaknya abah punya profesi tetap, meski hanya lulusan SD, nah aku?
“Di rumah ngalamun, di jalan ngalamun, mbok yang sigrak. Jejaka kog lemes..”
Kembali Abah meghempaskan angan suramku.
“Gimana ga lemes Bah, saya harusnya kerja sekarang. Harusnya bukan Abah yang susah payah cari nafkah, dengan gelar dan predikat sebaik itu harusnya…”
“Kamu itu, kalo sudah ngomong, teruuuus saja nda berhenti” kata Abah.
Selanjutnya hanya suara cepak tanah becek yang terdengar mengiringi langkah dua pria beda generasi dan beda semangat ini. Aku heran pada pria paruh baya yang berjalan di depanku ini, meski raganya sudah tak lagi muda, namun tak pernah sekalipun aku melihat keraguan atau kerutan dahi perlambang putus asa pada raut wajahnya. Malu, aku malu pada diriku sendiri, sudah lebih lama pria paruh baya ini berjuang dengan keterbatasan, namun ia tak pernah mengeluh, sedangkan aku?
Sampai di ladang yang dimaksud Abah, aku masih tidak mengerti apa yang harus aku kerjakan. Beda dengan Abah, dengan cekatan beliau menarikan arit di antara rumput-rumput pendek yang hijau basah. Sekali lagi aku dibuat tertegun oleh semangatnya. Tangan keriput itu, menari di antara helai rumput, mengais rezeki yang tersembunyi. Tak seberapa, tapi itu lebih baik dari diriku.
“Weleh, ngalamun itu penyakit le, ayo cepat bantu Abah, berdua lebih baik daripada sendiri,” kata Abahku sembari tersenyum menyeka peluh di pelipisnya.
Pelan tapi pasti, kuambil arit di samping bronjong yang kubawa tadi. Apa yang kulihat, kulakukan juga seperti Abah. Tak ada suara, hening. Sekilas kulihat tubuh kurus Abah. Raut wajah yang menggambarkan lelah senja usianya. Tak seharusnya beliau masih berpayah seperti ini. Kaki-kaki kurus keriput yang menopang tubuh renta itu, sudah beberapa bulan ini membuat Abah mengeluh,mungkin reumatik,atau kelelahan, aaahh pemandangan ini semakin membuat pedih perasaanku. Abah, baru kusadari beliau tak pernah mengganti bakiaknya sejak aku lulus SD. Entah terlalu setia, ataukah karena awetnya alas kaki dari kayu itu. Setiap emak bertanya tentang bakiak legendaris itu, jawaban abah selalu sama.
“Ini barang masih bisa dipakai, untuk apa diganti-ganti, kan mubadzir..”
Entah itu sebagai satu-satunya jawaban, atau karena Abah tak mau memberi alasan lain. Aku tak begitu memperhatikan, mungkin memang Abah sangat mencintai bakiak itu, hingga hampir satu dasawarsa tak pernah tergantikan. Lihat saja pinggiran-pinggiran gripis yang dimakan usia atau lapuk karena kesetiaan sang empunya.
“Kenapa kau lihat bakiak Abah begitu rupa?”
Tak sadar ternyata Abah memperhatikan ke mana pandanganku menuju.
“Kenapa Abah tak pernah menggantinya, itu kan sudah lapuk, apa Abah tak ingin memakai sendal spon yang lebih nyaman kalau dipakai meladang begini?”
“Siapa bilang ini tidak nyaman, justru saking nyamannya sampai Abah tak maumenggantinya..” jawab Abah sembari tersenyum,
“Lagi pula, kalau memang harus diganti Abah ingin kamu yang membelikannya kalau sudah sukses nanti..”
Jawaban itu, yang tenang itu, serta merta membuatku bergetar. Ada rasa sakit yang tak dapat didefinisikan dan nada harapan dari seorang ayah, tersirat dalam tenangnya ucap.
Sepanjang jalan hingga di depan rumah pak Karwo, aku masih terngiang oleh ucapan Abah. Tak mungkin aku berpura-pura tak peka, sungguh ada rasa sesal hingga saat ini belum ada yang bisa kulakukan untuk Abah dan Emak selain sebagai penunggu emperan rumah. Rumput hasil abah meladang denganku hari ini terjual seharga dua puluh ribu, jumlah yang teramat sedikit jika dibanding pengeluaran yang harus dipenuhi setiap harinya. (interval)
Pagi ini, seperti biasa aku hanya duduk sambil menghisap empis sisa semalam di emperan yang biasanya pula. Angan-angan tentang gelar dan peringkat itu telah lama menjadi penghibur setia setiap diamku. Ucapan Abah tentang bakiak di hari meladang itu pun sudah terbang entah kemana, terbawa kepulan asap dari sulutan empisku. Tak lama, kulihat seseorang dengan tas kecil menghampiriku, entah dari mana datangnya, yang jelas, ia sedang berjalan mendekat.
Lelaki yang kemudian ku tahu sebagai tukang pos itu berlalu, perlahan ku buka lembaran amplop yang kuterima. 3,4, 7 baris kubaca cepat seperti sudah hafal apa yang akan menjadi isinya, surat penolakan pasti. Dari kantor yang ku masuki lamaran kerja beberapa bulan lalu. Pandanganku sekilas menyapu lembaran rapih itu, sejenak
Deg
Jantungku seperti berhenti, untuk sepersekian detik mungkin aku lupa untuk bernafas. Barisan huruf huruf kecil yang dicetak lebih tebal dari yang lain, ku baca perlahan dan penuh perasaan takut, kalau- kalau kemampuan membacaku telah hilang hingga tak dapat mengartikan barisan huruf itu, terbaca “DITERIMA”. Entah apa yang menyambarku, serta merta saja aku berteriak, memanggil emak yang aku yaqin tengah dalam proses mematangkan sayur daun pepaya yang kupetik subuh tadi.
“Emaaak, emaak..!!”
Wanita paruh baya itu berjalan tergopoh dengan ekspresi terkejut, panik, dan entah apa itu
“Kenapa Le? Ada apa? Kenapa kamu berteriak seperti itu?”
“Emaak, emaak,.” Hanya itu kata yang keluar dari mulutku.
“Duh Gustii! Kenapa anakku ini, ? apa yang sudah menggigitmu pagi begini le?”
Kata emak sembari menelusur tubuhku, mungkin takut kalau-kalau binatang buas atau serangga mematikan telah menggigit ku.
Kejadian di pagi hari bersama lelaki tukang pos itu telah mengubah hidupku, dua hari setelahnya aku pamit kepada orang tua dan sanak famili untuk pergi merantau nasib ke ibu kota, lamaran kerjaku telah diterima. Sekertaris sebuah perusahaan kecil bukanlah pekerjaan yang buruk.
Seikat petai dan tiga bungkus nasi uduk menemaniku sebagai bekal dari emak, abah dan bakiaknya mengantarku hingga tepian desa. Anganku telah melayang tak lagi suram, bayangan tentang rumput dan bakiak abah telah mengiringku kembali menyatukan semangat yang lama tercerai berai. Janjiku,
“Abah, pasti kan ku ganti bakiak tua itu. Tunggu anakmu”
Bulan berganti tahun, tak terasa hampir memasuki tahun ke tiga aku di sini, lingkungan baru yang jauh dari kesunyian, warna – warna baru yang menyilaukan pandangan. Aku tak lagi lusuh sebagai pemuda pengangguran yang menunggu keajaiban. Kini hidupku sudah lebih baik, penghasilan yang kuterima sangat cukup bahkan lebih untuk keperluanku sendiri. Tak jarang aku mentraktir kawan-kawan seperjuangan. Yah, ayam bakar beserta pelengkapnya beporsi-porsi tidaklah begitu terasa berat. Jam tangan bermerek, sepatu mengkilat, tas dan kemeja rapi, dasi menggantung di leher jenjangku aaah, betapa tampannya anakmu Bah.
Tiba-tiba aku teringat Abah dan Emak, sedang apa mereka sekarang, masihkah Abah merumput? Ah tidak mungkin, kirimanku tiap bulan pasti sudah cukup bahkan lebih untuk mereka. Aku masih enggan pulang, pekerjaanku masih banyak, lagi pula untuk apa pulang, toh Abah dan Emak sudah tercukupi. Tentang bakiak tua itu, sekarang pasti abah sudah menggantinya dengan sendal baru. Fikiranku melayang, tersenyum sendiri menerawang betapa senangnya abah dan emak kini. Baiklah, saatnya aku beranjak pergi untuk kembali menatap komputer dan bekerja untuk hidup yang indah kini.
Sampai di kantor, seperti biasa senyum-senyum bersemangat yang menyambutku. Memang benar, lingkungan akan mempengaruhi pola pikir kita, nyatanya fikiramku kini tak sesuram tiga tahun lalu saat aku merumput di ladang desa. Tas kuletakkan, kuhampiri meja kerjaku. Mataku terpaku pada satu amplop kecil lusuh di atas map dokumen yang akan ku kerjakan hari ini. Kubaca sekilas, ini beralamatkan dari rumahku di desa, ada apa gerangan tak biasanya abah mengirim surat untukku.
Deg
Jantungku berhenti sekali lagi, tanganku bergetar hebat, kebas,
“Anakku Hafidz, semoga kau sehat selalu. Abah tak tahu ingin berkata apa, kami hanya rindu padamu Nak, kenapa kau tak juga pulang? Emakmu setiap hari mengurung ayam, kalau-kalau kau datang ingin ia hidangkan goreng ayam kesukaanmu.
Pulanglah nak, Emak Abahmu sudah renta, sakit-sakitan begini, abah tak tahu sampai berapa lama lagi masih bisa bertahan.
Sungguh abah tak tahu ingin menyampaikan apa, bagaimana rupamu kini? Masihkah kau senang menyulut empis sisa yang kau hisap di malam sebelumnya? Abah belum membeli sendal le, bakiak ini akan setia bersama Abah dan emak menunggumu.
Kami hanya rindu le, pulanglah”
Tulisan-tulisan kurus miring di hadapanku seakan berputar memenuhi sudut ruangan tempatku berpijak. Singkat, ringan, namun member tusukkan teramat dalam pada batin ini. Fikiranku melayang pada kilasan-kilasan episode cerita dan sinetron yang sering kulihat di kantor, tayangan tentang anak yang tak lama pulang. Dan ketika ia kembali, orang yang ia sayangi telah tiada. Entahlah, saat itu juga aku merasa lemas, ada gelombang tak terlihat yang seakan menghantam kepalaku. Rasa rindu dan perasaan bersalah atau apa ini sebutanyya aku tak tahu. Yang jelas, hanya satu inginku kini, aku ingin pulang.
Tiket kereta pertama menuju daerahku telah ku genggam erat, dua stel baju kurung dan sarung koko untuk emak dan abah, serta dua pasang sepatu sendal untuk dua orang tersayang. Menjelang senja, ojekku berhenti di depan gang menuju rumahku, hari ini tak seperti biasa, lingkungan tinggalku ini lebih ramai daripada tiga tahun lalu, mungkin ada perayaan atau hajatan. Entahlah, aku tak begitu peduli. Langkah kupercepat setiap tapaknya, tiba-tiba kakiku lemas, bendera kuning berkibar pada kelokan menuju pemukimanku. Pikirku sudah tak karuan, pasti benar seperti sinetron-sinetron itu. Aku pulang, dan, emak abah…
Apa yang terjadi aku sudah tak bisa menduga, hanya berlari dan berlari secepat yang aku mampu. Mataku panas, oleh air mata yang terus saja berderai. Aku benar-benar pasti menyesal akan ini. Beberapa meter lagi aku akan sampai, kali ini jantungku pasti berhenti. Tak ada tenda maupun barisan kursi yang tertata di pekaranganku. Di dekat pintu kulihat seorang wanita tua tengah merapikan sendalnya, kelihantanyya ia baru saja pulang, dari melayat mungkin. Akalku tak berjalan lebih jauh, langsung saja aku berlari, memeluk wanita itu dan bersimpuh di kakinya,.
“apa ini,.. tholee? Hafidz? Anakku?”
Suara wanita itu lirih dan bergetar..
“Emak, emak, maafkan Hafidz..”
“Oh, thole anakku,..”
“Abah, di mana Abah? Di mana Abah mak?’
Tanyaku sambil tertahan oleh rasa yang tak karuan memenuhi dadaku.
“Abahmu sedang di ladang,. Jemputlah, ia pasti terkejut kau pulang Anakku,.”
Tak menunggu lagi, sepatu mengkilat yang berada di kakiku tak kuhiraukan lagi, menerjang pematang sawah dan tanah becek berliku, nafasku seakan telah habis terputus-putus di sela isakkan sesal dan rindu.
Di sana, di antara rumput hijau basah itu, pria bijaksana yang luar biasa,tengah menarikan aritnya.
“Abah,”
Suaraku tak keluar, jangankan teriakkan, ini hanya bisikkan. Kakiku kelu lemas, aku ambruk di antara bronjong yang separo terisi. Sepertinya pria itu terkejut oleh suara yang aku timbulkan, kulihat ia berbalik, melepas arit ditangannya, terseok mendekat, merengkuhku dalam peluknya, aku hanya mendengar ia berkata
“Alhamdulillah, Thole..”
Senja ini, adalah yang terindah untukku. Semua telah lebih indah, bakiak abah?
Aku yang melepasnya dari kaki kurus yang menopang tubuh renta Abah, kupakaikan untuknya sepasang sendal kulit yang akan terasa nyaman saat beliau memijakkan kakiknya. Emak, Abah, dan bakiaknya yang setia.
Belum ada tanggapan.